REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan yang terjadi saat ini bukan karena persoalan keyakinan, melainkan kesenjangan sosial. Hal ini diungkapkan Mahfud MD, ketua APHTN-HAN, dalam acara 'Curah Rasa dan Pendapat Para Tokoh Nasional: Refleksi Kebangsaan Rawat Kebhinekaan Untuk Menjaga Keutuhan NKRI' di Gedung Nusantara Gedung MPR, Jakarta, Selasa (13/6).

Selain menampilkan para undangan dari tokoh nasional dan tokoh agama, juga hadir dari kalangan budayawan, tokoh adat dan suku. Hadir dalam acara tersebut, Ketua MPR Zulkifli Hassan, Jimly Ashiddiqie, K.H. Salahuddin Wahid, Jendral (pur) Try Sutrisno, Hidayat Nur Wahid, E.E Mangindaan, dan Machfud MD.

Tamu undangan dari kalangan tokoh budayawan dan tokoh agama diantaranya Benny Susetyo, Pr atau yang biasa disapa Romo Benny, Bachtiar Nashir, Jaya Suprana, HS Dillon, Sandyawan Sumardi (Romo Sandy), Franz Magnis Suseno dan Romo Mudji Sutrisno, serta Uung Sendana, ketua Matakin dari perwakilan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia.

Jimly Asshiddiqie selaku moderator mengatakan, pertemuan Curah Rasa dan Pendapat Para Tokoh Nasional ini mungkin belum sempurna. Karena itu, kegiatan diperlukan sebagai lanjutan. ''Majelis Permusyawaratan Rakyat siap sebagai rumah rakyat untuk menampung ide dan pembicaraan mengenai pentingnya kerukunan negara ini," katanya.

Ia pun mengatakan, istilah yang dipakai dalam dialog ini adalah curah rasa dan pendapat dan refleksi kebangsaan, bukan hanya curah rasionalitas. "Saya hanya mengatur lalu lintas, saya persilahkan bapak ibu bergantian memberi pendapatnya," kata Jimly.

Kesenjangan Sosial

Mahfud MD tampil sebagai tokoh pertama dalam acara yang dimulai pukul 13.00 WIB. Ia mengatakan ada sekelompok kecil yang merasa kelompoknya harus dominan di negeri ini, karena kelompoknya dianggap terbesar secara sosial.

''Ada sekelompok kecil orang Islam. Membuat garis perjuangan. Kalau mainstream umat Islam tidak begitu. Seperti, NU dan Muhammadiyah. Tidak ada masalah dengan Pancasila, tidak ada saling dominan. Ini negara kekeluargaan dan gotong royong,'' katanya.

Mahfud mengatakan, sebagai orang Islam, berislam di Indonesia sangat nyaman dibanding di Saudi Arabia. Majelis Taklim di sana tidak ada. Pengajian sangat resmi di sana. Di Indonesia menjalankan kegiatan keagamaan enak, hubungan personal sangat enak.

"Yang tidak Islam pun sudah terbiasa memakai therma-therma Islam. Seperti, Insya Alllah, Alhamdulilah atau Assalammualaikum. Sudah biasa dan tidak merasa berat mengatakan,'' kata Mahfud. ''Kita tidak ada persoalan permusuhan. Situasi sekarang ini bukan persoalan keyakinan pada awalnya, tapi kesenjangan sosial.''

"Situasi sekarang, menurut saya, bukan persoalan keyakinan awalnya, tapi kesenjangan sosial, ketidakadilan dan penegakan hukum yang transaksional uang,'' katanya.

Menurut Mahfud, penegakan hukum banyak melenceng, banyak rekayasa di aparat penegak hukum. Mereka bilang dibuktikan ke pengadilan. ''Saya paling tidak setuju pembuktian di pengadilan. Ke pengadilan kalau terpaksa saja. Itu hanya mengajak bertengkar, bukan menjadikan hukum menjadi harmoni di tengah masyarakat kita," ujarnya.

Saling Tersakiti

KH Salahuddin Wahid atau Gus Solah mengatakan, sekarang ini terjadi ada rasa saling tidak percaya dan tersakiti. Rasa tersebut cukup kuat. Bahkan lingkungan RT atau RW yang biasa guyub, kini tidak saling akrab lagi usai Pilkada DKI Jakarta.

"Menunjukkan keterbelahan hingga ke bawah. Harus dilakukan sesuatu untuk menurunkan suhu sosial politik. Kalau sudah normal, baru dicari sakit apa," katanya.

Menurut Gus Solah, setelah 72 tahun merdeka, ternyata ada masalah belum selesai. ''Kita harus cari tahu bersama, apa masalahnya. Blessing in disguise kita mengetahui masalah ini dalam masa tidak sulit," kata Gus Solah.

Jimly mengatakan, harusnya setelah Pilkada selesai, dinamika politik juga reda. Pendekatan penegakkan hukum harus tegas, tapi belum tentu bisa diandalkan karena banyak yang tidak percaya pada hukum. "Bangsa Indonesia paling plural dan paling toleran," kata Jimly.

Budayawan Mudji Sutrisno mengatakan, yang berkelahi di tengah kalangan elite sendiri. "Mari kembali ke jalan kebudayaan ini. Peradaban adalah humanisasi dari proses politik, ekonomi dan kesejahteraan bangsa ini. Kita punya tradisi kebudayaan yang berubah, lisan, tulisan dan digital yang saling tabrakan," katanya.

Dampak Medsos

Romo Benny menunjuk mengapa masalah sekarang ini makin membesar. Menurut Romo Benny, orang lupa soal gejala sosial dari media sosial.

Menurutnya, pengguna medsos di Indonesia saat ini mencapai 100 juta lebih. Kerap kali medsos membuat jaringan dan masuk ke ruang personal atau keluarga dan disebarluaskan. Tidak ada pendidikan kritis dalam media dan masyarakat afirmasi yang mengiyakan saja apa yang dikatakan media sosial. Ketegangan ini akan terus terjadi.

"Kita hanya pengguna dan kita tidak punya kemampuan teknologi untuk menghentikan provokasi. Di Cina, ada alat khusus untuk keutuhan dan kebangsaan maka negara berperan menghentikan itu," katanya.

Penggunaan medsos seharusnya sadar dan selektif untuk menjaga keutuhan, kemajemukan dan keragaman. Romo Benny pun berharap ke depan Pancasila dibangkitkan dengan kultur yang populer. "Tidak mungkin doktrinal, perlu membangun dialog,'' katanya.

''Kita harus membangun persatuan, itu penting. Tidak menjadikan medsos sebagai alat provokasi. Tokoh bangsa harus memberi keteladanan. Dan juga, ada krisis di kalangan tokoh sehingga antara kata dan perbuatan tidak satu,'' katanya.