Jumat 15 Jun 2012 14:41 WIB

Dana Kampanye Pilkada DKI Diusulkan Dibatasi

Rep: Amri Amrullah/ Red: Dewi Mardiani
Pejalan kaki melintas di baliho sosialisasi Pilgub DKI yang dipasang di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.
Foto: Fanny Octavianus/Antara
Pejalan kaki melintas di baliho sosialisasi Pilgub DKI yang dipasang di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat Politik, Ray Rangkuti, menilai salah satu cara untuk menghindari kecurangan politik uang jelang masa kampanye di Pilkada DKI Jakarta 24 Juni mendatang, adalah membatasi dana politik dari keenam pasangan calon. Selain melakukan audit dana kampanye, menurut Ray, ada baiknya dana kampanye pasangan calon dibatasi besarannya.

"Penyelenggara pemilu seharusnya mengeluarkan peraturan membatasi dana kampanye ini agar tidak terjadi indikasi," ujar Ray dalam diskusi 'Pemilu dan Quo Vadis Partai Politik dan Lembaga Survei' di Cikini, Jumat (15/6).

Dengan membatasi dana kampanye ini, terang Ray, maka akan meminimalisir demokrasi yang transaksional. Terutama membeli masa politik untuk mendukung dan meramaikan salah satu pasangan calon. "Ini dilakukan juga agar dapat berlaku adil bagi calon independen," ucap Ray.

Hal senada diungkapkan Peneliti Lembaga Penelitian Kebijakan Publik, The Indonesian Institute, Hanta Yuda. Pembatasan dana kampanye, menurut Yuda adalah salah satu cara yang paling mudah dalam meredam permainan uang dalam Pilkada DKI 11 Juli mendatang.

"Batasi dana kampanye, itu yang paling dekat untuk mengantisipasi politik uang di Pilkada DKI," ujar Yuda. Yuda menilai, perilaku politik uang dalam pemilu baik kepala daerah maupun kepala negara sangat susah dihindari. Karena terang dia, sisitem perpolitikan Indonesia membuka peluang terjadinya moey politik selama masa kampanye.

Penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPUD hanya bisa mengaudit sumber dana kampanye, tanpa ada pembatasan jumlah maksimalnya. Sedangkan besaran jumlah dana kampanye tersebutlah, menurut Yuda, yang membuka ruang politik transaksi. "Semakin besar uangnya maka potensi pengerahan massa politik uang untuk masyarakat menengah kebawah semakin besar," jelas Yuda.

Mengapa terjadi demikian, menurut Yuda, hal itu dikarenakan tidak adanya pendidikan politik bagi masyarakat menengah kebawah. Seringkali, ungkap Yuda, mereka merasakan kegagalan program pemerintahan. Tetapi ketika diajak untuk memilih calon yang dianggap gagal, mereka tetap akan memilih juga.

Inilah indikasi tidak berjalannya pendidikan politik, di mana menurut Yuda, seharusnya menjadi program partai politik. Namun kenyataannya partai politik seringkali mengajarkan politik transaksional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement