Friday, 10 Syawwal 1445 / 19 April 2024

Friday, 10 Syawwal 1445 / 19 April 2024

Pemimpin Baik Lahir Jika Masyarakat Berkualitas

Senin 12 Mar 2018 07:54 WIB

Rep: Amri Amrullah/ Red: Dwi Murdaningsih

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW).

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW).

Foto: mpr
Masyarakat diminta cerdas dalam menggunakan hak pilih.

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Masyarakat diminta cerdas dalam menggunakan hak pilih. Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan pemimpin yang baik akan dihasilkan dari masyarakat yang cerdas dalam menggunakan hak pilihnya.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) saat berada di tengah-tengah pengurus daerah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Provinsi Sumatra Utara, Ahad (11/3). Kehadiran HNW di tengah sekitar 400 anggota KAMMI dalam rangka menyampaikan materi Empat Pilar MPR RI.

HNW dalam kesempatan itu menegaskan bahwa UUD Tahun 1945 telah mengalami perubahan empat kali tahap. Dari perubahan tersebut diungkapkan dalam UUD NRI Tahun 1945 sekarang ada 21 Bab, 77 Pasal, dan 170 Ayat. Sebelum diamandemen hanya terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, dan 49 Ayat.

photo
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) saat berada di tengah-tengah pengurus daerah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Provinsi Sumatra Utara, Ahad (11/3).

Dari perubahan tersebut maka terjadi perubahan yang sangat besar. "Sekarang Presiden dipilih langsung oleh rakyat," ujarnya.

Dengan adanya pemilihan Presiden langsung, menurut HNW, UUD memberi kekuasaan tertinggi pada rakyat. "UUD memberi kekuasaan yang luar biasa pada rakyat," ujarnya.

Meski demikian ditegaskan oleh HNW agar masyarakat cerdas dalam menggunakan haknya ini. "Bila masyarakat berkualitas maka akan menghasilkan pemimpin yang baik," ujarnya.

Lebih lanjut HNW memaparkan, ketika Pancasila 22 Juni 1945 disepakati, ada pihak yang merasa keberatan dengan Sila I. Menanggapi tuntutan tersebut tokoh-tokoh Islam yang tergabung dalam Panitia 9 yang berasal dari Muhammadiyah, NU, Syarekat Islam, dan kelompok Islam lainnya rela menghapus tujuh kata dalam Sila I.

"Sila I Pancasila sekarang masih menjelaskan ketauhidan agama Islam," kata dia.

"Tokoh Islam di Panitia 9 mendahulukan kepentingan bangsa," tambahnya.

HNW mengajak membayangkan bagaimana bila kemauan mereka ditolak oleh para ulama. "Jadi di sini menunjukan ulama kita sangat toleran," ucap dia.

HNW menceritakan, Indonesia sejak tahun 1946, karena ditekan oleh Belanda dengan berbagai cara membuat bangsa ini bentuk negaranya tidak lagi NKRI namun menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal demikian akhirnya disadari oleh politisi partai Islam, Masyumi, Muhammad Natsir di tahun 1950.

Pada 3 April 1950, Natsir menyatakan Mosi Integral. Dalam mosi itu Natsir menyatakan RIS tidak sesuai dengan cita-cita 17 Agustus 1945. Keinginan untuk kembali ke NKRI oleh Natsir lewat Mosi Integral itu didukung oleh Soekarno, Hatta, dan semua politisi. "Dari mosi integral tersebut akhirnya  Indonesia  kembali ke NKRI. Dari sinilah tokoh Masyumi, partai Islam, berhasil menyelamatkan Indonesia," kata dia.

Dari paparan di atas, HNW menyebut tak mungkin saat ini ulama anti-NKRI karena pendahulunya adalah penyelamat NKRI. "Ulama menyelamatkan NKRI," kata dia.

HNW sebagai pemateri didampingi oleh anggota MPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F PKS) Ansory Siregar, Ketua PD KAMMI Sumatera Utara Mangaraja Harahap, dan Ketua KAMMI Medan Arri Aliansyah Siregar.

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler