Ahad 25 Sep 2016 16:34 WIB

Menjejak Sisa Letusan Krakatau

Red: Arifin

Menikmati keindahan alam Anak Krakatau dari rute Sari Ringgung, pengalaman yang tak terlupakan.

 

Tanggal 27 Agustus 1883. Hari itu masih pukul 10.00 ketika langit berubah gelap. Kala itu, Geliat Gunung Krakatau telah mencapai puncaknya setelah pada 20 Mei 1883 gunung ini mulai menunjukkan keaktifannya melalui letusan Gunung Perbuwatan. 

Abu dari letusan dahsyat ini membuat pagi seketika seketika menjadi 'malam'. Abu yang menyelimuti langit menyebabkan kegelapan hingga radius 200 km dalam waktu 22 jam.

Dalam waktu 10-12 hari, hujan abu Krakatau telah bergulir hingga sejauh 6 ribu km, mencapai Semenanjung Afrika. Dan pada 30- 31 Agustus 1883, hujan abu telah mencapai pantai barat Australia.

Letusan dahsyat ini membuat abu panas bersuhu tinggi mampu menerobos celah-celah lantai rumah warga yang bertingkat atau pun berbentuk panggung kala itu. Abu panas ini menerobos masuk bagaikan air mancur yang menyebabkan sekitar 2 ribu penduduk Desa Ketimbang menjadi korban dari panasnya abu dan kebakaran. Letusan yang diiringi dengan tsunami ini pada akhirnya menjatuhkan hampir 40 ribu korban jiwa.

Kini, 133 tahun telah berlalu. Letusan dahsyat itu menyebabkan Pulau Krakatau terpecah menjadi Pulau Sertung, Pulau Panjang, Pulau Rakata dan juga yang terbaru Pulau Anak Krakatau. Pada Pulau Anak Krakatau terdapat gunung api yang tumbuh dari kaldera Krakatau purba. Meski 'kecil', Gunung Anak Krakatau yang berada dalam kawasan cagar alam ini memiliki aktivitas yang sangat aktif.

Untuk mengenang peristiwa bersejarah tersebut, saya bersama tim Jelajah Krakatau 2016telah berencana untuk melakukan napak tilas dan mendaki Gunung Anak Krakatau.

Untuk menuju Anak Krakatau, kamiharus melakukan perjalanan laut dengan menggunakna kapal. Saya dan tim Jelajah Krakatau 2016kemudian memilih Pantai Sari Ringgung yang terletak di Padang Cermin, Lampung, sebagai titik keberangkatan kami.

Bukan rute biasa Rute ini sebenarnya bukan rute umum yang biasa digunakan orang-orang untuk menuju Gunung Anak Krakatau. Biasanya, orang-orang yang hendak menuju Gunung Anak Krakatau akan memulai perjalanan dari Dermaga Canti menuju Pulau Sibesi terlebih dahulu. Dari Dermaga Canti, ada kapal-kapal reguler yang siap membawa penumpang dari dan menuju Pulau Sibesi dengan tarif Rp 25- 35 ribu per orang.

Kapal-kapal reguler ini memiliki jadwal pelayaran tetap. Pelayaran dengan rute Dermaga Canti-Pulau Sibesi terjadwal setiap pukul 13.00 waktu setempat, sedangkan rute Pulau Sibesi-Dermaga Canti terjadwal setiap pukul 07.00. Penjadwalan ini membuat orang-orang yang akan menunju Gunung Anak Krakatau umumnya akan memilih untuk menginap di Pulau Sibesi dengan tarif sekitar Rp 350-500 ribu per malam. Tak jarang, orang-orang memilih untuk menyewa kapal pribadi dengan merogoh kocek yang lumayan besar dibandingkan menunggu jadwal kapal reguler.

"Belum pernah ada (berangkat menunju Anak Krakatau dari Sari Ringgung). Baru ini saja," ujar salah satu nelayan Pantai Sari Ringgung, Kamiludin (40).

Sekitar pukul 09.00 tim Jelajah Krakatau 2016mulai menaiki kapal-kapal nelayan yang berkapasitas sekitar 10 orang. Dari kapal nelayan ini, tim Jelajah Krakatau 2016kami harus berpindah ke kapal yang lebih besar dan kokoh sebelum menuju Gunung Anak Krakatau karena gunung api tersebut terletak di lautan lepas sehingga sangat berisiko jika berlayar menggunakan kapal nelayan.

Perjalanan laut dari Pantai Sari Ringgung menuju Gunung Anak Krakatau ternyata cukup jauh. Membutuhkan waktu sekitar empat jam bagi kami untuk bisa mencapai kawasan cagar alam tersebut. Meski memakan waktu cukup lama, saya dan tim Jelajah Krakatau 2016 merasa terhibur dengan pemandangan langit yang cerah, hamparan laut biru sejauh mata memandang dan pemandangan beberapa biota laut yang berenang mendekati permukaan.

Sayangnya, pemandangan indah di lautan lepas tersebut kadang diselingi dengan sampah yang terhanyut di tengah laut.

Setelah melalui perjalanan laut yang cukup berombak, saya dan tim Jelajah Krakatau 2016akhirnya menginjakkan kaki di kawasan cagar alam Pulau Anak Krakatau. Ada pemandangan menarik yang disuguhkan saat kami tiba di kawasan tersebut. Pulau Anak Krakatau yang terletak di perairan Selat Sunda ini dikelilingi oleh hamparan pasir berwarna hitam yang unik.

Sebelum melakukan pendakian, kami diberikan pengarahan terlebih dahulu oleh Kepala Seksi Wilayah III BKSDA Lampung, Teguh Ismail. Mengingat Gunung Anak Krakatau merupakan kawasan cagar alam, ia berpesan agar tim Jelajah Krakatau 2016tidak menangkap, membunuh atau membawa satwa masuk ataupun keluar dari kawasan. Tim Jelajah Krakatau 2016juga diminta untuk tidak membuat coretan, menempel sesuatu membuang sampah sembarangan, menggali lubang yang dapat mengganggu satwa liar. Tim penjelajah juga tidak diperkenankan untuk melakukan pendakian di luar jalur dengan alasan keamanan.

"Gunung ini sangat aktif. Oleh karena itu, hari per hari, jam per jam, selalu kami pantau," jelas Teguh.

Keindahan Selat Sunda Berbekal masker dan air mineral, kami memulai pendakian menuju batas aman yang diperbolehkan untuk didaki, yaitu puncak pertama yang menjulang setinggi 200 meter di atas permukaan laut. Kami tidak diperkenankan untuk mendaki hingga puncak kedua yang memiliki ketinggian nyaris dua kali lipat dari puncak pertama karena alasan keamanan.

Tanpa membuang banyak waktu, kami pun mulai memasuki hutan untuk menuju puncak pertama Gunung Anak Krakatau. Saat memasuki hutan, kami disuguhkan pemandangan dengan warna-warna kontras yang berasal dari perpaduan pasir hitam, batang pohon mati hingga hijaunya pepohonan yang tumbuh menjulang. Samar-samar kami juga mendengar kicauan burung dari kejauhan yang seakan sedang menyemangati kami untuk terus mendaki. Tak heran kicauan burung terdengar dari segala penjuru, karena Pulau Anak Krakatau ini memiliki 22 jenis burung menetap dan 20 jenis burung migran.

Melewati hutan, kami memasuki jalur pendakian yang ternyata menjadi semakin terjal, berpasir dan juga dipenuhi batu-batu hasil dari muntahan Gunung Anak Krakatau. Oleh karena itu, perlu waktu paling cepat sekitar 30 menit bagi pendaki awam untuk bisa mencapai puncak pertama dari Gunung Anak Krakatau.

Sambil mendaki, kami berbagi cerita menarik dengan beberapa polisi kehutanan (polhut) yang turut mendampingi selama pendakian. Banyaknya satwa liar yang cukup unik di Pulau Anak Krakatau ternyata kerap membuat para polhut harus memeras otak dan tenaga lebih besar demi menggagalkan rencana orang-orang tak bertanggung jawab yang berupaya mencuri satwa liar tersebut.

"Kadang kami juga harus memungut sampah yang dibuang pendaki seperti puntung rokok, padahal ini kawasan cagar alam," ujar salah satu polhut.

Tak terasa pendakian pun usai. Kami kini menginjakkan kaki di puncak pertama Gunung Anak Krakatau. Indra pengelihatan kami yang semula hanya melihat hamparan pasir hitam, bebatuan, dan batang-batang pohon seketika dimanjakan oleh pemandangan luar biasa indah yang terlihat dari puncak atau pos pertama Gunung Anak Krakatau.

Sesampainya di puncak pertama Gunung Anak Krakatau, kami disuguhkan birunya ham paran Selat Sunda yang seakan mengepung kami. Warna perairan yang biru seakan sa ling beradu dengan warna biru langit yang ka la itu terlihat cerah. Pemandangan ini semakin menawan dengan pemandangan Gunung Ra kata, Pulau Sertung hingga Pulau Panjang yang menjulang kokoh mengelilingi Pulau Anak Krakatau.

Bagi kami, perjalanan singkat menjejakkan kaki di Gunung Anak Krakatau tak sekadar menjadi pengalaman yang mendebarkan hati.

Lebih dari itu, Perjalanan singkat ini juga berhasil membuka mata kami untuk menyadari bahwa ada banyak 'warisan' alam yang perlu ki ta jaga dan lindungi dengan saling bergan dengan tangan. Sehingga pada masanya nanti, anak-cucu kita tidak akan hanya menikmati keindahan 'warisan' alam yang menakjubkan tersebut melalui penuturan cerita belaka.   Oleh Adysha Citra R, ed: Nina Chairani

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement