Selasa 03 Oct 2017 19:32 WIB

Pengamat Otomotif: Masalah Mobil Listrik Ada di Baterai

Rep: Taufiq Alamsyah Nanda/ Red: Winda Destiana Putri
Nissan Electrical Car. Ilustrasi
Foto: Carscoops
Nissan Electrical Car. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat otomotif Fitra Eri mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi dalam pengembangan mobil listrik yakni pada teknologi baterai. Selain ketersediaan stasiun pengisian listrik umum (SPLU) yang masih minim, waktu pengisian yang lama juga membuat orang enggan beralih ke mobil listrik.

"Karena kita tahu baterai mobil listrik itu belum bisa berjalan jauh dan mengisinya masih sangat lama," ujar jurnalis dan vlogger otomotif tersebut saat dihubungi Republika pada Selasa (3/10). Menurutnya, pengisian ulang energi mobil listrik masih belum efektif dalam penggunaan sehari - hari. Berbeda dengan mobil bensin yang kalau kehabisan bahan bakar, akan dengan cepat untuk isi ulang.

Ketersediaan SPLU juga dianggap masih minim. Hal tersebut membuat orang khawatir tidak dapat melakukan isi ulang ketika listrik habis. Fitra menjelaskan, ide SPLU yang lebih inovatif adalah membuat pengisian ulang energi dengan mengganti baterai. "Sama seperti kita mengganti LPG. Jadi kalau ide itu dilaksanakan, maka konsumen punya dua pilihan. Apakah dia mau isi ulang atau mau mengganti baterai," jelasnya.

Inovasi penggantian baterai tersebut kembali lagi ke masalah teknologi baterai. Apakah baterai mobil listrik bersifat irreplaceable (dapat dilepas) atau tidak. "Menurut saya belum bisa mobil listrik menggantikan mobil bensin. Teknologi baterainya sendiri yang belum mumpuni," tuturnya.

Terkait dengan produksi massal mobil listrik, menurut Fitra, mobil listrik merupakan jenis mobil yang paling mudah untuk diproduksi. "Karena secara teknologi tidak serumit mobil berbahan bakar. Kayak mainan anak-anak sebenarnya basically itu kan mobil listrik," ucap mantan pembalap tersebut.

Fitra yakin, untuk produksi massal seharusnya Indonesia tidak mengalami kesulitan. Namun masalahnya kalau untuk baterainya belum bisa diproduksi, akan percuma. "Kalau baterainya impor, artinya kita cuma bikin bodi. Masih sekedar merangkai, belum bisa produksi sendiri. Kalau mau kita tingkatin riset di bidang baterainya," tegas Fitra.

Melalui program mobil listrik, pemerintah menargetkan pada tahun 2025, 20 persen mobil listrik sudah memenuhi kebutuhan kendaraan di Indonesia. Namun Fitra pesimis dengan angka tersebut. Dalam waktu 8 tahun, target pemerintah dianggap terlalu tinggi. Negara-negara Eropa sudah lebih lama melakukan pengembangan mobil listrik. Namun sampai saat ini belum jumlah mobil listrik belum sampai 20 persen di jalan raya.

"Kalau mobil listrik itu sudah convenience dan orang enggak perlu mikirin charging, orang akan mudah beralih (ke mobil listrik). Masalahnya cuma disitu saja. Tidak bisa praktis dalam pengisian ulangnya," tutup Fitra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement