Rabu 07 Dec 2016 16:00 WIB

Afridal Darmi, Ketua KKR Aceh: Korban tak Bisa Terus Menunggu

Red:

Gubernur Aceh Zaini Abdullah melantik dan membacakan sumpah tujuh komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pelantikan dan pembacaan sumpah tujuh komisioner KKR tersebut berlangsung dalam Rapat Paripurna Istimewa DPR Aceh di ruang sidang utama DPR Aceh di Banda Aceh, Senin (24/10).

Adapun tujuh komisioner KKR, yakni Afridal Darmi (ketua), Muhammad MTA (wakil ketua), serta Fajran Zain, Masthur Yahya, Fuadi, Evi Narti Zain, dan Ainal Mardiah, masing-masing sebagai anggota.

Pembentukan KKR merupakan tindak lanjut dari perjanjian damai atau yang dikenal dengan MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Sempat mengalami debat panjang, kini KKR resmi terbentuk. Apa saja kasus pelanggaran HAM yang akan diselidik oleh KKR? Bagaimana nasib para korban tindak pelanggaran HAM di Aceh? berikut penuturan Ketua KKR Aceh Afridal Darmi kepada wartawan Republika Hafidz Muftisany, Senin (5/12).

Apa saja kewenangan KKR menurut UU dan Qanun Aceh?

Kalau kita lihat pada Qanun Nomor 17 Tahun 2013, KKR Aceh berwenang mengungkapkan kebenaran terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sejak 2005 mundur sampai 1976. Kemudian, ayat duanya adalah dari 1976 bisa mudur sampai tahun tidak ditentukan. Bahkan, kalau dimungkinkan bisa sampai zaman Belanda atau kolonial

Karena, begini, berbeda dengan KKR di seluruh dunia, KKR kita bentuknya permanen, sehingga kalau KKR di tempat lain terbatas lima tahun lalu bubar, jadi jangka waktu yang dia kelola terbatas. KKR kita dibentuk permanen kalau kepengurusan saat ini, misalnya, tidak bisa mengungkap sampai era kolonial, kepengurusan selanjutnya dibuka peluang untuk itu.

KKR sebagai amanat MoU Helsinki baru terbentuk, apa saja hambatannya?

Pada waktu itu karena dicabutnya UU 27 tahun 2004 soal KKR nasional. Sehingga, kemudian mengakibatkan waktu itu diragukan apakah KKR di Aceh bisa bekerja atau tidak. Debat-debat itu berkali-kali sampai tertunda hingga 2013. Kami dan teman-teman yang hari ini jadi komisioner itu percaya, KKR di Aceh perlu. Memang, debatnya itu lebih ke mandat perudang-undangan. Sebagain pihak menolak berdasarkan dicabut UU KKR nasional maka KKR Aceh tidak ada dasar hukumnya.

Sementara, kita yang mendukung pembentukan kita merujuk Pasal 229 UU Pemerintahan Aceh. UU itu memerintahkan pembentukan KKR Aceh. Jadi, dasar hukumnya ada yang tidak ada teknisnya. Ya, memang soal teknis itu diatur di UU KKR Nasional semua.

Pada akhirnya kita sepakat jika dasar hukum pembentukannya adalah UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sementara soal teknis kita atur sendiri melalui qanun. KKR Nasional perbandingannya dasar hukum ada sekaligus aturan teknis dalam satu UU. Jadi, lebih ke perdebatan dasar hukum.

Apakah KKR Aceh perlu, semua pihak merasa perlu tapi kan ada kepentingan. Kita paham jika UU itu produk politik, ada banyak pihak yang berkepentingan agar pengungkapan kebenaran itu tidak terjadi, baik di Aceh maupun Indonesia secara keseluruhan. Sebagai contoh, debat-debat soal peristiwa 65 itu apakah perlu diungkap atau tidak? Itu kan ada tendensi politik.

Di Aceh sendiri yang menolak keberadaran KKR ada dua pihak karena berpotensi terungkap pelanggaran HAM di masa lalu, yakni GAM dan Pemerintah Indonesia.

Jenis dan kriteria pelanggaran HAM apa yang akan ditangani KKR?

Kalau yang saya pahami dan teman-teman komisioner pahami, kalau untuk pengungkapan kebenaran ya seluruh kasus tanpa pandang bulu. Pada akhir pengungkapan kebenaran itu akan kita temukan pelanggaran HAM berat, kan gitu. Nah, pelanggaran HAM berat ini tidak bisa ditindaklanjuti KKR itu diserahkan ke Komnas HAM.

Cara pandangnya kita mulai dari mana? Kita mulai dari investigasi, pengumpulan informasi itu pengungkapan kebenaran. Di ujungnya nanti, kalau ada pelanggaran HAM berat sesuai dengan pengadilan HAM, sesuai qanun itu tidak boleh direkonsiliasi, tidak boleh ada tindakan lebih lanjut, diserahkan ke Komnas HAM.

Artinya, komisioner sekarang bisa tak menyelesaikan semua kasus?

Komisioner sekarang masa baktinya lima tahun. Bisa jadi, hanya investigasi habis waktunya, sementara belum habis kasus yang diungkapkan, bisa jadi itu. Namun, ada doktrin dalam pengungkapan HAM, yakni ada reparasi mendesak. Jadi, kalau kita ikuti berpikir lateral investigasi dulu atau pengungkapan kebenaran kalau selesai dibuatkan laporan yang berujung pada rehabilitasi korban. Misal, orang yang sudah mati diberikan apalah, dana diyatkah atau yang lain.

Nah, itu bisa di sela, di tengah-tengah namanya reparasi mendesak. Misalnya, ada yang pernah jadi korban dan karena ada hal-hal tertentu yang tidak bisa menunggu selesai lima tahun. Ada yang sakit harus diobati hari ini, yang kehilangan pekerjaan harus diberi pekerjaan, mereka yang putus sekolahnya harus terus mendapat pendidikan, itu tidak bisa menunggu lima tahun.

Eksekusi reparasi mendesak di siapa?

Kita tidak punya kewenangan dan kita menghindari untuk melaksanakan kegiatan konkret sebagaimana layaknya pendekatan pengungkapan kebenaran. Eksekusinya harus pemerintah. Pada tahap ini pemerintah daerah yang kita dorong. Memang harusnya ini lembaga nasional atau pemerintah pusat karena dasar hukumnya undang-undang Republik Indonesia. Namun, saat ini kita belum dapat dukungan pemerintah pusat dalam bentuk anggaran dan segala macam.

Kita bayangkan, kalau ada korban butuh reparasi mendesak mereka yang lumpuh, misalnya, kita rekomendasikan Badan Rumah Sakit Daerah dr Zainoel Abidin atau didanai dinas sosial atau badan pemerintah lain. Jadi, implementasi program nyata lembaga negara yang kompeten untuk itu.

Rekomendasi KKR bisa diabaikan?

Peluang untuk diabaikan tentu saja ada. Ya, kalau cerita sedihnya, KKR itu setara Komnas HAM. Coba lihat rekomendasi Komnas HAM selama ini bagaimana tindak lanjutnya? Itu bisa dibandingkan. Tapi, di sini kita lebih optimistis karena pemerintah daerah, DPRD, dan semua elemen daerah itu mendukung penuh. Kita optimistis ria lah jika rekomendasi KKR akan ditindaklanjuti.

Dukungan anggaran seperti apa?

Selama ini, dalam satu bulan per 24 November kemarin, kita masih difasilitasi sama teman-teman NGO. Anggaran ke Pemprov masih terikat peraturan anggaran. Namun, kita sudah masukkan anggaran itu dan oleh Ketua Bappeda sedang dinilai anggaran yang kita ajukan.

Follow up temuan KKR nanti akan ditindaklanjuti siapa?

Setiap pengungkapan akan dibuatkan dalam laporan akhir dan direparasi kalau memungkinkan dilakukan rekonsiliasi.

Ada peluang diangkat ke ranah hukum?

Ada. Kalau kita bicara soal rekomendasi ke Kejakgung, kita akan berputar pada pusaran tidak ditindaklanjuti oleh Kejakgung. Kita screening secara ketat. Jika ada korban mati terbunuh dilakukan sebagai bentuk kekerasan antarpersonal yang mengatasnamakan lembaga, berarti itu harus ke kepolisian karena jatuhnya pidana. Begitu juga kalau menyangkut aparat TNI Polri bisa ke Provost atau Propam.

Berapa kemungkinan kasus pelanggaran HAM dalam rentang yang ditangani KKR?

Berapa banyak kita belum tentukan. Laporan kan beraneka macam. Kalau KKR sendiri memperikirakan, dari rentang 1976-2005 ada 10 ribu kasus. Kalau Amnesty Internasional menyebut, dalam rentang tersebut ada 30 ribuan kasus. Dari jumlah itu berapa pelanggaran HAM yang bisa ditangani? Kita belum tahu.

Kita dengarkan masukan orang tua agar jangan merisaukan hasil. Mereka berpesan, kami ini adalah generasi pertama, sehingga bisa fokus membangun kelembagaan, coba dapatkan dukungan semua pihak. Bahwa, di akhir cuma selesaikan 1.000 kasus atau lebih rendah dari itu tak perlu khawatir.

Lalu KKR akan prioritas memulai penyidikan kasus apa?

Ada beberapa prioritas, pertama memang penguatan lembaga. Harus kita wariskan sesuatu yang kuat dan bernilai untuk kepengurusan selanjutnya. Sebenarnya, amanah di KKR ini, selain beban juga peluang kan.

Kemudian, ada kasus tertentu yang perlu diprioritaskan itu bisa sebagai tonic lah yang membuat masyarakat cukup perhatian dan memberikan dukungan dalam pengungkapan HAM di masa lalu. Misalnya, pembunuhan tokoh-tokoh Aceh masa lalu.

Pembunuhan dua rektor dalam waktu yang tidak lama lalu pembunuhan ketua partai Golkar Aceh yang juga mantan wakil gubernur Aceh Tengku Johan, anggota DPR RI dari PPP Tengku Nasrudin Daud, dan lainnya.

Begitu juga kasus terbuka yang semua orang tahu, misalnya, kasus Jembatan Arakundo dan Simpang KKA. Ini yang menarik perhatian itu kalau bisa kita ungkap akan jadi penguat kepercayaan orang pada KKR ini untuk keberlanjutannya.

Sudah melakukan koordinasi dengan Komnas HAM?

Sudah ada kita sudah beberapa kali membuat pertemuan memang dengan Bang Otto Syamsudin Ishak, beliau sebagai tim investigasi Komnas HAM untuk kasus pelangaran HAM berat di Aceh. Kita perlu mendapatkan masukan dan bertemu dalam membagi mana yang akan jadi domain Komnas HAM, mana yang akan jadi domain KKR. Begitu juga dengan Komnas Perempuan dan LPSK kita sudah beberapa kali bertemu.

Sudah ada detil pembagian kasus?

Sudah ada. Tapi, mengapa kita tetap ungkap yang pelanggaran HAM berat karena kita ingin melihat dari persepektif korban apa yang terbaik apakah menunggu Kejaksaan Agung dapat hidayah, sehingga melanjutkan proses ini? Kita tak mungkin membiarkan korban terus menunggu. Itu sudah berapa tahun sejak kepengurusan (Komnas HAM) Ifdal Kasim sudah selesai rekomendasi itu dikirimkan ke Kejaksaan, lalu dikembalikan lagi, dan seterusnya hingga kini. Yang jelas, KKR ingin jadi buffer Komnas HAM dengan tetap masuk ke pelanggaran HAM berat dari sisi kepentingan korban. n

***

Harapan Besar Masyarakat Aceh

JAKARTA -- Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh mulai bekerja sejak dilantik pada Senin (24/10). Meski masih terbatas, KKR Aceh ingin memenuhi ekspektasi masyarakat Aceh.

Ketua KKR Aceh Afridal Darmi mengatakan, ada banyak harapan masyarakat Aceh yang diamanatkan ke KKR. Sejak memulai advokasi adanya KKR pada 2008, Afridal mengaku mendapat beragam aspirasi dari korban pelanggaran HAM di Aceh.

"Ada yang keras menginginkan pelaku pelanggaran HAM harus masuk penjara, ada yang tak peduli pelaku asal kuburan ayahnya diketahui. Ada macam-macam harapan," ujar Afridal saat dihubungi Republika, Senin (5/12).

Afridal mengatakan, para korban pelanggaran HAM membutuhkan reparasi mendesak. Sebab, banyak dari mereka yang saat ini masih sakit dan perlu segera mendapatkan pengobatan tanpa harus menunggu investigasi lengkap. Ia menceritakan, masih ada korban rusuh simpang Kraft yang butuh perhatian karena sakit. "Jadi, dia masih ada peluru di dalam tubuhnya. Itu kan berdampak pada aktivitas hariannya yang terganggu. Nah, korban minta negara memfasilitasi pengobatan untuk operasi itu mendesak," papar Afridal.

Sementara, papar dia, harapan berbeda diungkapkan kalangan pegiat HAM dan akademisi. Menurut Afridal, ada aksioma, jika pelanggaran HAM masa lalu tidak diselesaikan akan membawa kutukan. Ia yakin, sejarah akan terulang jika tidak ada pengungkapan yang paripurna.

"Contohnya saja soal peristiwa 65 itu, jadi hantu dan beban bagi Indonesia. Nah, kita selesaikan selapis di Aceh," katanya.

Secara kelembagaan, KKR Aceh punya ambisi untuk menjadi contoh KKR di daerah yang lain. KKR Aceh, kata dia, siap menjadi bahan percobaan dalam pengungkapan kebenaran di sebuah daerah. Jika KKR Aceh dianggap gagal maka daerah lain di Indonesia bisa mempelajari kegagalannya. Namun, jika berhasil bisa menjadi contoh untuk wilayah lainnya. "Kita bersedia jadi bahan eksperimen kita siap berhasil dan juga siap gagal. Kita akan tanggung bersama," sebut Afridal.

Setelah resmi terbentuk, komisi yang dipimpinnya menyusun program kerja guna menentukan arah dan langkah lembaga pada masa mendatang.

"Tugas pertama yang akan kami lakukan, yakni menyosialisasikan keberadaan KKR, sehingga masyarakat mengetahui tugas dan fungsi lembaga. Berikutnya, baru kami lanjutkan dengan tugas utama KKR," kata dia.

KKR, sebut Afridal Darmi, diberi mandat oleh qanun atau peraturan daerah untuk mengungkap kebenaran dan rekonsiliasi terhadap korban konflik. Dan, kasus yang akan diungkap sesuai amanat qanun rentang waktu Desember 1976 hingga Agustus 2005.

"Kami juga akan memetakan kasus-kasus besar semasa konflik Aceh untuk diungkapkan kebenarannya. Pengungkapan kebenaran ini untuk memberi rasa keadilan bagi masyarakat korban konflik," kata Afridal Darmi. Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement