Rabu 22 Jun 2016 16:00 WIB

Dirjen Belmawan, Kemenristekdikti, Intan Ahmad: Memerangi Fenomena Ijazah Palsu yang Mendunia

Red:

Fenomena ijazah palsu sudah tidak menjadi rahasia umum lagi di masyarakat. Fenomena ini juga sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga bagian dari dunia internasional. Meski dianggap tidak mungkin menghapus hal ini, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) meyakinkan diri untuk membuat sistem yang diharapkan mampu memerangi fenomena ini. Sistem Verifikasi Ijazah Secara Online (SIVIL) pun telah diumumkan pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2016 di Serpong. Berikut ini kutipan wawancara wartawan Republika, Wilda Fizriyani, dengan Dirjen Belmawan Kemenristekdikti Intan Ahmad di kantornya, beberapa waktu lalu, tentang SIVIL.

Apa yang melatarbelakangi diluncurkannya SIVIL? Siapakah penggagas dari program ini?

Ini gagasan dari Pak Menteri (Mohamad Nasir) yang banyak melihat kasus ijazah-ijazah palsu di masyarakat. Pada waktu itu, beliau melempar ide agar semua ijazah diberi nomor. Kemudian, kami berpikir dari direktorat jenderal alangkah baiknya ini bisa dibuat lebih kepada sistem. Kira-kira membuat sistem yang siapa saja bisa mengecek secara dalam jaringan (daring) atau online.

Gagasan program tersebut apakah terinspirasi dari negara lain?

Nah, pada waktu kami mengembangkan sistem ini, ternyata di negara lain ada yang mengembangkan hal yang sama. Jadi, gagasan program ini bukan melihat dari tempat lain kemudian diadaptasi. Kita lihat ternyata ada yang sama di tempat lain dan kalau tidak salah, itu di Amerika atau Eropa.

Berapa lama penggodokan sistem ini dan siapa saja tim ahli yang dilibatkan?

Sebenarnya, sistem ini dibuat tidak terlalu lama, hanya beberapa bulan. Karena itu, bergantung pada bidang teknologi dan informasi (TI). Tim ahlinya sendiri dari Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga dibantu Universitas Telkom, Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), dan sebagainya. Ini kombinasi kementerian dan kampus terkait yang memiliki pengalaman dalam pengembangan sistem.

Bagaimana SIVIL ini dijalankan?

Sistem ini SIVIL, tentu tidak nomor saja. Misal, saya jadi mahasiswa dan untuk jadi sarjana, saya harus sudah terdaftar sejak semester satu. Nah, di Kemenristekdikti, ada Pusat Pangkalan Pendidikan Tinggi (PDPT) yang menyimpan semua data mahasiswa sejak masuk, termasuk komponen mata kuliah yang pernah diemban dan sebagainya hingga lulus. Ini juga menyimpan data, seperti nomor ijazah.

Saya sebagai lulusan dari ITB juga ada nomor ijazah di situ. Nomor ijazah akan terhubung dengan data yang ada di sistem ini (SIVIL). Jadi, nomor itu tidak sendiri dan bisa kita uji keabsahannya.

Sistemnya memang bukan berdasarkan nama. Kalau by name, orang jadi menebak-nebak, misal, saya ingin tahu punya teman saya karena iseng. Kita ingin menjaga privasi orang juga. Dengan begini, hanya nomor dan kampus yang kemudian langsung keluar datanya bahwa dia lulus dari prodi apa, tahunnya kapan, dan sebagainya.

Bisa dicontohkan bagaimana menjalankan sistem ini?

Contohnya, ini ada ijazah dari ITB yang ada nomor unik dari kampus bersangkutan (bagian pojok kanan atas--Red). Untuk mengeceknya, kita masuk alamat web (website) Belmawa lalu ketiklah kode atau nomor unik ini dan nama kampusnya.  Nanti, tulisan ITB akan muncul, termasuk kode ini. Setelah itu, akan muncul kode verifikasi bahwa Anda bukan robot. Lalu, diklik dan kalau yang keluar itu nama saya, itu ijazah saya. Nah, kalau yang keluar orang lain, berarti ijazah Anda sudah dipalsukan orang. Mungkin saja begitu dimasukkan ke web, tidak muncul karena ternyata nomor yang dimasukkan itu karangan.

Kalau yang tidak muncul, mungkin juga baru lulus. Biasanya, kalau enam bulan yang baru lulus, datanya belum di-update. Nah, kalau seperti itu, bisa dilakukan secara manual.

Apa sistem ini bisa mengecek ijazah seluruh generasi berbagai universitas?

Kita upayakan makin ke belakang. Sekarang belum bisa dikatakan bisa diakses karena janjinya pada September ini. Pada September itu, kita upayakan sistem dulu karena masukannya tidak hanya kami, tapi juga kampus. Jadi, persiapannya memang sekarang mengejar janji agar September sudah dapat mulai. Namun, beberapa data juga sudah ada dan masuk ke dalam sistem ini.

Manfaat apa yang bisa terwujud dengan adanya sistem ini?

Kita peringatkan pihak yang selama ini merasa untuk mendapatkan ijazah yang sebenarnya palsu itu tidak bisa dengan cara semudah itu. Kita ingin mengajak masyarakat bahwa ijazah itu suatu pengakuan hasil belajar. Kami juga mengharapkan institusi bisa mengecek keabsahan ijazah para penerima calon pekerjanya. Atau, universitas yang mau menerima mahasiswa studi lanjut akan lebih mudah cek keabsahan ijazahnya nanti.

Jadi, ini satu sistem yang memang kompleks yang besar, tapi akan besar manfaatnya. Tidak hanya pihak di dalam negeri, tapi juga luar negeri. Sebab, selama ini kita sering menerima posel (e-mail) atau surat untuk mengonfirmasi akreditasi universitas dan sebagainya. Nanti, kita buat versi Inggrisnya juga sehingga orang bisa mengecek.

Bagaimana respons setelah diumumkannya sistem ini?

Masyarakat merespons dengan baik karena ini bagian dari integritas bangsa dan revolusi mental. Orang bisa berpikir bahwa kita harus jujur dan sistem ini membuat orang jujur. Kalau dia tidak jujur, mereka tidak akan dapat ijazah. Dengan sistem ini, kalau orang beli ijazah, kita tinggal cek dan langsung ketahuan.

Lalu, bagaimana cara menghadapi kendalanya mengingat sistem ini menggunakan cara daring?

Selama ini, saat kita menggunakan internet, memang kadang-kadang lelet. Tapi, itu kan tidak terus-terusan. Sistem internet kita juga tampaknya semakin baik, bahkan di Kemenristekdikti. Nanti, kita akan adakan jalur khusus juga agar dapat mempercepat distribusi dan konektivitas antara kampus di Indonesia. Namun, untuk masyarakat luar dapat menggunakan jalur biasa. Untuk mengeceknya, masuk melalui http:belmawa.ristekdikti.go.id/ijazah.

Sistem ini muncul karena banyaknya fenomena ijazah palsu, sebenarnya apa yang menyebabkan hal ini terjadi?

Fenonema ijazah palsu ini bukan hanya di indonesia, melainkan juga internasional. Ini very big bussiness oleh sejumlah pihak, termasuk Indonesia. Mereka biasanya akan membuat alamat web seakan-akan dia itu universitas dengan menampilkan kurikulum dan sebagainya. Bagi yang tertarik, dipersilakan mendaftar di situ dan akan ditarik uang.

Yang mendaftar itu akan mendapatkan ijazah tanpa proses pembelajaran. Mungkin juga ada proses pembelajarannya yang harusnya empat tahun, tapi dia cuma empat minggu atau dua minggu.

Fenomena ini terjadi karena memang adanya tantangan di masyarakat. Orang untuk melamar kerja harus punya ijazah, lalu untuk promosi harus sarjana atau master. Dengan demikian, muncullah pihak yang mau ditipu orang dan mau ditipu diri sendiri.

Fenomena ini sudah berlangsung lama. Sejauh ini, adakah upaya sebelumnya yang dilakukan sejumlah pihak untuk menghadapi ini?

Berbagai upaya sudah dilakukan agar ijazah tidak dipalsukan. Misal, satu institusi membuat teknologi agar ijazahnya sulit ditiru, tapi kan pada akhirnya orang melamar difotokopi atau di-scan. Sehingga, cara yang menurut kami paling efektif adalah dengan nomor atau kode. Karena nomor ini mau kualitas kertasnya jelek atau bagus, ya sama saja. Akhirnya, yang menentukan bukan kualitas kertas, melainkan apakah ijazah ini diperoleh dengan cara benar atau tidak.

Saya beri contoh, untuk menjadi seorang sarjana, harus memenuhi 144 SKS. Normalnya delapan semester walaupun ada yang lebih cepat sedikit. Yang jadi pertanyaan kalau ada orang yang tidak pernah kuliah, kemudian tiba-tiba punya ijazah sarjana.

Harapan ke depan Anda atas fenomena ini?

Selain dari ini, kami punya harapan kepada pihak-pihak yang akan memekerjakan pegawainya dimohon uji sesuai dengan kompetensi yang diakui ijazah. Ini cara paling sederhana. Jadi, jangan hanya lihat dari kertasnya, tapi juga memberikan pemahaman ke masyarakat. Dengan begini, akan mengurangi feonema ijazah palsu. Tugas ini juga tidak mungkin dilakukan pemerintah saja, tapi masyarakat juga harus bekerja sama.

Mengapa di negara maju tidak begitu laku? Karena, memang pemahaman masyarakatnya. Di samping itu, instansi yang mau menerima pegawai selalu menguji dulu. Mereka tidak ingin hanya percaya dengan ijazah karena yang lebih penting itu kompetensinya.    ed: Muhammad Hafil

'Menjadi Atlet adalah Hal yang Luar Biasa'

Sebelum memperoleh kepercayaan sebagai direktur jenderal pembelajaran dan kemahasiswaan (dirjen belmawa) di Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Intan Ahmad merupakan atlet karate. Kecintaannya terhadap bela diri dari Jepang ini telah didalaminya semenjak duduk di kelas enam sekolah dasar (SD).

"Sebenarnya, saya kalau latihan karate itu sudah lama benar. Sejak duduk kelas enam SD, cuma belum masuk klub waktu itu," kata pria kelahiran Bandung pada 1958 ini. Latihan pertamanya dilakukan bersama pamannya yang ketika itu berprofesi sebagai prajurit di Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD). Meski masih ban putih, bimbingan dan latihan yang diberikan sang paman mampu membuka pemahamannya tentang karate.

Dosen tetap Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mulai meyakinkan dirinya masuk klub karate saat di SMP. Dimulai pada masa inilah, keseriusannya terhadap karate semakin kuat. Latihan-latihan digelutinya hingga dia mendapatkan ban hitam setelah enam tahun kemudian.

Sebagai bukti keseriusannya, Intan tidak hanya latihan. Ia membuktikan dirinya untuk mengikuti sejumlah kejuaraan hingga tingkat nasional. Pada 1981, lulusan University of Illinois at Urbana Champaign, Illinois, Amerika Serikat, ini mampu memperoleh medali emas pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XI mewakili Jawa Barat. Tidak hanya berhenti di situ, dia pun melanjutkan torehan prestasinya kembali di PON berikutnya dengan menyabet medali perak.

Dari karate, Intan memperoleh banyak pelajaran bagaimana melatih mentalnya. Seperti halnya ketika ia hendak mengikuti pertandingan pada masa awalnya sebagai atlet. "Dulu, pada waktu saya awal-awal masih menjadi atlet, itu kalau mau pertandingan besok, suka susah tidur. Saya selalu berpikir bagaimana caranya melawan kalau dengan teknik begini dan begini. Tapi, belakangan, saya mulai berpikir, kan saya sudah latihan. Jadi, bagaimana besok dan bagaimana di lapangan saja," kenangnya. Dengan demikian, pikirannya pun dapat kembali tenang tanpa beban apa pun.

Menurut Intan, esensi dari karate itu menunjukkan ukuran tubuh itu tidak masalah selama bisa manfaatkan teknik dengan baik. Sebab, karate bukan tentang bagaimana cara berkelahi, melainkan hanya sebuah pertandingan. Dengan pengalamannya sebagai atlet karate, dia menemukan makna bahwa selama menganggap sesuatu dengan mudah, segalanya akan bisa dilakukan.

Ia juga paham terdapat masa ketika ia harus serius sebagai atlet maupun studinya. "Menjadi atlet adalah hal yang luar biasa," kata Intan. Namun, di samping itu, perlu ingat adanya batasan waktu usia. Dia dan siapa pun atlet di Indonesia harus juga memikirkan masa depan dalam hal ini.

Meski sudah tidak aktif sebagai atlet karate, keterlibatan Intan tidak pernah hilang. Beberapa tahun lalu, dia pernah mendampingi atlet sekolah menengah atas (SMA) untuk berpartisipasi kejuaraan karate di Italia. "Dan, alhamdulillah menang," jelasnya.    rep: Wilda Fizriyani, ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement