Friday, 10 Syawwal 1445 / 19 April 2024

Friday, 10 Syawwal 1445 / 19 April 2024

Wakil Ketua MPR Komentari Kebijakan Hadiah Rp 200 Juta

Kamis 11 Oct 2018 22:20 WIB

Red: Gita Amanda

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Mahyudin.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Mahyudin.

Foto: MPR
Pemerintah diminta hati-hati terhadap kemungkinan adanya laporan palsu atau hoaks.

REPUBLIKA.CO.ID, BALIKPAPAN -- Baru-baru ini masyarakat heboh dengan keluarnya kebijakan Pemerintah yang akan memberikan hadiah Rp 200 juta kepada masyarakat yang melaporkan kasus korupsi. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Mahyudin menyambut baik, namun ia mengingatkan pemerintah agar hati-hati.

Kebijakan itu dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 43 tahun 2018 Pasal 17 ayat 1 dan 2. PP menyatakan bahwa masyarakat yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai dugaan korupsi, akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk piagam dan premi yang besarannya maksimal Rp 200 juta.

PP 43/2018 itu sendiri telah ditandatangani Presiden Joko Widodo dan diundangkan Kementerian hukum dan HAM pada 18 September 2018. Menyikapi hal tersebut, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Mahyudin mengatakan bahwa PP tersebut merupakan terobosan pemerintah agar masyarakat terpacu untuk ambil bagian dalam pemberantasan korupsi.

"Menurut saya hadiah itu terobosan positif buat masyarakat sehingga masyarakat menjadi bersemangat ambil bagian dalam pemberantasan korupsi dan yang berniat melakukan korupsi akan berpikir seribu kali untuk melakukan korupsi," katanya, usai Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, di Balikpapan, Kalimantan Timur, Kamis (11/10).

Namun, lanjut Mahyudin, pemerintah mesti hati-hati dalam menerapkan peraturan tersebut karena dikhawatirkan banyak laporan hoaks yang memfitnah seseorang hanya karena mengejar hadiah Rp 200 juta. "Sebab tak jarang juga banyak laporan dugaan korupsi dari masyarakat yang belakangan ternyata tak terbukti sehingga menimbulkan dampak negatif bagi terlapor.  Selain namanya sudah terlanjur rusak, dia juga tidak konsentrasi lagi dalam menjalankan tugasnya karen ketakutan,"ujarnya seperti dalam siaran pers.

Hal-hal seperti itulah yang betul-betul harus dihindari.  Sebab, jangan sampai tujuan PP melibatkan masyarakat untuk menyelamatkan uang negara, malah uang negara tidak terpakai untuk pembangunan karena ketakutan para pejabat. Sehingga serapan anggaran menjadi sangat rendah dan pembangunan di daerah-daerah berjalan sangat lamban.

Utamakan pencegahan korupsi

Dalam kesempatan tersebut, Mahyudin mengungkapkan bahwa persoalan korupsi memang licin seperti belut. Ancaman hukuman sudah sangat berat, namun kasus korupsi malah makin menggila seperti kejahatan korupsi uang rakyat yang dilakukan sekaligus oleh 41 wakil rakyat anggota DPRD Malang.

"Melihat kenyataan tersebut, artinya, tidak berarti saya tidak mendukung OTT KPK ya, tapi, OTT KPK dan 'rompi oranye' juga belum menimbulkan efek jera dan juga tidak meredam kasus korupsi di Indonesia. Yang terbaik adalah bagaimana melakukan upaya pencegahan sebelum korupsi terjadi.  Bagaimana caranya agar orang takut dan tidak berpikir melakukan korupsi, itulah yang penting," tandasnya.

Intinya, lanjut Mahyudin, tanamkan dalam diri sendiri bahwa pejabat publik adalah pengabdian kepada rakyat bukan kesempatan mencari kekayaan. Jika mind set menjadi pejabat publik itu untuk mencari kekayaan maka rakyat Indonesia akan terus menyaksikan para pejabat silih berganti memakai 'rompi oranye' KPK.

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler