Ahad 24 Jan 2016 21:08 WIB

Pesta Durian di Baduy Dalam

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, BANTEN--Doni menawarkan rambutan dalam tas keresek hitam yang dijinjingnya. Saya menolak, memilih minum teh manis dari ransel saya. Sudah lima jam kami naik-turun di Bumi Kanekes ini dari Ciboleger, Banten. Dalam hati dan tubuh yang mulai letih, saya mulai berpikir, tak akan lagi memenuhi ajakan warga Baduy Dalam untuk mencoba pengalaman baru apa pun di kampung mereka di Cibeo.

Kilasan dalam benak terbayang Kang Karmain saat mengajak kami. `'Datanglah ke rumah bulan depan, nanti lagi banyak durian,'' katanya saat singgah di rumah bersama Sapri, anaknya, dan tetangganya, Doni dan Santa, November 2015.

Sebuah undangan yang bisa menitikkan air liur. Kang Karmain dkk adalah warga Baduy Dalam yang menghuni di kaki Pegunungan Kendeng , Banten. Orang-orang Baduy Dalam memang kerap berjalan kaki bepergian ke kota-kota besar saat mereka `berlibur' dari kerja harian mereka di ladang. Di kota-kota itu mereka menyambangi orang-orang yang pernah bertamu ke rumah mereka.

Karena itu, saling kunjung menjadi sesuatu yang biasa.

Kami berlima, saya, suami, dan tiga kawan kami, memenuhi undangan Kang Karmain, menjelang tutup tahun 2015. Dari rombongan kami, hanya suami saya yang pernah ke sana.

Karena itu, ia berteman dengan sejumlah warga Baduy. Karena itu pulalah rumah kami termasuk salah satu tempat singgah mereka saat ke Ibu Kota.

Sepanjang perjalanan kami berulang kali berpapasan dengan orang-orang mengangkut durian. Lelaki, perempuan, tua hingga anak- anak. Lelaki membawa durian dengan pikulan, perempuan menggendong dengan kain di punggungnya.

Umumnya, mereka membawa sekitar 10- 20 buah durian. Anak-anak kecil membawa dalam jumlah yang lebih kecil dengan upah Rp 1.500 per buah. Mereka berjalan cepat menuruni tanah berbatu-batu itu.

Di Desa Gajeboh, kami sempat melihat beberapa orang sedang mengunduh durian. Seorang memetik di atas sana, temannya menunggu di bawah. Mereka menaikkan plastik besar untuk meletakkan durian dan sebotol minum untuk sang pemetik. Dari tempat itu durian langsung dibawa ke Ciboleger untuk diangkut ke Rangkasbitung.

Melewati Desa Cikakal, hari sudah mulai gelap. Harum aroma durian terasa di beberapa tempat yang kami lewati. Kami bertemu dengan beberapa orang yang duduk-duduk di kegelapan. `'Mereka orang luar, menunggu durian jatuh,'' kata Sapri, anak sulung Kang Karmain, yang ikut menjemput kami.

Mereka sebagian berasal dari kampung di luar Baduy. Datang berkelompok pada sore hari mereka memasang tenda di dekat pohon- pohon durian. Semalaman mereka menunggu durian jatuh. Keesokannya mereka membawa durian itu turun dan menjualnya di Ciboleger.

Rumah yang hangat

`'Itu tanjakan terakhir,'' kata Doni, warga Baduy Dalam, yang bersama sahabat dan, dua anak kecil yang menjemput kami di Ciboleger, desa terakhir yang tersentuh listrik dan kendaraan. Entah berapa kali `tanjakan terakhir', baru setelah melewati kumpulan leuit (lumbung), kami sampai pada Desa Cibeo.

Waktu itu jam menunjukkan pukul 8 lewat. Kampung terasa gelap, rumah-rumah diterangi lampu minyak. Di kampung masyarakat yang menolak listrik dan berbagai teknologi modern itu, semua rumah sama bentuknya, rumah panggung. Rumah Kang Karmain ada di tengah desa, tersembunyi di baris ke dua dari jalan utamanya yang merupakan susunan batu- batuan besar.

`'Akhirnya sampai juga,'' kata Kang Karmain. Ia memperkenalkan istri dan anak- anaknya. Mereka telah mempersiapkan lima bantal di bagian depan ruang dalam rumah yang bambu hangat itu untuk kami. Teh hangat pun telah disiapkan.

Setelah berjalan sekitar enam jam, makan malam hidangan mereka terasa luar biasa nikmatnya. Sapri, anak sulung Kang Karmain, yang menjemput kami membuatkan sambal daun pacing dengan rasa segar dan unik.

Dipadu dengan ikan asin dan aneka lalap kami bolak-balik menciduk nasi tambahan. `'Ini lalap durian muda,'' kata ayah enam anak itu.

Durian muda dengan daging yang masih keras, dengan aroma yang samar-samar itu ternyata enak juga untuk lalapan. Selain untuk lalapan, durian muda juga kerap dibuat sayur asem. Itu pertama kami mencicipi durian baduy.

Lepas makan malam, Kang Karmain mengajak kami menyantap durian matang. 'Itu duriannya sudah disiapkan,'' lelaki itu menunjuk ke arah setumpuk durian matang di bagian dalam rumahnya.

Sehabis makan, ternyata perut kami tak terlalu berselera terhadap durian. Pilihan yang paling menarik untuk dilakukan adalah tidur.

Durian dan durian

Setelah mandi pagi di sungai, kami menunggu sarapan pagi. Agar tidak membebani tuan rumah, kami membawakan beras dan beberapa jenis ikan asin untuk mereka. Istri Kang Karmain memasak untuk kami, suami dan anaknya ikut membantu. Mereka memasak dari tungku yang terletak di dalam rumah, berdekatan dengan tempat mereka tidur.

Sebuah tungku lagi ada di luar ruang utama itu.

Tungku itu milik Nani, anak perempuan mereka yang sudah menikah. Tiba-tiba si bungsu datang sambil menenteng sebuah durian. `'Ada durian jatuh,'' katanya sembari menumpukkan durian temuannya itu di tumpukan durian yang terkumpul sehari sebelumnya. Kami mengobrol sambil minum teh dan kopi, mulai mencicipi durian.

Dari luar tampak Pak Karta, ayah Doni, datang. Dengan wajah tak enak, ia minta maaf tak bisa menemani kami karena harus ke ladang. `'Maaf, cuma bisa menghidangkan ini,''

katanya sambil memasukkan beberapa buah durian. Padahal sewaktu kami datang, ia sudah membawakan empat buah. Maka, jadilah sarapan sekitar pukul 9 pagi itu kami akhiri dengan `cuci mulut' durian yang entah berapa buah yang dibukakan.

Durian baduy berukuran kecil dan rasanya manis. Semua bersorak gembira saat durian yang dibuka menunjukkan daging tebal yang berwarna kekuningan. Durian seperti itu amatlah manis hingga sedikit pahit.

Doni mengeluh saat durian yang dibukanya matang tetapi keras. `'Waah, rusak ini. Digigit bajing,'' katanya.

Bajing adalah salah satu pengganggu di musim durian. Malam hari, mereka memilih durian, menggigit kulitnya. Akibatnya, durian matang tetapi rusak. Monyet juga pengganggu yang lain. Mereka leluasa memetik buah durian, membukanya dengan cara memukul- mukulkan durian pada batu.

Hari itu, kami makan gratis sampai puas, durian yang mereka jual seharga Rp 7.000 hingga Rp 10.000 kepada pedagang. Yang tentunya lebih mahal lagi bila sudah sampai ke Rangkasbitung. Sayangnya saya tak bisa mengabadikan kegembiraan saat itu lewat bidikan kamera karena memotret termasuk salah satu kegiatan terlarang di sana. Semoga saya bisa datang lagi pada musim durian berikutnya.

Menuju Cibeo Lewat Ciboleger

-Bulan Desember adalah saat warga Baduy Dalam di Cibeo panen durian.

- Cibeo diakses lewat Rangkasbitung. Cara ke tempat itu, kita menggunakan angkutan umum di terminal menuju ke Ciboleger. Dengan menggunakan bus dengan membayar Rp 25 ribu.

- Di Ciboleger Anda akan dikerubuti orang yang menawarkan jasa mengantarkan sampai ke Baduy Dalam, atau cukup ke desa Baduy Luar yang Anda tuju. Bila ada kenalan di Baduy Dalam, itu lebih mudah. Sebab, mereka akan menjemput Anda di tempat ini.

- Perjalanan akan dimulai dengan melapor di rumah jaro. Semua pengunjung wajib lapor dan mendaftar. Di tempat ini, Anda bisa menyumbang secara sukarela.

-Bermalam di Baduy dalam tak bisa berlama-lama. Orang luar hanya punya waktu 1x24 jam, lalu harus meninggalkan desa itu. Mereka bisa kembali asalkan bermalam dulu ke desa lain pada malam berikutnya.

Oleh Nina Chairani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement