Senin 05 Oct 2015 17:00 WIB

Syekh Wahbah Az-Zuhaili Pakar Fikih Abad ke-21 (Catatan dari Sebuah Keakraban)

Red:

Jumat, 14 Agustus 2015, puluhan ribu umat Islam Ibu Kota di Masjid Istiqlal dan masjid-masjid lain melakukan shalat gaib untuk mendoakan ulama papan atas masa kini, Prof Syekh Wahbah Mushthafa al-Zuhaili, 83 tahun, yang wafat di Damaskus, Suriah, Sabtu (8/9).

Syekh Wahbah adalah ulama papan atas yang piawai keilmuannya, khususnya dalam bidang fikih dan tafsir. Beliau sering berkunjung ke Indonesia baik di Jakarta, Medan, Surabaya, dan lain-lain. Kami termasuk murid yang mendapatkan kehormatan karena sering mendampingi beliau, khususnya ketika berada di Jakarta sehingga kami banyak menimba ilmu dari beliau. Kami juga pernah mendampingi beliau tampil dalam siaran live TV ONE dengan topik "Islam sebagai rahmat bagi alam semesta."

Kunjungan beliau terakhir adalah dua tahun yang lalu atas undangan Bank Indonesia bekerja sama dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai narasumber dalam seminar ekonomi Islam di kampus UIN Jakarta. Banyak kenangan yang sangat berguna selama kami berkali-kali mendampingi beliau.

Suatu saat pada 2008, kami mendampingi beliau di sebuah hotel di Jakarta. Kami shalat Maghrib dan Isya di belakang beliau dan waktu itu beliau shalat sudah duduk di kursi. Ketika kami tanyakan tentang kiat-kiatnya untuk menulis kitab, beliau mengatakan bahwa setiap hari beliau menulis di ruang khusus di kediaman beliau di Damaskus selama 16 jam.

Beliau hanya berhenti untuk makan dan shalat. Bahkan, menurut penuturan adik kandung beliau yang tinggal di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, beliau sering terkuras perhatiannya untuk membaca dan menulis dan lupa bahwa di ruang tamu sudah ada tamu yang menunggu beliau. 

Ketika kami tanyakan apakah beliau menulis buku itu langsung dengan komputer, beliau menjawab bahwa beliau menulis dengan pena, baru kemudian konsep itu diserahkan kepada sekretarisnya untuk dipindahkan ke dalam komputer.

Sepanjang yang kami ketahui, beliau memang ulama yang sangat produktif, khususnya dalam menulis kitab-kitab fikih dalam empat mazhab. Kami belum mendapatkan ulama masa kini yang sangat produktif seperti beliau dalam menulis kitab.

Di samping membaca kitab-kitab ulama klasik, beliau juga mengikuti perkembangan  para ulama kontemporer, sebut saja Syekh Yusuf al-Qaradhawi. Syekh Wahbah sangat mengapresiasi  sekaligus juga mengkritiknya. Kata beliau, al-Qaradhawi sangat piawai sebagai penceramah, tetapi al-Qaradhawi mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan nas Alquran. Yaitu, fatwa tentang dibolehkannya suami istri yang berbeda agama tinggal bersama dalam satu rumah.

Menurut Syekh Wahbah, fatwa al-Qaradhawi ini bertabrakan dengan Alquran surah al-Mumtahanah ayat ke-10, yang menyatakan bahwa Muslimah tidak halal bagi lelaki non-Muslim dan non-Muslim tidak halal bagi Muslimah.

Sebagai seorang ulama yang membimbing muridnya, beliau juga tidak segan memberikan kata pengantar untuk buku kami, "Kriteria Halal Haram," yang hendak diterbitkan. Kenangan yang paling membahagiakan kami dan tidak dapat kami lupakan adalah ketika beliau mengizinkan kami untuk memijatnya.

Ketika berkunjung ke Pesantren Darus Sunnah di Ciputat yang kami asuh, setelah memberikan ceramah kepada para santri, beliau kami ajak istirahat di salah satu rumah dosen Darus Sunnah. Kami mempersilakan beliau untuk istirahat di kamar, kemudian kami minta izin untuk memijat beliau. Kami langsung teringat ketika kami sering memijat guru kami, KH Idris Kamali, rahimahullah, menantu KH Hasyim Asy'ari rahimahullah di Pesantren Tebuireng.

Kyai Idris, begitu panggilan akrab beliau, setiap habis Isya selalu menghafalkan Alquran. Ada dua santri yang selalu mendampingi,  yang satu menyimak hafalan beliau dan yang satu memijat badannya. Suatu saat ketika kami pijat dan Kiai Idris masih membaca Alquran, tidak berselang lama beliau tertidur nyenyak.

Kami pun tidak berani membangunkannya. Ada orang bilang pijatan yang bagus adalah pijatan yang dapat menidurkan seseorang. Kami tetap memijat sampai lama sekali dan beliau tetap tidur nyenyak. Setelah itu, beliau bangun dan menyuruh kami kembali ke kamar. Ketika kami melihat jarum jam di masjid pesantren, ternyata sudah menunjukkan jam dua dini hari. Ketika kami memijat Syekh Wahbah, kami berharap beliau tertidur nyenyak di Darus Sunnah.

Namun, karena beliau ngajak ngobrol, beliau tidak tidur. Bagaimanapun, kami merasa sangat bahagia karena kedua tangan kami pernah memijat seorang ulama papan atas berkaliber internasional yang oleh sementara orang disebut sebagai "Imam Nawawi" masa kini.

Selamat jalan ayahanda Syekh Wahbah al-Zuhaili. Semoga Allah menerima amal baik ayahanda dan mengampuni kekeliruan ayahanda. Dan semoga Allah memberikan pengganti yang lebih baik untuk umat Islam.

*Imam besar Masjid Istiqlal Jakarta dan Pengasuh Pesantren Darus Sunnah Ciputat.

 

BOKS

Tokoh Muslim Berpengaruh di Dunia

Oleh Nashih Nashrullah

Pemilik nama lengkap Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, yang berulang kali pernah berkunjung ke Indonesia itu, merupakan salah satu ulama Suni terkemuka abad ini. Ia termasuk anggota Dewan Pakar Komite Fikih di sejumlah negara, seperti Arab Saudi, India, Amerika, dan Sudan. Ia juga didaulat sebagai ketua jurusan fikih Islam Universitas Damaskus.

Tokoh kelahiran Damaskus, Suriah, pada 1932 ini, termasuk 500 figur Muslim berpengaruh di dunia. Sejumlah penghargaan dunia internasional telah ia raih. Pada 2008, Pemerintah Malaysia menghadiahkan penghargaan berupa sosok Muslim paling utama kepada Syekh Wahbah.

Jasa Syekh Wahbah yang merupakan jebolan al-Azhar, Kairo, Mesir, ini dalam khazanah keilmuan Islam masa kini pun sangat besar. Ia telah mengarang ratusan kitab, terutama di bidang fikih Islam. Di antara salah satu karyanya yang monumental adalah al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Kitab fikih perbandingan yang terdiri atas 11 jilid ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, antara lain, Persia dan Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement