Wednesday, 15 Syawwal 1445 / 24 April 2024

Wednesday, 15 Syawwal 1445 / 24 April 2024

Pengaktifan Kembali GBHN Terbentur Landasan Yuridis

Rabu 11 Oct 2017 18:10 WIB

Rep: Amri Amrullah/ Red: Dwi Murdaningsih

Dialog yang digelar Sekretariat Jendral MPR RI, MPR Rumah Kebangsaan bertema 'Reformulasi Sistem Perencanaan Model GBHN, di Lobby Nusantara V, Kompleks MPR, DPR dan DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (11/10).

Dialog yang digelar Sekretariat Jendral MPR RI, MPR Rumah Kebangsaan bertema 'Reformulasi Sistem Perencanaan Model GBHN, di Lobby Nusantara V, Kompleks MPR, DPR dan DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (11/10).

Foto: mpr

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah sepakat untuk menghadirkan sistem perencanaan pembangunan nasional model Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Keputusan politik di MPR untuk mewujudkan GBHN sudah selesai. Namun, langkah mewujudkan sistem perencanaan nasional model GBHN itu masih terbentur pada masalah yuridis, apakah dalam bentuk Ketetapan (Tap) MPR atau Undang-Undang (UU).

Hal ini terungkap dalam dialog yang digelar Sekretariat Jendral MPR RI, MPR Rumah Kebangsaan bertema 'Reformulasi Sistem Perencanaan Model GBHN, di Lobby Nusantara V, Kompleks MPR, DPR dan DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (11/10). Dialog ini menghadirkan Pimpinan Fraksi Partai Golkar MPR RI, Deding Ishak dan anggota Lembaga Pengkajian MPR RI, Margarito Kamis.

Menurut Margarito, yang menjadi persoalan saat ini karena UUD NRI 1945 tidak lagi memberikan kewenangan kepada MPR untuk menetapkan GBHN. "Kesulitan untuk memberikan justifikasi konstitusional untuk membuat mirip dengan GBHN. Masalah utamanya di sini," kata Margarito.

Namun bukan berarti menghidupkan kembali GBHN tidak mungkin. Kajian terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia mengemuka, karena semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat luas terhadap arah perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Kehadiran kembali GBHN saat ini dipandang sangat penting dan mendesak oleh sebagian besar masyarakat. Pentingnya mengaktifkan kembali GBHN bertujuan agar arah pembangunan nasional berjalan secara berkesinambungan. Tanpa periodeisasi kepemimpinan nasional.

Margarito menambahkan, dalam kenyataannya ada perbedaan luar biasa antara pusat dan daerah bahkan antara sesama daerah. Kehidupan kita serahkan kepada seseorang di level nasional oleh Presiden dan di daerah oleh kepala daerah bagaimana mereka mendefinisikannya.

"Seharusnya definisi dibuat bersama, masalahnya ada kesulitan melinierkan kebijakan antara pusat dan daerah. Karena Presiden dari partai PDI Perjuangan, sementara kepala daerah dari partai lain. Kalau ada satu pedoman maka akan selaras," kata Margarito.

Pimpinan Fraksi Partai Golkar MPR RI, Deding Ishak  mengatakan dengan adanya GBHN terjadi sinkronisasi pembangunan antara pusat dan daerah serta antar daerah, adanya perwujudan kedaulatan rakyat, adanya ukuran capaian pembangunan nasional dan upaya-upaya percepatannya.

Karena itu, menurut Deding, perlunya reformulasi Sistem Perencanaan Model GBHN, karena Presiden memiliki misi untuk kelanjutan pembangunan. Hingga pada kesimpulan untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 45 diperlukan sebuah pedoman.Ternyata selama ini pada pelaksanaannya antara kebijakan pusat dan daerah tidak selaras.

"Kita jelas kehilangan kompas dan pedoman, padahal kita membangun secara keseluruhan, yang harus didukung oleh kebijakan selaras antara pusat dan daerah," ujar Deding.

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA TERKAIT

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler