Rabu 31 Aug 2016 18:00 WIB

Andi ZA Dulung: Dirjen Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial: Inovasi Mengentaskan Kemiskinan

Red:

Bantuan sosial (bansos) kini bisa didapatkan dalam bentuk nontunai. Kementerian Sosial (Kemensos) dalam beberapa waktu terakhir kian gencar menguatkan program elektronik warung (e-Warung). Sehingga, cakupan pelayanan nontunai semakin luas bagi keluarga penerima bansos.

Teranyar, Menteri Khofifah Indar Parawansa meresmikan e-Warung di Kelurahan Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat, pada Kamis (18/8). Itu tercatat sebagai e-Warung ketujuh di Indonesia sejauh ini. Namun, apa yang melatarbelakangi di balik gagasan e-Warung itu? Mengapa masyarakat penerima bansos dianggap perlu akrab dengan sistem keuangan nontunai?

Dalam konteks itu, Dirjen Penanganan Fakir Miskin Kemensos Andi ZA Dulung memaparkannya kepada wartawan Republika, Hasanul Rizqa, Selasa (9/8).

Apa latar belakang di balik program e-Warung dari Kemensos ini?

E-Warung itu sebetulnya dari arahan Bapak Presiden. Supaya, semua bansos (bantuan sosial) sebisa mungkin disalurkan secara nontunai. Itu dalam rangka mendukung keuangan inklusif, mengurangi cash.

Kemudian, kita terjemahkan keinginan Presiden. Oke, kalau begitu, di Kementerian Sosial, ada dua yang besar, yakni Program Keluarga Harapan (PKH) dan Beras untuk Keluarga Sejahtera (Rastra) yang dulu namanya raskin. Kita juga punya program Kelompok Usaha Bersama (KUBE), yakni pemberdayaan.

Akhirnya, kita putuskan membuat elektronik warung (e-Warung). Ini warung biasa, tapi elektronik. Mengapa elektronik? Karena, di situ, sesuai arahan Presiden, berlakunya (transaksi) nontunai. Lalu, dalam rangka penyaluran itu (bansos), kita menggunakan bank serta dengan teknologi yang bank miliki.

Kapan pertama kali e-Warung diluncurkan?

E-Warung ini kita pertama kali diluncurkan pada Juni 2016 di Kota Malang. Dan, sekarang sudah mencapai kota yang keenam. Sesudah Malang, ada Sidoarjo, Mojokerto, Makassar, Padang, dan Surabaya. Alhamdulillah, Juni di Malang sudah langsung kita bangun enam e-Warung. Sehingga, sudah meliputi 100 persen penduduk penerima PKH. Uangnya sudah bisa disalurkan melalui nontunai.Tiap kota berbeda-beda jumlah penerima PKH-nya. Misalnya, Malang, yang saya ingat, itu 4.300 kepala keluarga (KK).

Apa saja kelebihan yang e-Warung tawarkan dalam konteks teknologi?

Nah, setiap e-Warung itu, pertama-tama dia merupakan agen bank. E-Warung otomatis menjadi agen bank. Karena, di situlah tempat disalurkannya bantuan. Kedua, dia merupakan tempat transaksi untuk beli sembako. Karena, uang yang dia terima itu sebisa mungkin dia beli sembako di situ. Jadi, dia tak terima uang, tetapi dia ambil sembako.

Ketiga, e-Warung ini sekaligus tempat untuk menitipkan hasil produksi KUBE. Dia, misalnya, bikin roti, es mambo, atau lainnya di rumah atau ayamnya yang dipelihara bertelur dan sebagainya. Untuk menjadikan semua itu uang, ia titipkan ke warung. Di sana menjadi tempat penjualannya. Karena, peruntukkannya bagi kelompok (KUBE) itu juga.

Keluarga penerima PKH tak mesti punya gawai untuk mengakses e-Warung?

Oh, tidak perlu. Justru, web-based model itu memudahkan customers. Cuma, memang, si agen harus ada sedikit IT yang dikuasai karena dia harus mengerjakan.

Ini teknologinya. Kartunya itu--namanya kartu BISA--diberikan karena untuk dipakai di situ (e-Warung). Tapi, yang kita kembangkan adalah web-based model, yaitu tanpa kartu atau bahkan tanpa telepon, dia tetap bisa dilayani.

Jadi, mereka (penerima PKH) hanya kasih tahu nama lengkapnya, menyebutkan, atau nanti akan dicarikan nomor rekeningnya di situ (e-Warung) juga. Dia punya password, masukkan. Jelas komputerisasi.

Kemensos menyediakan warungnya secara utuh ataukah hanya melengkapinya dengan sejumlah gawai?

Warungnya saja karena yang menyiapkan alat-alatnya adalah bank. Nah, warung ini juga bagian dari Koperasi Masyarakat Indonesia Sejahtera. Ini diinisiasi oleh Kemensos untuk terbentuk koperasi induk yang semua anggotanya adalah masyarakat ini.

Begini. Koperasi ini sebetulnya tidak menjual barang. Koperasi ini membantu si miskin bikin kontrak dengan big supplier, terutama Bulog. Nah, Bulog yang memasukkan barang. Tapi, harganya sudah dinegosiasikan dan ditentukan terlebih dulu. Jadi, bukan orang miskin ini satu per satu bernegosiasi. Tapi, dia dikelompokkan menjadi koperasi, lalu dia bernegosiasi. Karena, dia selalu kalah kalau tak dibentuk dalam suatu kelompok besar.

Dikelola pusat, koperasi itulah yang mengendalikan aturan mainnya warung ini. Termasuk yang bicara ke bank, Bulog, retail-retail. Jadi, ada pemberdayaan masyarakat dan juga penguatan masyarakat.

Kalau masyarakat miskin itu ke sana ke mari, nggak ada yang memerhatikan. Mau masuk kantor bank saja, mereka mungkin takut. Melihat bangunannya mengilap begitu, takut. Koperasi induk itulah yang berbicara dengan BRI, Bank Mandiri, dan BNI. Oke, kita bikin perjanjian, ya. Setiap saya (Kemensos) bikin e-Warung, jadikan dia (e-Warung) agen bank.

Setiap e-Warung merupakan agen bank?

Memang agen bank. Maka itu, bank itu sudah diminta membuat agen sebanyak mungkin. Jadi, nggak perlu buka cabang, tapi melayani customers karena dia punya alat. Dia punya link ke bank. Jadi, orang mau menyimpan uang dan membuka rekening di agen bank. Nah, sekarang kita bikin e-Warung berfungsi sebagai tempat bisnis sekaligus dia menjadi agen bank. Dan, milik orang miskin itu. Dikelola oleh orang miskin. Kalau kita tak lakukan seperti ini, ya orang miskin itu jadi penonton lagi.

Nah, itu supaya masyarakat miskin juga bankable (terjangkau perbankan). Sebetulnya, agen bank itu di mana-mana ada. Bank itu sudah bikin puluhan ribu. Bahkan, BRI punya banyak itu. Bulog juga sudah bikin warung di mana-mana. Namanya, Rumah Pangan Kita (RPK). Tapi, adakah agen atau RPK itu milik orang miskin? Tidak ada. Maka itu, e-Warung ini milik orang miskin dan dikelola oleh orang miskin. Itu bedanya. Itulah terobosan yang kita bikin. Lompatan kebijakan yang dengan langsung (dukungan) teknologi.

Bagaimana bila masyarakat penerima bansos itu gagap teknologi?

Namun, apakah mungkin mengajarkan orang miskin sebanyak ini akan teknologi? Mungkin. Karena, kita pendamping PKH yang sampai sekarang ada sekitar 15 ribu orang yang tersebar. Dan, akhir tahun ini karena PKH itu sudah sampai enam juta KK, pesertanya insya Allah sudah 26 ribu pendamping. Satu orang mendampingi rata-rata 250 sampai 300 keluarga PKH.

Nah, semua pendamping ini sarjana, melek IT (teknologi informasi). Justru Kemensos manfaatkan literasi IT mereka agar mengajari orang (keluarga PKH) di situ. Jadi, pendamping sebagai penanggung jawab warung. Lalu, dia menunjuk dua-tiga orang keluarga di situ yang mengoperasikan e-Warung. Karena, pendamping PKH tak boleh double job. Itulah hakikat e-Warung.

Jadi, e-warung adalah bagian dari koperasi. E-Warung juga merupakan tempat jual sembako murah. Banyak sekali pemberdayaan sosial-ekonomi yang diemban e-Warung.

E-Warung ini sifatnya mobile. E-Warung (operasionalnya) tak bergantung pada jam. Tak buka-tutup seperti warung biasa. Dia bisa menelepon pendamping atau operator (e-Warung), misalnya, "Pak, saya mungkin tiba di rumah baru bisa pukul 20.00. Tolong aku dibawakan Rp 200 ribu cash."

Nah, petugas itu akan datang ke rumahnya, membawakan ponsel atau gadget itu, langsung di situ diisi. Oke. Password apa. Isi. Transaksi. Jadi, seakan-akan mesin ATM dibawa ke situ. Uangnya dikasih Rp 200 ribu. Saldo di rekeningnya berkurang Rp 200 ribu.

Bisa juga dia bilang, "Pak, tolong nanti malam kalau main ke rumah saya, aku dibawakan beras satu karung kecil lima kg." Sudah dibawakan. Harganya berapa, misalnya, Rp 45 ribu. Klik-klik. Dikurangi (dari saldo rekening). Password-nya dimasukkan. Sudah selesai. Ini yang kita berikan kemudahan kepada orang miskin. Setiap hari Kemensos memikirkan bagaimana orang miskin dimudahkan dan dia bisa cepat (terpenuhi kebutuhannya). Itu tugas kita.

Bisa dijelaskan secara garis besar apa itu KUBE?

Kita memang berikan bantuan ke KUBE-KUBE untuk mereka membuat suatu usaha supaya mereka mendapatkan penghasilan. Di sisi lain, kita juga menyiapkan e-commerce untuk menjual hasil-hasil itu. Namanya, KUBE-pedia. Tahun ini sudah mulai bisa dilihat. Itu semacam toko daring. Karena, tidak semua produk KUBE-KUBE bisa dititip di e-Warung.

Misalnya, di Mataram atau Padang. Di antara mereka kan ada yang menenun. Kalau jualan hasil tenun kan nggak laku di kampung. Konsumennya di luar. Sasarannya lintas provinsi. Maka, ada e-commerce.

Pihak mana saja yang memasok barang untuk e-Warung?

E-Warung menyediakan sembako. Dan, sembako harus murah. Dari mana dapat yang murah? Kita kerja sama dengan Bulog sebagai supplier. Jadi, dia yang nanti yang memasukkan beras, terigu, gula pasir, dan minyak goreng untuk dijual di e-Warung. Otomatis karena bekerja sama dengan Bulog, ini menjadi sentra untuk menjadi titik operasi pasar. Kalau Bulog nantinya adakan operasi pasar, dia akan lempar (pasok sembako) di situ.

Tujuan lainnya, menghidupkan ekonomi lokal. Karena, sesuai arahan Presiden juga, kalau di situ, misalnya, ada barang beras, nggak usah lagi. Tinggal bicara Bulog. Beras ini yang diambil. Atau, misalnya, daerah situ makanan pokoknya bukan beras. Dia makannya jagung. Ya sudah. Jagung yang dijual. Bukan beras. Maka itu, memberikan fleksibilitas.

Selain Bulog, sekarang kita coba PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). BUMN juga itu. Ya kita coba BUMN dulu lah. Karena, kalau terjadi apa-apa, gejolak, yang sudah disubsidi kan kitanya melalui jalur BUMN.

Berapa rupiah besarnya dana PKH tahun ini?

Hampir Rp 10 triliun untuk tahun ini. Ya, Rp 9,8 triliun. Itu sebelum dipotong, ya. Setelah dipotong, saya belum tahu persis. Ya, dipotong yang penghematan yang kemarin (skema pemotongan anggaran dari Kementerian Keuangan untuk semua kementerian dan lembaga–Red).

Kami kena juga. Karena di sini (Kemensos), kalau bansos (dana bantuan sosial) tak dipotong, sudah nggak ada lagi yang bisa dipotong. Karena, bansos di sini 80 persen lebih. Dan, kalau dipotong yang lainnya, bansos juga akan nggak jalan.

Ya, bagaimana? Masak cuma bagi uang saja? Nggak ada yang monitor, penyiapan, dan sebagainya? Kan tak mungkin juga. Disalurkan dalam empat kali. Jadi, per tiga bulan. Tetapi, tidak rata. Tergantung dari berapa beneficiary dalam satu keluarga itu. Berapa anak yang masuk. Tiap anak, sekolahnya SD atau SMP. Berapa ibu yang hamil di keluarga itu, misalnya. Kan berbeda-beda.

Sekarang sudah disalurkan tahap kedua. Jadi, saya kira, PKH sudah hampir setengahnya (dari Rp 9,8 triliun). Sudah diserahkan saluran bantuan tetap Rp 500 ribu. Sebetulnya, kita tak kaitan langsung dengan program PKH-nya. Tetapi, targetnya sama. Karena kan prinsipnya, bagaimana orang miskin ini kita bisa angkat. Jadi, target yang kita (program e-Warung) kejar itu orangnya sama. Yang disasar oleh e-Warung sama juga dengan yang disasar oleh PKH.

Berapa jumlah keluarga penerima PKH?

Sekarang itu ada 3,5 juta KK (kepala keluarga). Dan, akhir tahun insya Allah menjadi enam juta KK di seluruh Indonesia. Dana PKH disalurkan ke masing-masing rekening (penerima dana PKH).

Nah, ini rencananya pada tahun depan--yang mana tahun ini adalah uji cobanya--rastra diubah jadi bantuan sosial. Sudah bukan subsidi lagi. Masyarakatnya langsung dikasih uang. Nilainya Rp 110 ribu, tapi tak boleh ambil tunai. Dia harus ambil pangan. Kita siapkan pangannya di e-Warung.

Jadi, nanti uangnya masuk ke rekening Rp 110 ribu, lalu dikonversi ke pangan. Dia boleh ambil terigu, gula pasir, dan sebagainya sembako. Tergantung jumlah uangnya saja. Dia nanti bisa kombinasi (jenis-jenis sembako yang dibeli). Karena beras kan yang lima kg harganya sekitar Rp 48 ribu. Tapi, tergantung kualitas berasnya.

Kalau dia bilang, "Ah, anakku sukanya makan (nasi dari beras) Rojolele dan tidak perlu pakai lauk kalau Rojolele." Ya berarti mungkin per kilonya harganya Rp 10 ribu atau Rp 12 ribu. Berarti, dia terimanya 10 kg atau sembilan kg mungkin. Bisa juga dia beli empat kg, lalu dia beli minyak goreng dan sebagainya. Tapi, dia puas dengan uang (jatah rastra) itu.

Supaya tak ada pemotongan-pemotongan, penyunatan (bansos untuk fakir miskin). Itu salah satunya (tujuan e-Warung). Jadi, memang, kalau arahan Presiden itu, pertama, supaya lebih transparan, lebih mudah, gampang di-trace aliran dananya, dan menghindari pemotongan.

Selain mudah terlacak, apa lagi keuntungan transaksi nontunai untuk penerima bansos?

Jadi, kalau dia bisa beli di situ lebih banyak. Pertama, mengapa dia tertarik beli? Karena, harga lebih murah. Otomatis dia mau belanja di situ (e-Warung). Dan, kebutuhan pokoknya memang pangan. Kalau rastra yang uang e-voucher pasti tak boleh diambil tunai.

Yang kedua ini kan PKH-nya. Memang ini tak dipaksa bahwa semuanya harus beli barang karena ini kan haknya mereka. Dan, juga dia mungkin ada kebutuhan lain. Misalnya, anaknya butuh sepatu sekolah. Sepatu nggak ada di e-Warung. Atau, dia ongkos angkot. Itu kan juga dia butuh. Jadi, tak bisa dipaksa. Namun, pasti sebagian dia belikan kebutuhan yang penting. Misalnya, beras, minyak, terigu, dan gula.

Bank mana saja yang sudah terjalin kerja sama untuk mendukung e-Warung?

Nanti, semua Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara) ikut semua. Sekarang dengan BRI, BNI, dan akan menyusul Mandiri, kemudian BTN. Seperti, misalnya, BRI baru meluncurkan satelit. Dalam konteks pemikiran itu juga. Dalam pembagian, kita rencanakan, luar Jawa itu kita kasih BRI. Karena, dia nanti bisa menjangkau ke pelosok menggunakan satelit. Jadi, selama ini penggunaannya di PT Pos. Pengirimannya bansos itu. Nah, kini sekarang kita ubah ke sistem bank.

Berapa target cakupan e-Warung untuk skala nasional?

Dari pertama, Juni 2016 kita mulai, itu baru Malang yang 100 persen. Jadi, modelnya itu diluncurkan, lalu dikembangkan sampai semua (penerima PKH) bisa dilayani. Minimal, satu kecamatan satu (e-Warung).

Bu Menteri menargetkan kita, tahun ini harus bisa dapat paling tidak 300 e-Warung. Idealnya, satu e-Warung untuk melayani maksimum seribu (KK penerima PKH). Karena, kita sudah hitung, kalau seribu itu, satu orang yang melayani, bisa dilayani sampai 10 hari.

Artinya, ini jangan dibayangkan seperti kantor pos, ya. Kalau kantor pos kan, dia datang, nggak kenal siapa yang datang. Kalau ini kan dia kenal (dengan pengelola e-Warung). Mereka saling mengenal. Itu komunitasnya sendiri. Jadi, bisa saling ngomong.

"Koe sesuk wae, yo?" misalnya begitu. Kamu hari apa. Mereka kompromi saja. Dan, bahkan, lantaran ini bentuknya koperasi, bisa saja, misalnya, karena kemarin ada kebutuhan mendesak, misalnya, berasnya habis, uangnya dipinjam dulu di koperasi untuk beli beras. Bisa saja. Karena, Rp 110 ribu itu nggak cukup.

Bisa dijelaskan, secara garis besar apa saja yang diperoleh penerima bansos dengan PKH?

Berasnya cuma 12 kg. Satu bulan dia butuh 30 kg sampai 40 kg. Satu orang kebutuhannya 0,3 kg, menurut BPS (Badan Pusat Statistik), per hari.

Kalau PKH, lumayan. Tapi, dia per tiga bulan kan. Ada yang Rp 450 ribu. Ada yang Rp 750 ribu. Macam-macam. Tidak sama karena tergantung jenis yang dimasukkan benefitnya.

Misalkan, dia hamil maka dapat Rp 1,2 juta. Itu dibagi empat penerimaan. Tapi, kalau dia juga punya bayi, berarti Rp 2,2 juta dia bisa dapat. Kalau dia punya anak SMA, berarti dia tambah lagi Rp 1 juta. Itu per tahun dia terima sekian kali.

Itu kalau dia penuhi kewajibannya. Misalnya, anak harus masuk 100 persen sekolah. Kalau kurang dari 80 persen, uangnya dipotong. Yang memantau, ada pendamping PKH tadi. Kalau dia tak pernah memeriksa kehamilannya sebagai ibu hamil, dia uangnya dipotong. Ya sampai detail begitu. Itulah kehebatan program PKH untuk memutus rantai kemiskinan. Anak harus sehat dan berpendidikan.

Apa saja kriteria keluarga penerima PKH?

Oh, itu sudah ada daftar. Jadi, itulah yang dimaksud dengan basis data terpadu (BDT) yang dikelola oleh Kemensos. Jadi, Kemensos menurut aturan perundang-undangan berhak mengelola BDT. Tapi, itu 2015 sudah dicek oleh BPS. Itu diserahkan ke kita. Itu yang kita update terus-menerus.

Jadi, kita punya data 40 persen orang yang paling bawah (tingkat ekonominya) di Indonesia. Jadi, sampai 40 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang menengah ke bawah. Kemudian, diambil yang terbawah 10 persen hingga 11 persen. Inilah yang masuk PKH. Jumlahnya, ya itu yang enam juta keluarga. Itu target kita tahun ini.

Nah, penerima rastra itu ada di 25 persen. Itu sekitar 15,5 juta keluarga. Nah, angka kemiskinan berapa? Sebelas persen. Jadi, yang menerima rastra itu sebetulnya jauh lebih besar daripada jumlah orang miskin (menurut angka kemiskinan). Mengapa begitu? Karena, banyak orang yang di atas garis kemiskinan, itu cuma bertahan beberapa lama, lantas masuk lagi (ke bawah garis kemiskinan).

Orang ini, misalnya, sekarang dia bekerja disensus, nggak miskin. Lantas, disensus lagi tiga bulan kemudian, ternyata proyeknya (tempat orang itu bekerja) sudah selesai. Maka, dia miskin lagi. Karena, dia nggak punya tabungan kan.

Apa definisi garis kemiskinan menurut Kemensos?

Itu ya kita mengikuti BPS. Kriteria yang digunakan sama dengan BPS. Yaitu, mulai dari rumah tinggal--ada 14 variabel kriteria yang digunakan. Di situ kita tak menghitung penghasilan. Jadi, kalau di Indonesia itu, tak menggunakan penghasilan (sebagai variabel mencari orang miskin). Tapi, pengeluaran (spending). Jadi, mereka ditanya spending.

Ada dua pendekatan, spending atau kalori yang ia bisa penuhi. Berapa banyak dia spending? Nanti kelihatan. Kalau, misalnya, di daerah ini Rp 1.340.000 per keluarga per bulan, ternyata dia hanya bisa spending Rp 900 ribu, berarti sudah di bawah dia. Kalau dia bisa Rp 1,5 juta, berarti dia sedikit di atas garis kemiskinan. Itu standarnya.

Tetapi, untuk kriterianya, itu dilihat rumahnya--dinding, lantai, dan atap--kemudian dia masak pakai apa, toilet rumahnya. Lalu, berapa jumlah anggota keluarga yang ia tanggung. Berapa kali ia bisa makan daging. Berapa kali ia bisa beli baju dan seterusnya. Itu yang dipakai dalam rangka membuat peringkat orang.

Bagaimana penerimaan masyarakat sejauh ini terhadap e-Warung?

Oh, mereka senang sekali. Ketika ditanya Bu Menteri, "Pernah ke ATM nggak?" jawabnya nggak pernah. Sekarang Bapak dapat kartu ATM. Artinya, ada rasa kebanggaan bahwa dia sangat dihargai juga. Dia sama dengan masyarakat lain dalam hal keuangan. Kemudian, ada rasa kian percaya diri. Dan, dari sana juga langsung ada perubahan pola pikir dari mereka. Banyak yang positif. Dia lihat warung saja, langsung dia berpikir dagang.

Karena sebelum ini, nggak ada. Dia memulai sesuatu itu harus dia pajang di rumahnya sendiri atau tawarkan saudaranya supaya beli. Kalau sekarang, betul-betul ada tempat, dia bisa.

Terus sekarang, ada IT. Itu langsung berpikir. Wah, iya saya nggak bisa. Tapi, anak saya bisa dan harus bisa (mengakses teknologi). Itu luar biasa positif mindset itu. Dan, memang itu yang kita semua inginkan. Teman-teman bilang, "Wah, berani sekali dengan elektronik warung itu." Ya kami berani karena ada para pendamping (PKH) tadi yang mengerti. Jadi, dia mudah.

Pengalaman di beberapa kota ini, dia yang diajari oleh bank, cepat banget. Nah, karena mereka sudah biasa pakai ponsel pintar. Simpel banget kok. Hanya mengeklik. Dibuka. Masukkan password.

Artinya, penetrasi inklusi uang elektronik atau nontunai sangat rendah dibanding negara-negara tetangga. Maka itu, sekarang didorong supaya ini bisa benar-benar cepat. Sekalian langsung masuk ke bawah. Karena, kalau hanya menunggu dari kalangan kaya, kalau tak ada gerakan, saya kira agak sulit. Tergantung kebiasaan mereka. Nah, kalau ini, mereka diajarkan.

Dan, ini membuat pola pikir mereka berubah. Mereka merasa setara. Persoalan di masyarakat kan mind set. Nggak ada beda kita dengan orang miskin. Otaknya sama. Hanya beda pada cara pandang terhadap persoalan.

Kita berpikir, anak kita harus sekolah. Karena, kita tahu dari penelitian, pengalaman, bacaan kita, orang yang berpendidikan lebih gampang survive hidupnya, dan lebih bermanfaat. Kalau mereka, berpikirnya lain lagi, "Ngapain sekolah? Anaknya Pak Lurah tuh, punya motor, kaya juga meski pengangguran, padahal sudah sarjana." Karena, yang dia (orang miskin) lihat itu. Dia tak pernah membaca. Hanya karena cara berpikirnya saja yang sedikit beda, dia tak mau sekolahkan anaknya.

Itulah gunanya pendamping PKH datang, mengajarkan dia supaya dia berpikir luas. Rekrutmennya (pendamping PKH) sangat ketat. Ada administrasi dulu. IP-nya (selama menjadi mahasiswa) berapa. Sudah itu, tes tertulis, kemudian wawancara. Sekarang, ada 16 ribu pendamping PKH. Akhir tahun ini naik jadi 26 ribu pendamping PKH. Selain itu, kita ada TKSK, tenaga kesejahteraan sosial kecamatan. Itu relawan yang mendampingi masyarakat.

Direktorat jenderal yang Anda pimpin ini terbilang baru. Apa tantangan terberat menakhodai ditjen ini?

Kalau yang di dalam UU itu, tak dibedakan antara fakir dan miskin. Jadi, itu satu kata. Orang yang tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada lagi istilah baru dalam BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) itu atau PBI (Penerima Bantuan Iuran), tidak mampu. Karena, kita perlu memasukkan tidak mampu.

Kalau kita hanya bicara fakir miskin, itu sebenarnya hanya 11 persen itu. Bukan sampai 93 juta tadi. Tapi, 20 juta lebih. Karena BPS menyatakan, garis kemiskinan sekarang itu di angka 10,98 persen. Mendekati 11 persen lah. Artinya, di atasnya itu nggak miskin menurut BPS. Tapi, kan kita tak mungkin mencari batasannya di lapangan itu persis.

Kalau Anda melihat orang miskin di lapangan secara visual, itu nggak bisa secara kasat mata membedakannya. Karena, variabelnya banyak sekali. Menentukan peringkat mana bawah, mana atas, itu ada 40 variabel yang kita gunakan. Januari, direktorat jenderal ini dibangun. Yang utama sekarang, penurunan angka kemiskinan dan perbaikan angka kesenjangan, rasio gini. Itu harus kita turunkan. Dan, itu tak mudah.

Caranya yang pertama harus kita pikirkan adalah bagaimana supaya ketepatan sasaran bantuan. Jadi, itu berhubungan dengan data. Ini yang kita sedang olah, bersama-sama dengan pusat data dan informasi (pusdatin), bagaimana supaya data penerima PKH ini juga menjadi data penerima rastra.

Data itu agar bisa berasal dari satu sumber dan menjadi semua terintegrasi. Karena, pengalaman dari survei yang lalu-lalu, itu masih banyak orang yang penerima PKH, misalnya, tapi tidak menerima rastra atau raskin. Ada beberapa yang sudah dapat PKH, belum menerima Kartu Indonesia Sehat.

Seberapa besar dampak pendataan untuk mengoptimalkan bansos?

Harusnya kan kalau secara hierarki struktur data BDT satu, mestinya sumbernya satu, dapat semua. Karena, dia (termasuk) yang paling di bawah. Otomatis dia harus dapat semua dong/. Nah, ini di lapangan ternyata masih banyak yang tidak. Ini yang sedang kita godok. Bagaimana supaya sinkron semua supaya dia betul-betul beririsan begitu. Bahwa dia mendapatkan bantuan semua, yang bawah ini.

Data dari BPS, induknya itu. Tetapi, sesuai dengan UU Penanganan Fakir Miskin Nomor 13 Tahun 2011, itu yang menentukan data dari lapangan itu, pemerintah daerah. Dan, itu kan dinamis angkanya. Tidak bisa, BPS kasih angka itu, lalu tak berubah seterusnya. Ini terus-menerus. Setiap hari ada yang meninggal, ada yang datang, membuat keluarga baru dan miskin, mungkin. Setiap hari ada orang yang tiba-tiba tak miskin karena mungkin bisa survive dapat penghasilan. Dinamika begitu-begitu yang mesti kita tampung dari daerah-daerah, pemda-pemda.

Sesuai dengan undang-undang itu, yang berhak mengajukan ke Kemensos itu bupati atau wali kota. Mengajukan nama penerima (program-program bantuan Kemensos).

Kita harus membedakan antara penerima dan data kemiskinan. Yang kita miliki adalah data peringkat orang. Kita tak bilang siapa yang miskin. Tetapi, tentu yang paling bawah adalah yang paling miskin. Yang kedua. Yang ketiga. Yang keempat. Sampai ke-93 juta orang.

Kita punya nama 93 juta orang (di dalam BDT). Saya tak menyatakan siapa yang miskin di sini. Tapi, yang paling bawah itu yang ini. Sekarang, kita ada bantuan. Bantuan ini ada kuotanya, tergantung dari politik anggaran dan berapa keinginan pemerintah untuk memberikan bantuan.

Kalau pemerintah bilang, "Oke, kami punya uang. Boleh memberikan kepada 93 juta orang." Berarti semua masuk. Kalau dia bilang, "Oke, kami punya uang. Tetapi, kami hanya berikan ke enam juta orang." Oke, berarti kita cari mulai dari bawah ini. Inilah yang sekarang kita susun ini. BDT ini yang kita maintain.

Pemda lain lagi. Listrik, dia minta ke sini juga datanya. "Ini, Pak, ada yang 900 Watt. Ini kami mau lihat, 900 Watt orang yang ada namanya dalam BDT dan yang tak ada namanya dalam BDT." Artinya, kalau ada namanya dia dalam 93 juta ini, itu dapat subsidi. Kalau ada orang mendaftar, tetapi namanya tidak ada di antara 93 juta ini, dia harus bayar normal.

Beda lagi dengan rastra tadi. Maunya kasih 15,5 juta keluarga. Berarti dia hanya 25 persen. Paling bawah yang diambil. Beda lagi PKH. PKH bilang, uangnya adanya hanya 11 persen. Ya sudah, ambil 11 persen dari yang paling bawah tadi. Berarti logikanya apa? Yang paling bawah ini dapat semua bantuan.

Mengapa bansos masih berupa bantuan dana segar meskipun kini mulai dengan mekanisme nontunai?

Jadi, konsepnya kita itu, ada cash transfer, yaitu PKH. Menurut Bank Dunia dan penelitian-penelitian yang ada, cara yang paling gampang untuk membuat orang menjadi tak miskin itu cash transfer. Kasih uang. Bukan pemberdayaan semata. Orang kalau makannya nggak cukup, Anda nggak bisa berdayakan. Kalau Anda makan cuma sekali sehari, lalu ke sana ke mari mengais, lalu Anda disuruh berdagang, kasih uang Rp 1 juta, uang ini akan habis dimakan. Jadikan dulu makan tiga kali sehari. Berarti, uang Rp 1 juta itu untuk (biaya) makan dua kali sehari. Karena nggak cukup, kan? Maka itu, dikasih cash dulu. Supaya dia cukup.

Sementara ia dikasih cash itu, mulai stabil hidupnya, lalu dia dikasih pemberdayaan. Itulah yang di kami, KUBE tadi. Supaya dia bisa ada penghasilan. Kalau dia sudah ada penghasilan, PKH-nya disetop. Ia sudah bisa survive. Jadi, itu istilahnya tangga yang harus dilalui. Itulah graduasi. Begitu dia keluar dari PKH, dianggap dia sudah tak masuk ICU (gawat darurat). Rasio gini kita cukup mengkhawatirkan. Targetnya itu mestinya 0,36 poin pada 2019. Untuk itu, kita mesti berpikir out of the box.

Itu mudah-mudahan kita bisa mencapainya. Semua yang kita lakukan adalah bagaimana dengan pemberdayaan itu orang bisa dapat pekerjaan. Jadi, bukan semata-mata kasih uang. Bagaimana juga orang bisa lapangan kerja terbuka. Distributor atau Bulog itu kan biasanya menyiapkan karung beras. Satu karung itu dia kirim ke rumah masyarakat di dekat e-Warung itu. Lalu, beberapa masyarakat miskin di situ akan mengerjakan packing ukuran dua kg (beras) itu. Nah, kerja itu satu penghasilan. Lalu, dia dibayar. Nah, ini membuka lapangan kerja juga.

Jadi, kami mencoba untuk mencari terobosan yang sederhana, tetapi bermakna besar buat mereka. Karena, terkadang kita ini berpikir terlalu jauh. Padahal, mereka butuhnya yang simpel saja di lapangan.    ed: Hafidz Muftisany

***

Bank Dunia Pun Belajar dari Kemensos

Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis data terbaru mengenai ketimpangan, Jumat (19/8). Rasio gini pada Maret 2016 terpaut pada poin 0,397. Artinya, ada penurunan dibandingkan Maret 2015 yang sebesar 0,408 poin. Rasio gini yang di bawah angka 0,4 poin bermakna tingkat ketimpangan suatu negara terbilang rendah.

Dirjen Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial (Kemensos) Andi ZA Dulung menjelaskan, pemerintah menargetkan rasio gini menjadi 0,36 poin pada 2019. Sehingga, kata dia, perlu upaya yang lebih inovatif untuk mengangkat derajat kaum papa di Indonesia. Salah satunya, pemerintah dapat memasukkan hasil kajian sejumlah lembaga internasional yang juga bercita-cita pengentasan kemiskinan. Menurut riset Bank Dunia, ungkap Andi, pemerintah suatu negara hendaknya memerhatikan skala prioritas bentuk bantuan untuk membangkitkan nadi perekonomian orang miskin.

"Menurut Bank Dunia dan penelitian-penelitian yang ada, cara yang paling gampang untuk membuat orang menjadi tak miskin itu cash transfer. Kasih uang. Bukan pemberdayaan semata. Orang kalau makannya nggak cukup, Anda nggak bisa berdayakan," papar Andi ZA Dulung saat ditemui di kantor Kementerian Sosial, Jalan Salemba Raya No 28, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Filosofinya, lanjut dia, setidaknya pemerintah harus menjamin keberlangsungan hidup orang yang kurang beruntung dari segi ekonomi. Maka, bantuan tunai diberikan dengan tujuan, antara lain, agar kebutuhan pangan pokok sehari-hari mencukupi. Menurut BPS, ujar Andi, setiap orang normalnya membutuhkan makanan 0,3 kg beras per hari.

"Kalau Anda makan cuma sekali sehari, lalu ke sana ke mari mengais, lalu Anda disuruh berdagang, dikasih uang Rp 1 juta, uang ini akan habis dimakan. Maka itu, dikasih cash dulu. Mulai stabil hidupnya, lalu dia dikasih pemberdayaan. Supaya dia bisa ada penghasilan," katanya.

Dia menegaskan, tak ada perbedaan yang mendasar antara orang miskin dan yang tak miskin. Namun, faktor pola pikir cukup menentukan sejauh mana kesenjangan sosial terjadi.

Andi mencontohkan, bagi keluarga miskin, sering kali pendidikan formal dianggap bukan sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi—lepas dari soal apakah keluarga ini mampu menyekolahkan anaknya. Ayah dari si anak miskin itu lantas melihat sekelilingnya dan menemukan, tanpa sekolah pun seseorang bisa mendapatkan kehidupan yang kelihatannya nyaman.

"Itu anak pak lurah, nggak sekolah, tapi bisa bawa motor bagus. Sedangkan, bagi kita, misalnya, sekolah itu, ya kebutuhan. Karena, kalau nggak sekolah, bagaimana saya atau Anda bisa seperti sekarang ini?" ucapnya.

Lantaran berakar pada pola pikir, lanjut Andi, kesenjangan sosial menjadi berbahaya bila diwarnai sikap iri. Pemicunya, antara lain, kecenderungan untuk mempertontonkan kemewahan di tengah masyarakat yang heterogen secara ekonomi. Karena itu, perlu mempertemukan pola budaya antardua kelas sosial. Itulah yang coba dihadirkan Kementerian Sosial dengan menyalurkan bantuan sosial (bansos) secara nontunai. Selama ini, fasilitas perbankan hanya umum dinikmati kalangan kelas menengah ke atas. Kini, jelas Andi, pelan-pelan masyarakat miskin diajarkan untuk merasakan sistem keuangan nontunai.

Andi mengenang, kecambah ide penyaluran bansos via nontunai berawal dari obrolan ringan serta focus group discussion (FGD) yang kerap ia lakukan bersama rekan-rekan kerjanya. Mereka berasal dari beragam bidang keilmuan, khususnya ahli ekonomi, pakar teknologi informasi (IT), serta pihak Kementerian Koperasi UKM.

Sebelumnya, ia berpikir bahwa koperasi mesti diperbanyak dan tersebar merata agar sistem cashless bansos bisa efektif. Namun, setelah dipelajari lebih lanjut, Kemensos hanya perlu membentuk satu koperasi yang sifatnya memusat dan membawahi semua pemberdayaan masyarakat di Indonesia. "Tadinya saya pikir, koperasi mesti banyak begitu. Ternyata itu juga satu masalah nanti kalau koperasinya banyak. Akhirnya, kita buat satu saja koperasinya. Koperasi Masyarakat Indonesia Sejahtera."

Hasilnya cukup menggembirakan sejauh ini. Malahan, Andi mengungkapkan, ide penyaluran bansos di Indonesia mendapatkan apresiasi dari Bank Dunia. Itu mencuat dalam sebuah kesempatan pertemuan internasional di Manila, Filipina, beberapa waktu lalu. Kala itu, Andi diminta untuk berbagi metode pengentasan kemiskinan di Indonesia kepada negara-negara berkembang yang bekerja sama dengan Bank Dunia.

"Terakhir, saya panggil Bank Dunia. Saya pikir, awalnya Bank Dunia mau kritik. Tapi, malah dia bilang, wah ini bagus sekali, boleh nggak idenya saya pakai untuk ke luar negeri? Alhamdulillah. Itu ide dari Indonesia yang bisa dipromosikan ke luar," ujar penyuka olahraga golf ini.   Oleh Hasanul Rizqa, ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement