Sunday, 19 Syawwal 1445 / 28 April 2024

Sunday, 19 Syawwal 1445 / 28 April 2024

Menengok Kerukunan Beragam Etnik di Aceh Tenggara

Sabtu 05 Nov 2016 08:30 WIB

Red: Dwi Murdaningsih

 Pagelaran seni budaya di Lapangan Jenderal Ahmad Yani Taman Kota Kutacane menampil seni budaya dari berbagai etnik.

Pagelaran seni budaya di Lapangan Jenderal Ahmad Yani Taman Kota Kutacane menampil seni budaya dari berbagai etnik.

Foto: mpr

REPUBLIKA.CO.ID, KUTACANE -- Kutacane adalah ibukota Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh. Berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Utara. Kutacane dapat dijangkau dari Kota Medan, dengan jarak tempuh 7 sampai 8 jam menggunakan kenderaan roda empat. Meski berada di propinsi Aceh, butuh waktu hampir 24 jam untuk menjangkau Kutacane dari Banda Aceh dengan kendaraan roda empat.

Kabupaten Aceh Tenggara terletak di sebuah lembah, diapit oleh dua gunung, yaitu Gunung Leuser dan Bukit Barisan. Bertetangga dekat dengan Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Tak heran kalau penduduk Kabupaten Aceh Tenggara ini banyak terdapat etnis Batak. Mereka hidup berdampingan dengan etnik Alas (suku bangsa asli Aceh Tenggara), dan hidup rukun dengan etnik-etnik lainnya.

Indra Wahyudi dari Badan Pelaksana Jaringan Masyarakat Adat Aceh Tenggara menjelaskan, di Aceh Tenggara terdapat 11 etnik. Yang terbesar adalah etnik Alas dengan populasi 50-60 persen. Lalu, disusul etnik Gayo 18 persen, etnik Batak 20 persen, dan sisanya gabungan etnik Singkil, Karo, Aceh Pesisir, Minang dan lainnya.

Meski di wilayah bekas kerajaan Alas ini hidup beragam etnik dan juga berbagai agama, namun belum pernah terjadi kasus SARA, seperti terjadi di daerah lainnya. Di daerah yang sangat menghargai keberagamaan dan perbedaan inilah pada Jumat malam (4/11), MPR bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara menyelenggarakan Sosialisasi Empat Pilar MPR dengan metode seni budaya.

Pagelaran seni budaya di Lapangan Jenderal Ahmad Yani Taman Kota Kutacane ini menampilkan seni budaya dari berbagai etnik. Karenanya disebut Pagelaran Seni Etnik Aceh Tenggara. Seperti Tangis Dilo/ Lagam Etnik Alas, Tari Dampeng Etnik Singkil, Tor Tor Etnik Batak, dan Saman Saraingi Etnik Gayo. Serta pertunjukan musik Komunitas Rangkaian Bunga Kopi dari Jakarta.

Pageran ini dibuka dengan pemukulan gendang Dampeng oleh Muslim Ayub, anggota MPR RI Fraksi PAN, mewakili pimpinan MPR. Acara ini dihadiri Irmawan (Anggota Fraksi PKB MPR), HM. Nasir Jamil (Fraksi PKS MPR). Juga hadir Bupati Aceh Tenggara Hasanuddin Beruh, dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Aceh Tenggara Bahagiawati.

Muslim Ayud dalam sambutannya menyatakan, pemanfaatan seni budaya sebagai media sosialisasi dikarenakan kesenian merupakan salah satu sarana efektif untuk digunakan. Sebab, seni budaya telah menjadi bagian penting dalam kehidupan keseharian masyarakat, baik masyarakat di perkotaan maupun masyarakat pedesaan.

Selain itu, menurut Muslim Ayub, seni budaya tradisional memiliki basis penggemar atau peminat yang fanatik dalam jumlah besar, sehingga diharapkan pesan-pesan sosialisasi dapat tersempaikan.

Bupati Aceh Tenggara Hasanuddin Beruh dalam sambutannya menjelaskan, di Aceh Tenggara terdapat 11 etnik, karenanya Aceh Tenggara dijuluki miniatur Indonesia. Meski berbeda etnik dan berbeda agama, menurut Hasanuddin, selama 10 tahun dia menjabat Bupati Aceh Tenggara tak pernah sepercik pun terjadi gesekan antaretnik.

Meskipun selama ini etnik-entik di Aceh Tenggara dapat hidup berdampingan dengan baik, namun sosialisasi Empat Pilar MPR memang perlu sebagai bekal untuk terwujudnya nilai-nilai Empat Pilar itu dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, Hasanuddin berharap, nilai-nilai Empat Pilar ini bisa diimplementasikan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler