Rabu 18 Oct 2017 16:24 WIB

Harmonisasi Peraturan Daerah dan Pusat Belum Tercapai

Rep: Kabul Astuti/ Red: Dwi Murdaningsih
Rembuk Nasional 'Membangun Harmonisasi Legislasi Nasional Dengan Legislasi di Daerah' yang digelar Panitia Perancang Undang-Undang(PPUU) DPD RI, Gedung Nusantara IV Senayan Jakarta, Rabu(18/10).
Foto: dpd
Rembuk Nasional 'Membangun Harmonisasi Legislasi Nasional Dengan Legislasi di Daerah' yang digelar Panitia Perancang Undang-Undang(PPUU) DPD RI, Gedung Nusantara IV Senayan Jakarta, Rabu(18/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang mengatakan harmonisasi antara peraturan daerah (perda) dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi belum tercapai, terbukti dengan adanya 3.143 perda yang dibatalkan oleh pemerintah pusat.

"Kelemahan penyusunan perda, kurang memperhatikan peta peraturan perundang-undangan termasuk evaluasi dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi," kata Oesman Sapta dalam sebuah diskusi di Gedung DPR RI, Rabu (18/10).

Sebanyak 3.143 peraturan daerah dibatalkan oleh Jokowi dengan alasan menghambat kecepatan dalam menghadapi kompetisi, meningkatkan investasi, dan pertumbuhan ekonomi daerah.

Perda-perda itu dinilai memperpanjang jalur birokrasi, yang menghambat proses perizinan, menghambat kemudahan berusaha, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Oesman menjelaskan posisi perda ada di bawah Undang-undang, sehingga perda bisa dibatalkan oleh undang-undang jika ditemukan adanya pertentangan. Tapi selama tidak ada pelanggaran terhadap Undang-undang, perda tetap berlaku untuk kepentingan daerah.

Dia mengatakan pemerintah perlu mencari jalan yang efisien, yang dapat mendorong pertumbuhan daerah dan kebijakan daerah betul-betul berlaku untuk daerah. Perlu disusun kesepakatan supaya tidak ada tumpang tindih atau keragu-raguan pemerintah daerah dalam menyusun perda.

Menurut Oesman, mekanisme pengawasan perda harus berganti ke arah paradigma konsultasi dalam pembentukan perda. Selama ini daerah lebih banyak berkonsultasi ke Kemendagri secara terpusat. Oesman mengatakan, pintu konsultasi ini harus dibuka lebar agar menciptakan harmonisasi dan sinkronisasi perda.

Oesman menyatakan, mekanisme konsultasi perlu dikuatkan karena bisa jadi daerah kesulitan membentuk perda, terutama yang terkait investasi, retribusi, perizinan, dan pelayanan birokrasi. "Sebelum dibangun perda itu ada komunikasi kerja sama antara DPD, Kemendagri, dan pemda. Dengan demikian tidak ada lagi kemungkinan-kemungkinan kesalahan dalam perda itu."

Dengan mekanisme ini, Oesman juga berharap DPD RI dapat menjadi jembatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyusunan legislasi di daerah sehingga dapat mengurangi terjadinya pertentangan antara perda dengan peraturan yang lebih tinggi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement