Kamis 16 Feb 2017 13:07 WIB

RSMC: Kompetisi Basket IBL Makin Ketat

Pebasket Satria Muda Pertamina Jakarta Hardianus (kanan) berupaya mempertahankan bola yang coba direbut pebasket Bima Perkasa Jogja Modestus Utu (tengah) dalam gim Seri III IBL Pertalite di GOR Sahabat Semarang.
Foto: ANTARA FOTO/R Rekotomo
Pebasket Satria Muda Pertamina Jakarta Hardianus (kanan) berupaya mempertahankan bola yang coba direbut pebasket Bima Perkasa Jogja Modestus Utu (tengah) dalam gim Seri III IBL Pertalite di GOR Sahabat Semarang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kompetisi bola basket IBL Pertalite 2017 dinilai makin ketat. Setiap tim bermain ngotot untuk meraih kemenangan. Pendapat ini dilontarkan oleh dokter IGM Febry Siswanto dari Royal Sports Medicine Centre (RSMC). 

"Indikatornya dari banyaknya kasus cedera ringan akibat benturan dan lain-lain selama Seri I sampai III. Jumlahnya melebihi saat semifinal dan final musim lalu. Tampaknya tim-tim sekarang semakin tak mau kalah untuk mendapatkan kemenangan," kata pria yang sempat menjadi dokter tim JNE Siliwangi ini, Selasa (14/2).

RSMC merupakan partner medis IBL. Jika musim lalu tim medis RSMC hanya mendampingi saat semifinal dan final, maka musim ini berlangsung sejak Seri I di Surabaya. RSMC mengirimkan dokter untuk menangani pertolongan pertama terhadap atlet.

"Kami tidak mengirimkan fisioterapis karena setiap tim sudah punya. Dokter menangani kasus seperti luka akibat benturan atau cedera lain. Jika memang harus mendapatkan perawatan lebih intensif, kami merujuknya ke rumah sakit di tempat berlangsungnya pertandingan," kata dia.

Ahli ortopedik, cedera olahraga, dan bedah atroskopi menjelaskan, sejauh ini belum ada cedera berat yang dialami atlet, misalnya robek atau putus ligamen ACL. Tapi hingga sekarang RSMC menangani sejumlah pebasket IBL yang belum bisa bermain karena usai menjalani operasi atau tengah dalam masa pemulihan.

Febry menjelaskan, atlet bola basket dan sepak bola merupakan cabang yang paling rentan mendapatkan gangguan sendi. Mulai yang paling ringan dari keseleo hingga rusaknya ligamen lutut. Sebab mereka kerap membuat gerakan berputar dan mengubah arah secara tiba-tiba. Ia mengaku sedih melihat atlet yang sudah dikenal prestasinya tiba-tiba berhenti karena cedera yang tak tepat penanganannya.

Ia menjelaskan banyak orang Indonesia yang menjalani pengobatan cedera, terutama lutut, di Filipina. Sebab di negara ini penanganan cedera sudah sangat baik. Febry bahkan sampai mendalami ilmu penanganan cedera olahraga di Filipina lewat program fellowship.

Untuk cedera terberat seperti ACL, diperlukan waktu penyembuhan sekitar enam bulan. Namun perlu tambahan waktu agar atlet bisa kembali kompetitif.

"Penyembuhan di rumah sakit kami yakni dengan menarik jaringan yang rusak, menggantinya dengan jaringan yang diambil dari hamstring, lalu ditanam kembali. Dua pekan pertama pasien akan merasa otot kakinya lebih kuat tetapi masih butuh waktu tiga bulan untuk jaringan yang diperbaiki menyatu kembali dengan tubuh,"jelasnya.

Dalam proses pemulihan itu, pasien disarankan tidak melakukan kegiatan berat yang melebihi kekuatan jaringan tersebut. Pada masa ini, dokter terus berkoordinasi dengan fisioterapis dalam memberikan latihan yang tepat untuk penguatan otot dan mengembalikannya seperti kondisi semula.

"Fase akhir akan kita latih respons dan kelincahannya.Kita akan terus pantau pasien sampai pulih dan bisa berkompetisi kembali," ujar dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement