Rabu 05 Oct 2016 18:00 WIB

Dr Harsoyo, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII): Idealisme Perguruan Tinggi Islam

Red:

Universitas Islam Indonesia (UII) dinobatkan sebagai perguruan tinggi swasta terbaik di Indonesia 2015 oleh Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti). Capaian ini merupakan prestasi luar biasa. Namun, pencapaian ini tidak diperoleh secara instan. Sejalan dengan usianya yang semakin tua, UII selalu mengejar berbagai ketertinggalan.

Untuk menguak rahasia dibalik keberhasilan tersebut, wartawan Republika Rizma Riyandi berbincang dengan Rektor UII, Dr Harsoyo. Berikut wawancara lengkap yang dilakukan di Gedung Rektorat UII, Selasa (7/9).

Apa rahasia keberhasilan UII saat ini?

Jika sekarang kami berhasil, itu karena ada kerja sama yang baik antarunit. Masing-masing unit punya semangat yang sama untuk memperbaiki UII. Sebuah institusi tidak akan menjadi baik, apabila unit-unit yang menyertainya tidak baik.

Selain itu, keberhasilan UII sekarang merupakan efek dari rintisan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Pada masa saya ini, saya menemukan hasil yang baik-baiknya. Di samping yang saya lihat unit-unit memiliki semangat untuk maju yang luar biasa.

Apa yang melatarbelakangi unit-unit di UII untuk maju?

Latar belakangnya, karena kami bekerja di UII punya nilai pengabdian untuk ibadah. Bukan hanya untuk institusi. Maka, kami juga punya semangat kerja dengan ibadah. Hal ini cukup transedental. Ketika kami punya semangat ibadah, kami akan punya keyakinan yang baik. Kami yakin rezeki tidak akan tertukar. Rezeki itu bukan hanya materi, bisa jadi berupa hal lain. Contoh, UII mendapat prestasi berupa peningkatan peringkat menjadi perguruan mandiri. Ini juga salah satu bentuk rezeki. Ditambah seluruh stakeholder juga mendukung, jadi tidak ada hambatan untuk maju.

Namun, kondisi ini juga menjadi satu hal yang mengkhawatirkan. Ketika kami ada di puncak, kami akan mudah jatuh. Untuk menjaga prestasi usaha yang dibutuhkan lebih berat. Pada tahun 1990-an, kami punya IT (teknologi informasi) paling bagus di Yogyakarta. Namun, karena kami tidak mampu memeliharanya dengan baik, kami jadi ketinggalan. Sekarang, kami sudah kalah dengan STMIK Amikom, ini harus kami akui.

Maka, kami harus menjaga posisi sekarang. Di antaranya memberi kesadaran kepada teman-teman setim di UII untuk terus menjaga prestasi yang telah dicapai. Tahun depan kami sedang bersiap-siap untuk menghadapi AIPT (akreditasi institusi perguruan tinggi), ini bukan pekerjaan mudah, karena penelitian kami masih lemah.

Sekarang, jumlah penelitian memang sudah cukup banyak. Namun, kami juga menerima dosen yang juga banyak. Maka rasio penelitian menjadi kecil. Begitupun dengan rasio doktor dan profesor. Profesor kami baru 14 orang, ini masih sedikit. Ditambah syarat menjadi profesor sekarang semakin berat. Bagi orang yang sulit menulis artikel internasional, hal ini sangat berat.

Kami masih harus berjuang dengan sangat berat untuk mempertahankan kualitas. Masih banyak yang harus kami raih dan kami tingkatkan. Semua lini harus kerja keras. Jumlah tulisan harus digenjot lagi. Dalam dua tahun ke depan kami punya target menghasilkan 1.800 penelitian dan 300 buku. Kalau tidak terselesaikan seluruhnya, minimal kita bisa mendekati target tersebut.

Bagaimana strategi yang akan dilakukan untuk mencapai target tersebut?

Kami akan memberikan insentif dan support bagi pengajar maupun mahasiswa yang rajin membuat paper. Karena kalau tidak begitu orang menjadi malas menulis. Mereka akan berpikir, sudah nulis uangnya malah tidak ada, untuk apa capek-capek. Ke depan kami akan memberi kesempatan kepada civitas academica UII untuk memperbanyak tulisan dengan memperoleh pendanaan dari hibah internal. Walaupun saat ini hibah dari eksternal juga ada. Sebagai universitas dengan status mandiri, kami memperoleh dana hibah sebanyak Rp 25 miliar. Meski kami tidak pernah mencapai batas maksimal yang sudah ditentukan, setidaknya kesempatan untuk mengembangkan tulisan dan penelitian sudah lebih banyak.

Apresiasi dari pihak luar membuat kami terdorong untuk terus meningkatkan prestasi dengan menjalankan berbagai strategi. Di samping itu, kami juga berharap, apa yang kami lakukan dapat memperoleh ridha dari Allah SWT.

Bagaimana idealnya konsep pendidikan bagi perguruan tinggi Islam?

Semua ilmu kurang lebih sama. Namun, yang harus ditonjolkan dalam perguruan tinggi Islam adalah bagaimana nilai-nilai Islam dapat mewarnai ilmu. Di UII sendiri kami concern mengenai cara mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam ilmu pengetahuan. Seperti psikologi Islam, ekonomi Islam, dan hukum Islam.

Pada dasarnya, Islam harus dapat menjelaskan ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan menjelaskan Islam. Seperti sebuah penelitian di Jerman yang meneliti mengenai penyembelihan hewan antara cara penyembelihan modern dan Islam. Sang peneliti menganalisis waktu penderitaan hewan saat disembelih. Ternyata yang terbaik adalah cara Islam. Karena dalam Islam, ada tiga saluran hewan dipotong yang dipotong secara bersamaan, yakni saluran nafas, nadi, dan makanan. Maka, saat dipotong pakai pisau tajam hewan malah tidak merasa sakit, dan darah yang keluar pun langsung banyak, sehingga tubuhnya bersih dari darah. Sementara itu, daging yang tidak mengandung darah lebih awet dan tidak mudah terkontaminasi bakteri.

Dalam penelitian tersebut, nilai-nilai Islam mampu dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan pun dijelaskan oleh Islam. Maka, kita harus mengintergrasikan keduanya. Jika tidak mampu mengintegrasikan, bagaimana kita bisa menjelaskan pengetahuan untuk dipahami oleh pandangan Islam.

Apakah Indonesia mampu menjadi pusat studi Islam dunia?

Pemerintah akan mendirikan Universitas Islam Internasional Indonesia yang ditujukan untuk pascasarjana. Sehingga, di sana akademisi dan ulama akan mengembangkan ilmu-ilmu keislaman.

Kita akan menjadi pusat studi Islam dunia, karena kita adalah negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia. Penduduk Muslim kita di atas 200 juta. Sehingga, sumber daya manusia keislaman kita lebih banyak dari yang lain. Kalau ini bisa dikembangkan, tentu kita bisa mewarnai dunia. Sehingga, yang dikhawatirkan, kalau Islam Indonesia tidak bisa dikendalikan dengan baik, Muslim di sini akan tumbuh menjadi ekstremis. Padahal, Islam itu rahmatan lilalamin.

Perguruan tinggi harus menyiapkan pelayanan terbaik. Terutama mengenai bahasa asing, seperti bahasa Inggris dan Arab. Di UII, kami baru mengadakan program internasional. Kalau program ini bisa diterapkan di seluruh prodi kan bisa lebih bagus.

Biaya pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah menjadi yang paling murah di dunia. Pasti banyak mahasiswa asing yang tertarik belajar di sini. Living cost di sini juga murah. Perguruan tinggi tinggal mengadakan joint degree atau double degree dan meningkatkan kerja sama dengan institusi pendidikan dunia lainnya.

Ketika kita punya program yang bagus, mereka juga pasti tertarik untuk ikut. Selanjutnya, yang harus dilakukan adalah menginformasikan program-program tersebut ke luar negeri agar orang-orang di sana tahu. Di Indonesia ada perguruan tinggi yang sudah berhasil menerapkan sistem tersebut, UIN Malang. Di sana ada 200 mahasiswa luar negeri yang belajar dengan biaya hidup sendiri.

Di samping itu, akreditasi pendidikan internasional juga perlu dicapai. Namun, jangan sampai sertifikasi internasional sudah diperoleh, tapi fasilitas penunjangnya masih jelek, seperti kemampuan berbahasa asing.

ed: Hafidz Muftisany

***

Menomorsatukan Ibunda

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Dr Harsoyo memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam menempuh pendidikan. Tak tanggung-tanggung, pria asal Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, ini merampungkan kuliah S-1-nya dalam jangka waktu sembilan tahun.

Meski pada 1980-an kuliah dalam waktu lama merupakan tren di kalangan mahasiswa, Harsoyo sendiri mengakui dirinya termasuk yang paling lambat menyelesaikan studi. Selain karena pernah pindah jurusan dari Fakultas MIPA ke Teknik Sipil, keterlambatan kelulusannya juga dipengaruhi oleh faktor lain, yakni kondisi keluarga.

Setelah sang ayah meninggal, Harsoyo harus membiayai kuliahnya sendiri. Sementara, sang ibu jatuh sakit karena terserang stroke. Akibat kondisi tersebut, ia pun harus melakukan tiga aktivitas sekaligus, yakni bekerja, kuliah, dan merawat ibu yang hanya tinggal berdua bersamanya.

Usai berembuk dengan saudara-saudaranya di luar daerah, Harsoyo memutuskan untuk merawat ibunya di rumah daripada di rumah sakit. Setiap sore ia memanggil suster untuk memberi obat dan mengecek kondisi sang ibu. Tetapi, setiap hari dialah yang berperan mengurus semua keperluan ibunya.

"Jadi, pagi-pagi saya suapi ibu dulu, baru setelah itu kerja. Pulangnya Zhuhur, suapi ibu lagi, setelah itu berangkat kuliah," kata Harsoyo kepada Republika, Rabu (7/9). Aktivitas tersebut ia lakukan sampai akhirnya sang ibu bisa sembuh.

Usai lulus kuliah, Harsoyo sebenarnya memiliki cita-cita untuk bekerja di perusahaan asing dan pergi merantau ke luar Yogyakarta. Tetapi, lagi-lagi karena kondisi ibu yang semakin sepuh, ia harus memutuskan untuk mencari kerja di wilayah DIY.

Akhirnya Harsoyo pun melamar kerja di UII dan diterima sebagai pengajar Fakultas Teknik hingga saat ini. Sebelum menjadi rektor, ia sempat aktif di Badan Wakaf UII dan mengelola Yayasan yang menaungi kampus Islam swasta tertua di Indonesia itu.

Meski berasal dari keluarga yang berkecukupan, sejak kecil Harsoyo selalu diajarkan hidup mandiri. Ia bahkan tak jarang harus melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar di rumah dan kebun. "Ya saya tetep harus macul di sawah. Di rumah ada mesin jahit, saya harus belajar jahit," katanya menceritakan kehidupan masa kecil.

Setelah lulus SD di Kabupaten Sleman, ia pun melanjutkan pendidikan ke SMP Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Kemudian meneruskan bangku sekolah ke SMAN 3 Yogyakarta. Selama belajar, ia hanya berpikir sederhana, yakni mencari ilmu yang bisa digunakan untuk menghidupi dirinya.

Pemikiran itu pula yang membuat Harsoyo pindah ke jurusan Teknik Sipil. "Minimal kalau saya tidak lulus kuliah saya bisa kerja jadi mandor," ungkapnya. Ia mengaku tak memiliki mimpi yang muluk-muluk saat bekerja di UII. Pasalnya, mengabdi di perguruan tinggi hanya ia lakukan untuk memenuhi kewajiban menemani sang ibu dan mengembangkan ilmu pengetahuan.  ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement