Friday, 17 Syawwal 1445 / 26 April 2024

Friday, 17 Syawwal 1445 / 26 April 2024

Peran Ulama dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Kamis 27 Jul 2017 14:59 WIB

Red: Qommarria Rostanti

Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid

Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid

Foto: Dok Humas MPR RI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengatakan bahwa Islam tidak pernah mendikotomikan antara urusan dunia dan akhirat. Menurut dia, para ulama pendiri bangsa mempelajari agama juga untuk mengetahui bagaimana mengurus kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Dalam urusan negara tak bisa kita melepaskan agama,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Kamis (27/7).

Dia mencontohkan, dasar negara Pancasila dan seluruh Undang-Undang Dasar, dari UUD Tahun 1945 hingga UUD NRI Tahun 1945, menyebutkan bahwa negara ini berdasarkan kepada Ketuhan yang Maha Esa. Ketika bangsa ini merdeka pada 17 Agustus 1945, Pancasila yang ada adalah Pancasila yang disepakati pada 23 Juni 1945. Pancasila itu disepakati oleh Tim 9.

Empat anggota tim tersebut adalah Abikusno Tjokrosuyoso, Wachid Hasyim, Kahar Muzakir, dan Agus Salim. “Mereka adalah dari golongan Islam,” kata Hidayat.

Dalam Piagam Jakarta tersebut, Sila ke-1 Pancasila mengatakan, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun pada hari selanjutnya, utusan masyarakat Indonesia bagian timur yang beragama non-Muslim melalui Mohammad Hatta merasa keberatan dengan sila tersebut.

Setelah melakukan perundingan, akhirnya keberatan itu diterima sehingga sila tersebut diubah bunyinya seperti yang ada sekarang. “Tokoh-tokoh Islam mengakomodasi keberatan itu,” ujarnya. Sila ke-1 Pancasila pun akhirnya diterima semua kelompok.

Sila ke-1 Pancasila itu menunjukkan dasar negara menyatakan adanya relasi, hubungan, antara negara dan agama. Hidayat menyebut, para pendiri bangsa memikirkan bagaimana cara mempunyai sebuah negara Indonesia merdeka tetapi juga berjalannya keberagamaan.

Meski ada perubahan Sila I Pancasila, umat Islam tetap bersemangat dalam masalah kebangsaan dan kenegaraan. Ini terbukti ketika Belanda hendak kembali menguasai Indonesia dengan memboncengi tentara Sekutu yang menyerbu Surabaya.

Para ulama di Jawa Timur dan Madura yang dipimpin oleh KH Hasyim Azhari mengeluarkan fatwa jihad. Fatwa itu berisi sikap bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. “Umat Islam bersepakat untuk mempertahankan Indonesia,” ujarnya.

Dia membayangkan apabila ulama tidak peduli pada bangsa dan negara. “Bisa-bisa Indonesia dikuasai dan dijajah asing lagi,” kata politikus dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Meski Indonesia sudah merdeka, namun Belanda dengan berbagai cara tetap ingin menguasai Indonesia. Apaila tidak lewat kekuatan perang, mereka akan melakukan lewat kekuatan diplomasi. Kekuatan diplomasi ini, kata dia, mampu membuat Indonesia terpecah-belah dalam berbagai negara tersendiri.

Indonesia berada dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Kala itu, menurut partai Islam, Masyumi, bentuk RIS tidak sesuai dengan cita-cita Indonesia merdeka. Untuk itu politikus Islam yang bernama Mohammad Natsir menggalang kekuatan dan dukungan dari anggota parlemen untuk menolak bentuk RIS.

Pada 3 April 1950, Natsir berpidato tentang mosi integral. Mosi ini menghendaki Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mosi itu didukung oleh para politisi dan Mohammad Hatta. Akhirnya pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali ke bentuk NKRI setelah Januari 1946 hingga April 1950 berbentuk RIS.

Dari paparan sejarah tersebut, Hidayat menegaskan tidak benar apabila umat Islam anti-Pancasila dan anti-NKRI. “Umat Islam yang menyelamatkan Indonesia,” ujarnya.

Para pendiri bangsa yang banyak berasal dari lulusan pesantren itu membangun negara tanpa melepas pemahaman keagamaan mereka. ”Ketika kita memahami Empat Pilar MPR, kita tidak lepas dari adanya relasi, hubungan, ke-Indonesia-an dan keislam-an,” kata Hidayat.

Kemarin, Hidayat menyampaikan pemahaman itu kepada civitas akademika Sekolah Tinggi Islam dan Dirosat  Islamiyah (STIDI) Al Hikmah, Jakarta. Dia pun berterima kasih kepada pihak perguruan tinggi itu karena telah melakukan kerja sama dengan MPR dalam hal mensosialisasikan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bineka Tunggal Ika. “Terima kasih atas kerja samanya,” ujarnya.

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler