Senin 02 Apr 2012 20:49 WIB

Jokowi dan Politik Identitas Baju Kotak-kotak

Calon Gubernur Joko Widodo memperlihatkan kartu sehat dan kartu pendidikan, di Jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk, Ahad (1/3). (Republika/Adhi Wicaksono)
Calon Gubernur Joko Widodo memperlihatkan kartu sehat dan kartu pendidikan, di Jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk, Ahad (1/3). (Republika/Adhi Wicaksono)

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Achmad Zaenal M/ Antara

SEMARANG -- Persaingan memperebutkan ruang media bagi calon Gubernur DKI Jakarta, saat ini sepertinya dimenangi Joko Widodo yang masih menjabat Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah.

Media, terutama situs berita dan media sosial, setiap hari nyaris memberitakan kiprah Joko Widodo yang berpasangan dengan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dalam pencalonannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Baju lengan panjang digulung motif kotak-kotak yang dikenakan saat mendaftar di Komisi Pemilihan Umum Daerah DKI Jakarta pada 24 Maret 2012, hingga hari ini pun terus jadi liputan media. Diulas dari beragam sisi.

Sejak ia sukses menata Kota Surakarta, apa pun yang dilakukan oleh Jokowi selalu mendapat sorotan luas media. Yang menakjubkan, liputan itu nyaris tanpa kritik yang berarti terhadap Jokowi.

Mobil Esemka yang akhirnya menuai kegagalan pada uji emisi pun tidak memicu cibiran, setidaknya di media. Peluncuran mobil Esemka memang mendapat liputan (baca: dukungan) luar biasa dari media cetak, online, dan televisi.

Sebelumnya, simpati publik kepada Wali Kota Jokowi dan Wakil Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo, memang sudah mengalir deras tatkala kedua petinggi Surakarta ini menyatakan akan menggunakan Esemka sebagai mobil dinas.

Kegagalan mobil Esemka melewati uji emisi ternyata tidak serta merta memelorotkan popularitas Jokowi. Sepertinya, publik bisa memakluminya.

                                                               

                                                                     ***

Apa yang dilakukannya seolah selalu mendapat dukungan publik dan media, termasuk ketika menolak rencana Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dalam membangun pusat perbelanjaan di bekas pabrik gula di Surakarta.

Panggung Jokowi kini memang bukan hanya Surakarta dan sekitarnya atau Jawa Tengah, melainkan nasional. Namanya kini hampir setiap hari muncul di media dengan citra yang mengilap.

Keunikan terencana kembali diperlihatkan oleh Jokowi ketika bersama Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) mendaftar di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta pada 24 Maret 2012.

Duet ini mengenakan seragam baju kotak-kotak. Seragam ini lebih menyedot perhatian awak media ketimbang pakaian yang dikenakan lima pasangan lain, sebab tidak lazim pasangan kepala daerah mengenakan seragam pakaian penyanyi "country".

Tentu keunikan seragam itu menyulut orang untuk membicarakannya, setidaknya seragam kotak-kotak merah hitam itu menjadi perbincangan ramai di media sosial.

Di mata sebagian orang, baju motif kotak-kotak yang sering dipakai penyanyi musik "country" itu menunjukkan kesederhanaan dan egaliter, kesan yang melekat pada Jokowi selama ini.

"Ini namanya bangun 'personal brand' bahwa kotak-kotak ini milik Jokowi, bukan kotak-kotak yang lain," kata Jokowi di Jakarta, Senin (2/4).

Penggulungan lengan baju hingga ke siku juga menyiratkan pesan bahwa dia siap bekerja turun ke lapangan untuk menyelesaikan masalah di Ibu Kota Indonesia. Meskipun dari sisi motif dan mode baju kotak-kotak tersebut tidak ada yang istimewa, konsistensi Jokowi mengenakan baju ini ketika berada di ruang publik, termasuk ketika tampil di stasiun televisi, menjadikan motif baju ini identik dengan Jokowi.

Baju kotak-kotak itu tidak lagi sekadar penanda identitas Jokowi dan Basuki menjelang pertarungan cagub DKI Jakarta, tetapi juga bakal menjadi salah satu sumber pemasukan uang untuk membiayai kampanye pasangan ini.

Kini, masyarakat bisa beli baju kotak-kotak khas duet Jokowi-Ahok. Apa pun motif pembeliannya, duet Jokowi-Ahok ini mengajarkan pada banyak politikus bahwa masyarakat awam pun bisa menjadi donor bagi politikus.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini dalam setiap pemilu dan pilkada banyak calon kepala daerah dan calon legislator membeli dukungan dari pemilih dengan uang kontan.

"Kalau saya membagikan ribuan baju kotak-kotak (ke masyarakat), itu duitnya dari mana," kata Jokowi di Solo, Jumat (30/3) pekan lalu. Untuk mengumpulkan duit buat kampanye, Jokowi merencanakan mencetak sejuta baju motif kotak-kotak, dengan harga jual Rp100.000/potong.

                                                                      ***

Magnet media

Menurut pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang Mochamad Yulianto, Jokowi sangat sadar atas segala langkah yang ditempuh selama ini untuk membangun citranya, termasuk ketika memutuskan menggunakan baju motif kotak-kotak ketika mendaftar ke KPUD Jakarta.

Padahal, kalau menilik tempat asalnya, Jokowi sebenarnya lebih pas mengenakan busana batik karena Surakarta (Solo) merupakan salah satu sentra batik terbesar di negeri ini.

Oleh karena itu, pemilihan baju motif kotak warna merah putih dan hitam itu merupakan pilihan sadar yang diharapkan membentuk identitas diri pada Jokowi dan pasangannya.

"Pemakaian baju dengan motif tertentu seperti itu memudahkan publik mengingat identitas seseorang, semacam politik identitas," kata Yulianto.

Menurut dia Jokowi setidaknya memiliki tiga kekuatan. Pertama, dia sosok pengusaha yang sukses berkarya di birokrasi dengan keberhasilannya membangun berbagai sektor Kota Surakarta.

Kedua, gaya kepemimpinan rendah hati (low profile) yang menegaskan bahwa untuk mencapai tujuan besar tidak harus dicapai dengan pendekatan kekuasaan, tetapi dengan pendekatan persuasif humanistik.

Ketiga, menurut Yulianto, kemampuannya berkomunikasi dengan media sehingga meski hanya seorang kepala daerah dari kota kecil, Jokowi senantiasa menjadi "news maker" di panggung nasional.

"Kemampuan 'media relation' Jokowi luar biasa. Apa yang dilakukannya selalu menjadi magnet media," katanya.

Dengan kelebihan seperti itu, menurut dia, PDI Perjuangan yang tak memiliki stok kader siap pakai untuk maju ke Pilgub DKI Jakarta akhirnya melirik Jokowi yang memang kader partai banteng moncong putih ini.

"Di kalangan media, Jokowi saat ini mungkin paling populer. Namun, Jakarta bukan Surakarta. Jumlah penduduk dan kompleksitas masalah di Surakarta tak sampai seperlima dari Jakarta," kata Yulianto.

Menurut dia peluang Jokowi memenangi Pilgub DKI Jakarta memang berat, terutama dalam menghadapi petakhta (incumbent) Fauzi Bowo yang dijagokan Partai Demokrat dan cagub Hidayat Nur Wahid yang diusung PKS.

"Saya hanya semut, sedangkan calon lainnya adalah gajah yang punya segala-galanya," tulis Jokowi dalam akun Twitter-nya.

Namun, apa pun hasilnya, menurut Yulianto, Jokowi telah mengajarkan kepada banyak orang bahwa masih banyak cara bermartabat untuk mencapai tujuan politik.

Jokowi telah membuktikan kiatnya sehingga bisa memenangi Pilkada Surakarta dua periode berturut-turut, bahkan dia mengantongi dukungan 91 persen suara pada pilkada periode kedua masa jabatannya.

"Kalau dengan cara bermartabat bisa meraih tujuan politik, untuk apa mencari dukungan politik dengan cara-cara kotor," kata Yulianto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement