Rabu 03 Aug 2016 16:00 WIB

Ketua Satuan Tugas Penanggulangan Vaksin Palsu Maura Linda Sitanggang: Kasus Vaksin Palsu Jangan Terulang Lagi

Red:

Foto : Republika/Rakhmawaty La'lang  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kasus produksi dan peredaran vaksin palsu berhasil diungkap Bareskrim Polri pada 21 Juni 2016. Ada sebanyak 25 tersangka yang sudah ditetapkan hingga Sabtu (30/7) lalu. Bagaimanapun, keresahan masih terasa di kalangan orang tua hingga kini. Puncaknya, kala Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkap 22 fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang sempat memberikan vaksin palsu.

Pemerintah pun telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan Vaksin Palsu yang dipimpin Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Maura Linda Sitanggang. Lantas, apa sebenarnya yang terjadi di balik fenomena vaksin palsu? Seberapa jauh bahayanya bagi kesehatan anak Indonesia? Untuk menjawabnya, berikut petikan wawancara Republika dengan Maura Linda Sitanggang di kantor Kemenkes, Jalan Rasuna Said, Jakarta, Kamis (21/7).

 Apa penyebab munculnya vaksin palsu di Indonesia belakangan ini?

Sebenarnya, ini adalah hasil temuan polisi. Jadi, menurut polisi, sebenarnya ini hal-hal yang diambil kesempatan oleh orang-orang yang punya niat kurang baik. Maksudnya, dalam keadaan ada suatu vaksin impor yang (mengalami) global shortage. Ada semacam kekosongan dari sediaan vaksin global. Inilah yang menjadi potensi disalahgunakan oleh orang-orang kreatif, tapi jahat untuk membuat vaksin palsu.

Kekosongan itu sejak kapan?

Waktunya itu tidak kontinu. Tapi on-off. Jadi, kadang-kadang mereka (produsen vaksin impor) produksi. Produknya cepat habis karena banyak permintaan. Off dulu, terus ada lagi, begitu. Saat ini, teman-teman Satgas juga mendata. Yang paling penting, ada bervariasi di berbagai tempat. Tetapi, dari pendataan itu, ada satu atau dua distributor tidak resmi, yang mencurigakan. Kemudian dilihat, kapan suatu rumah sakit atau klinik menggunakannya. Dari situ, ditelusuri lagi datanya. Kira-kira siapa yang mendapatkan itu. Dan (penerima vaksin palsu) ditelepon.

Produsen vaksin impor ini, secara global, dari negara mana saja?

Hmm, saya lupa. Negaranya itu umumnya dari Eropa, Belgia.

Mengapa produksinya bisa off?

Itu kan sangat teknis. Sedangkan, produsen vaksin di dunia, sedikit. Kira-kira, kalau yang diakui dunia, WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), kurang dari 20 korporasi. Biofarma salah satu di antaranya. Sangat besar. Menghasilkan vaksin-vaksin, bahkan (Biofarma) mengekspor saat cukup (memenuhi kebutuhan di) dalam negeri.

Biofarma penyedia satu-satunya vaksin untuk pemerintah?

Di Indonesia, saat ini produsen vaksin itu baru Biofarma. Di Asia Tenggara juga hanya Biofarma.

Bareskrim Polri menyebut, pelaku vaksin palsu sudah beraksi sejak 2003?

Vaksin palsu itu bukan ditemukan sejak 2003. Itu adalah pengakuan seseorang (tersangka) yang mengatakan, "Saya melakukan ini sejak 2003." Maka berbeda. Dan seseorang itu bukan produsen. Jadi, seperti penyalur-penyalur. Tapi, itu pun hanya satu orang yang berkata begitu. Kalau menurut temuan BPOM yang dirilis di website-nya, itu sebenarnya mereka menemukan itu semenjak 2008, tapi secara sporadis. Bentuknya (modusnya) tidak memproduksi vaksin palsu, tetapi mengubah labelnya, (keterangan) kedaluarsanya, seperti itu.

Jadi, laporan pertama yang diterima BPOM itu tahun 2013. Di mana, (pada 2013) itu ada produsen yang mengadukan bahwa vaksinnya itu dipalsukan. Beberapa aktor sudah dibawa ke pengadilan. Tapi kemudian timbul lagi. Jadi, itu seperti peluang-peluang yang ditunggu orang-orang tertentu dengan niat tidak baik.

Namun, satu hal yang harus kita tahu bahwa cakupan dari vaksin pemerintah--dengan menggunakan vaksin yang dibuat di dalam negeri--pada 2015 itu 95,3 persen dari populasi anak yang seyogianya divaksinasi. Itu imunisasi wajib atau dasar. Sisanya, (sebanyak 4,7 persen) ada yang membeli vaksin pemerintah tersebut. Tetapi, ada juga yang membeli impor.

Begini. Swasta itu yang bekerja sama dengan dinas kesehatan, puskesmas sebenarnya bisa mendapatkan vaksin pemerintah. Karena, vaksin pemerintah ini untuk seluruh penduduk Indonesia. Namun, ada beberapa (fasyankes) swasta yang memberikan opsi, pilihan agar vaksin impor ini juga (dibeli) kepada pasiennya atau kepada orang tua anak.

Apa fasilitas layanan kesehatan swasta justru menawarkan vaksin impor yang berbayar, alih-alih vaksin imunisasi dasar yang gratis dari pemerintah?

Bukan. Jadi, vaksin yang gratis yang berasal dari pemerintah sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh swasta juga, tidak hanya (rumah sakit) pemerintah. Paling-paling, (fasyankes swasta meminta bayaran) biaya administrasi sama biaya barang medis habis pakai lainnya.

Tetapi, yang ditemukan di lapangan, kadang orang tua anak ditawarkan, apakah mau memakai vaksin impor. Jadi, orang tua yang (seharusnya) bisa dikasih vaksin gratis, malah dikasih opsi (vaksin impor). Iya, tetapi, itu kecil sekali persentasenya, sekitar empat persen. Dan, itu dilakukan di rumah sakit dan klinik swasta.

Berdasarkan data Satgas sejauh ini, apa saja jenis vaksin yang dipalsukan?

Dari data Satgas, vaksin yang dipalsukan itu adalah Tripacel dan Pediacel. Itu sebenarnya yang paling pokok. Tripacel yang asli itu (komposisinya) terdiri atas antigen DPT. Sedangkan, Pediacel yang asli itu terdiri atas antigen DPT, polio atau IPV (inactivated polio vaccine), dan HiB (Haemophilus influenzae type b vaccine). Keduanya (Tripacel dan Pediacel) itu merek impor. Sedangkan, Tripacel dan Pediacel yang dipalsukan--jadi, bukan yang aslinya--itu isinya masing-masing hanya antigen Hepatitis B.

Berapa merek yang diketahui telah dipalsukan pelaku? Selain merek Tripacel dan Pediacel?

Yang selain dua itu adalah Engerix-B (vaksin Hepatits B untuk dewasa; produksi PT GSK) sama Euvax-B (vaksin Hepatitis B produksi Sanofi Pasteur). Tetapi, untuk yang Engerix-B dan Euvax-B-yang diedarkan tersangka itu isinya sama, yakni antigen Hepatitis B. Jadi, isinya sama. Tetapi, konsentrasinya, kadarnya direndahkan (oleh pelaku).

Atau, ada dua kemungkinan. Pertama, lantaran selama didistribusikan itu, cold chain-nya tidak baik. Jadi, mutunya rendah. Atau, kedua, dia itu (kandungan Engerix-B dan Euvax-B) memang kadarnya sengaja direndahkan (oleh pelaku).

(Cold chain atau rantai pendingin adalah sistem yang wajib ada dalam distribusi vaksin. Sejak diproduksi hingga disalurkan, vaksin harus disimpan dalam tempat yang stabil suhu dinginnya. Pedagang besar farmasi (PBF) resmi yang ditunjuk sebuah produsen vaksin harus memiliki cold chain--Red). Ada juga Tripacel yang oleh pelaku dipalsukan, sehingga isinya hanya Hepatitis B. (Merek Tripacel yang asli, berisi antigen DPT--Red)

Lantaran kekosongan stok vaksin impor, sejumlah fasyankes swasta melakukan pengadaan yang tak benar?

Yang ditemukan polisi kan 14 rumah sakit sama delapan klinik atau praktik bidan. Itu yang dipalsukan di sana. Pengadaan yang tak benar belum tentu menunjukkan bahwa dia (memesan vaksin) palsu. Sesudah dicek dari puluhan sampel yang diambil polisi, dicek di laboratorium, didapatkan hasilnya cuma yang itu. Yang isinya vaksin lain.

Ketika kehabisan stok vaksin impor, mengapa Kemenkes tidak mewajibkan rumah sakit untuk melakukan pengadaan dari produsen vaksin dalam negeri?

Itu sebenarnya supply and demand. Jadi, memang dalam hal ini itu dilakukan regulasi yang ketat. Baik produsennya, distributornya, penggunaannya, itu sudah ketat sekali. Tapi, ada beberapa pihak yang mengatakan, tak mengerti bahwa apakah ini (vaksin yang dibeli) palsu atau tidak.

Dalam hal ini, memang harus dibuktikan dalam penyidikan, yakni proses penegakan hukum. Apakah itu (pengadaan vaksin palsu) disadari atau tidak. Kita beri kesempatan penegakan hukum. Itu (pengadaan vaksin di RS swasta) namanya pilihan. Kita dari pemerintah mengatakan, pakailah (merek) yang Biofarma. Atau, pakailah vaksin pemerintah. Saya enggak boleh promosi industri kan?

Bisa dijelaskan secara singkat, apa saja tugas Satgas dan terdiri atas pihak mana saja?

Satgas ini tugas utamanya melakukan koordinasi dan pertukaran data atau informasi untuk bisa dilakukan langkah-langkah cepat untuk menanggulangi adanya vaksin palsu ini. Baik itu dari aspek kesehatan maupun informasi-informasi yang bisa kita berikan kepada publik. Di dalam Satgas ini ada bidang investigasi. Memang, dalam hal ini penegakan hukum. Kemudian, ada bidang medis, farmasi, dan organisasi profesi serta bidang komunikasi media dan komunikasi masyarakat.

Terdiri atas Kemenkes yang terdiri atas beberapa direktorat jenderal. Kemudian, BPOM, Bareskrim, IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). Tidak ada yang dari unsur pabrikan (produsen vaksin). Mereka hanya menolong kita kalau kita memerlukan cek data, informasi. Tapi, mereka tidak di dalam Satgas. Karena mereka kan pihak supplier.

Satgas berkomunikasi kepada IAI (Ikatan Apoteker Indonesia), PERSI, terus IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Tapi, bukan kita tak sertakan mereka. Kita mencoba fokus di sini. Kemudian, Satgas ini juga ada di daerah yang terkena. Ada dinas kesehatan, IDAI daerah, balai besar POM. Supaya terlokalisasi dan bisa langkah cepat. Selain untuk yang terkena vaksin palsu, juga untuk menenangkan masyarakat bahwa ini sudah ditangani.

Berapa anak atau balita yang terpapar vaksin palsu sampai hari ini (21/7)?

Sebenarnya, yang sudah kita hubungi untuk datang itu 397 anak. Itu data kemarin (20/7). Enggak semuanya divaksinasi. Karena, setelah dilihat, ada yang perlu vaksin ulang tapi ada yang tidak memerlukan. Maksudnya, sebenarnya bukan karena vaksin palsu.

Tapi begini. Semuanya masih bertahap, dalam proses. Jadi, ini angka hidup. Bertumbuh terus. Kami mendapatkan informasi, verifikasi, langsung panggil. Jadi, enggak menunggu total semuanya baru dipanggil. Jadi, kalau ditanya total semua, memangnya matematika? Langkah cepat ya seperti itu.

Mayoritasnya merupakan pasien dari RS mana?

Yang jelas RS Harapan Bunda. Terus, RS Sayang Bunda. Juga, eks pasien di Ciracas.

Kira-kira, sampai berapa lama Satgas bekerja? Langkah cepat, pasti enggak terlalu lama. Tetapi, semua anak kan punya buku vaksinnya. Yang kurang dari satu tahun akan divaksin sekarang-kalau terkena vaksin palsu. Dijadwalkan sekarang, terus satu bulan kemudian, terus satu bulan kemudian. Jadi tiga kali.

Yang umurnya di atas satu tahun, sekali, terus enam bulan kemudian, terus satu tahun. Jadi, yang paling penting, dia dijadwalkan, sekarang diberikan. Kemudian, dijadwalkan kembali. Dan dia bisa datang ke manapun juga puskesmas. Yang penting, bukunya (buku catatan imunisasi) dibawa.

Adakah dampak negatif dari langkah pemberian vaksinasi ulang? 

Sebenarnya, naturally vaksin diberikan berkali-kali. Tak ada istilah overdosis. Namun, kita tak sembarangan. Maksudnya, berdasarkan uji klinik, sebaiknya berapa kali, itu kan ada kisaran dosisnya. Oleh karena itu, setiap anak punya buku vaksin. Sehingga, bisa dicek di situ, kapan waktunya dan sebagainya.

Terus, kalaupun itu terlewatkan, biasanya kan ada Bulan Imunisasi di sekolah. Namanya BIAS, Bulan Imunisasi Anak Sekolah. Itu dilakukan oleh pemerintah sehingga setiap anak bisa kena. Maksudnya, tercakupi vaksinnya. Itu juga (dilakukan) berkali-kali. Nanti kalau SD, dia dapat lagi. Di sekolah dapatnya. Dikasih pemerintah. Gratis.

Sebenarnya, daya tangkal untuk itu sudah berkali-kali. Yang jelas, anak itu juga akan dimonitor tumbuh kembangnya. Terus, yang lahir pada 2003 atau 2002 atau 2004 tidak pernah dapat KLB (kejadian luar biasa). Begitu. Maksudnya, unlikely dia itu sebenarnya tidak punya kekebalan. Karena itu sudah berlapis-lapis. Antibodi itu kan naturally terjadi.

Yang 2003 juga itu, PIN kan sudah berkali-kali. Pekan Imunisasi Nasional (PIN) yang diberikan massal seluruh Indonesia. Kalau yang ini, baik itu swasta atau pemerintah. Itu program pemerintah. Jadi, datanglah ke sini-situ, ke puskesmas. Sudah ditunjuk.

Bahkan, di mal. Tapi, harus ada tenaga kesehatannya. Kemenkes sudah "jemput bola". PIN itu modelnya aktif. Nah, sudah berapa kali Indonesia adakan PIN? Pada 2003 dia (anak) juga "tertangkap" (mendapatkan PIN) dan didata pada waktu itu. PIN kita (cakupannya) targetnya 95 persen dan kita tercapai di atas itu.

Apa saja efek vaksin palsu?

Efeknya ya dia mendapat antibodi hepatitis. Malah bagus. Hanya, kadarnya (antigen Hepatitis B) memang kurang, mungkin. Jadi, tetap saja dianggap dia harus dapat vaksin hepatitis.

Antigen itu bisa disamakan dengan virus atau bakteri yang dilemahkan atau dimatikan. Kalau kita kena antigen maka tubuh kita secara alami membuat antibodi. Yang membuat tubuh kita kebal ini adalah antibodi.

Jadi, sebenarnya, yang membuat komponen untuk kita kebal penyakit adalah tubuh kita sendiri. Tapi, itu dipancing dengan adanya antigen. Istilahnya, cacar air. Itu enggak usah divaksin juga, kalau kita pernah kena cacar air, (di dalam tubuh) kita otomatis terjadi antibodi.

Tapi, wadah vaksin palsu dari botol bekas limbah RS?

Akibat dari tidak steril biasanya apa? Biasanya infeksi. Tapi, karena vaksin itu tidak masuk ke seluruh tubuh, dia hanya di bawah kulit dan cc-nya kecil, itu biasanya ada infeksi lokal. Tetapi, infeksi itu, pada saat itu langsung ketahuan. Misalnya, satu pekan, itu ketahuan. Jadi, enggak ada bahwa vaksin palsunya 2003, efeknya nanti atau sekarang. Efeknya kalau dalam hal keamanan, langsung dilihat di situ.

Tapi, dalam bentuk efektivitas atau tingkat kekebalannya cukup apa tidak, itulah yang namanya (membutuhkan) vaksin ulang atau otomatis karena orang ini dapat vaksin 16 kali sampai 17 kali seumur hidup, bahkan ditangkap di sekolah. Jadi, vaksin itu diulang terus. Tapi, saya tidak mau mengatakan, kalau dia kedapatan sekali, terus dia itu aman. Yang jelas begini. Vaksin itu diberikan kepada orang sehat untuk mendorong ia menciptakan antibodi sendiri.

Jadi, yang masuk ke dalam tubuh itu antigen. Misalnya, virus atau bakteri yang dilemahkan atau dimatikan. Karena virus itu masuk, dia terbentuk antibodi. Kalau kita sakit, ternyata sakitnya itu kita cukup antibodi, kita terjaga. Tapi, kalau kita pun kena virus atau bakteri yang lemah, seperti itu, antibodi kita pun bisa terjadi.

Oleh karena itu, pemberiannya berkali-kali. Karena, ini bukan obat tapi pendorong untuk membentuk antibodi secara spesifik untuk penyakit-penyakit tertentu. Kalau kekebalan yang umum, ya istirahat yang cukup, makan yang cukup, seperti itu. Jadi, kelihatannya ini yang merancang ini, dia tahu susah untuk ketahuan.

Kabarnya, sudah ada 50 posko di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi terkait vaksinasi ulang yang dibuat Kemenkes?

Itu posko pengaduan namanya. Di sana, bisa vaksinasi ulang (dilakukan). Jadwalnya, hari ini (21/7) kita keluarkan soal prosedur tindak lanjut bagi anak yang mendapatkan vaksin palsu. Yang pertama adalah verifikasi data dulu.

Yang verifikasi itu Satgas. Jadi, Satgas sudah punya data dari polisi, dikumpulkan, diverifikasi. Verifikasi artinya, mendatangi rumah-rumah sakit itu, untuk melihat data di situ, melihat data record di pengadaannya, melihat segala macam.

Diverifkasi, kapan waktunya dan segala macam. Itu sangat bervariasi. Dari data yang sudah terverifikasi, Satgas kerja sama dengan Dinkes (Dinas Kesehatan), mulai menghubungi orang tua. Itu yang tadi dapat 397 sudah datang. Nah, untuk orang tua atau masyarakat yang merasa belum dipanggil-panggil, itu bisa telepon call center Halo Kemenkes 1500567 atau bisa juga datang sendiri ke situ.

Sesudah mereka datang sendiri, mereka bawa bukunya, terus dicek. Apakah ada kemungkinan atau tidak, terus dicatat. Kalau jelas-jelas enggak mungkin, enggak ada Pediacel, enggak ada Tripacel, atau malah dia dapatnya itu, ya dia diyakinkan bahwa dia enggak apa-apa.

Tapi, kalau ada kemungkinan untuk dapat itu, dicatat dulu datanya untuk verifikasi. Lalu, dia bisa dihubungi nantinya untuk mendapatkan vaksinasi ulang. Dan, kita akan melakukannya dengan cepat. Agar mereka juga tenang. Jadi, kasus per kasus, per nama, per alamat, itu akan kami samperin.

Anda menilai, langkah Kemenkes mengumumkan 14 nama RS itu sudah tepat?

Iya. Yang jelas, mereka sekarang dalam proses penegakan hukum. Tapi, sembari itu dilakukan, kita verifikasi data untuk tindak lanjut kesehatan. Di samping itu, secara administrasi, dilakukan peringatan kepada mereka agar memperbaiki SOP-nya.

Karena, saat ini, pelayanan di sana tak hanya imunisasi, tapi juga melayani orang sakit dan sebagainya. Di dalam hal ini, sambil itu berjalan, mereka mendapatkan surat peringatan, harus memperbaiki SOP-nya, harus melaporkan SOP-nya itu setiap bulan untuk dicek. Begini. Anda pergi ke Indonesia Timur. Di sana enggak ada vaksin-vaksin impor. Mana ada di sana mau bayar Rp 800 ribu buat vaksin, sementara yang pemerintah ada? Adanya vaksin pemerintah. Jadi, malah aman.

Apa masih ada fasyankes penerima vaksin palsu selain 14 RS swasta dan delapan praktik bidan itu hingga hari ini (21/7)?

Enggak. Itu yang diumumkan itu 14 RS dan delapan (praktik) bidan, sudah semuanya.

DPR akhirnya membuat Panja di Komisi IX terkait vaksin palsu. Bagaimana Anda melihatnya?

Pertama-tama, Satgas juga melapor ke Komisi IX DPR. Kemudian, kita menanggulangi adanya vaksin palsu ini secara koordinatif. Dari pembelajaran ini, kita juga merekomendasikan regulasi-regulasi yang harus bisa diperbaiki, bisa juga harus diimplementasikan.

Apa yang mestinya dilakukan, sehingga fenomena vaksin palsu tak terulang? Jadi, dua hal. Pertama, misalnya, regulasi sudah ada, tetapi implementasinya ada gap, nah itu kita rekomendasikan. Jadi, hal-hal seperti itu, sehingga ke depannya (tak terulang). Saat ini dikoreksi. Tetapi, upaya-upaya pencegahan juga harus diperkuat, sehingga nanti tidak terjadi lagi.

Kalau kita lihat internet, segala macam, ternyata, vaksin palsu di India, di Cina, segala macam (negara-negara tetangga), itu gede-gedean. Parah. Isinya ada yang hanya air.

Mungkin itu ditiru-tiru juga (oleh pelaku orang Indonesia). Informasi juga, melihat ada ide ini-itu. Ide bisnis yang merugikan orang banyak. Tapi mereka (pelaku) juga pintar kan isinya vaksin juga, nantikan dapat (vaksinasi dasar) berkali-kali. Mungkin aman, tapi tipu. Kan bukan racun.  ed: Andri Saubani

Ahli Farmasi yang Hobi Wisata

Maura Linda Sitanggang bukanlah sosok baru di bidang pengawasan obat dan makanan. Sejak 1985, ia bekerja di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Perjalanan kariernya tergolong mulus. Hingga pada 2010, ia diamanahi posisi sebagai direktur penilaian obat tradisional, suplemen makanan, dan kosmetik BPOM.

Lulusan doktoral pada School of Pharmacology University of Bath, Britania Raya, ini lantas berpindah institusi. Kali ini, ia mengabdi di Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Sejak 2012, Maura bertugas sebagai direktur jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes. Di sinilah ia meraih Satyalancana Karya Satya 30 Tahun.

Penghargaan itu merupakan pengakuan dan apresiasi atas kinerjanya yang dinilai baik. Meski begitu, menurut Maura, pekerjaannya ini ia nikmati bukan lantaran ingin diakui unggul, melainkan semata-mata pengabdian di bidang kesehatan.

Namun, di tengah kesibukannya, perempuan kelahiran Medan, Sumatra Utara, itu mengaku tetap berusaha menyempatkan diri untuk menjalani hobinya, berwisata ke pelbagai destinasi yang baru dan membuka wawasan.

Maura menuturkan, Bath, Somerset, adalah salah satu tempatnya menimba ilmu kefarmasian. Itu merupakan kota kecil yang hanya berpenduduk sekitar 80 ribu jiwa. Nuansa kebudayaan begitu kuat di sana. Warisan Abad Pertengahan dan Kekaisaran Romawi masih tampak menghiasi kota yang telah dimasukkan ke dalam situs warisan dunia UNESCO itu. "Saya senang menemukan hal-hal baru di luar sana. Tambah bersemangat kalau bisa jalan-jalan ke tempat yang belum pernah sebelumnya," ucapnya kepada Republika, belum lama ini.

Satu ciri khas setiap destinasi adalah kulinernya. Untuk hal ini, Maura mengaku cukup bimbang lantaran di satu sisi, godaan mencicipi kuliner yang menggugah selera. Namun, di sisi lain, ia mengaku harus selektif dalam memilih makanan atau minuman sepanjang perjalanan. Pertimbangan kesehatan harus yang utama, demikian kata Maura. "Kalau sudah wisata kuliner, wah, maunya berlama-lama," kata dia, antusias.

Farmasis lulusan ITB pada 1982 ini juga aktif mengisi pelbagai seminar dan pertemuan ilmiah. Dalam kesempatan Rakernas Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) 2015, dia memaparkan pentingnya kemandirian nasional di bidang bahan baku farmasi.

Maura menilai, ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku farmasi impor, baik bahan aktif, bahan pembantu, bahan kosmetika, maupun bahan baku obat tradisional, masih sangat tinggi. Karena itu, dia mengaku cukup khawatir dengan fenomena vaksin palsu. Dia tak ingin Indonesia ikut terjerumus menjadi negara-negara yang telanjur marak akan aksi penipuan di bidang pengobatan.  ed: Andri Saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement