Rabu 18 May 2016 16:00 WIB

Laksamana Madya Arie Soedewo, Kepala Bakamla: Mendukung Program Poros Maritim Dunia

Red:

Program pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla salah satunya adalah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Bagaimana peran Badan Keamanan Laut (Bakamla) selaku Indonesia coast guard mendukung program itu? Berikut wawancara wartawan Republika, Erik Purnama Putra, dengan Kepala Bakamla Laksamana Madya (Laksdya) Arie Soedewo.

Anda tahu alasan mengapa dipercaya Presiden Jokowi memimpin Bakamla?

Saya tak tahu (mengapa dilantik). Jadi, begini. Keberadaan Bakamla itu merupakan transformasi dari keinginan pemerintah mendukung dalam visinya menjadi poros maritim dunia. Poros maritim dunia merupakan cermin dari segala aktivitas maritim yang terjadi di Indonesia agar menjadi pusat perhatian, salah satunya menyejahterakan bangsa Indonesia melalui sumber  daya di laut. Dunia internasional mengakui itu butuh keamanan.

Keberadaan Bakamla sendiri merupakan transformasi hukum negara menjadi hukum publik. Kalau selama ini yang hadir lebih banyak unsur militer, yaitu TNI Angkatan Laut (AL). Itu boleh-boleh saja, AL juga punya kewenangan sesuai undang-undang. Tapi, kan tetap AL itu militer. Sedangkan, bagaimana menangani hukum publik? Dibentuklah Bakorkamla karena sifatnya koordinasi dengan segala macam, gampang diucapkan, sulit dilaksanakan. Akhirnya, coba dibentuk institusi yang mandiri, Bakamla (Desember 2014).

Apa program Anda untuk mendukung poros maritim dunia?

Bakamla ini butuh pemahaman, wawasan, dan  dukungan. Bahwa aktivitas maritim di Indonesia itu aman. Bisa memberikan dampak sejahtera bagi bangsa Indonesia. Karena Bakamla itu new baby, dengan istilah baru, nomenklatur baru, dan tugas baru ini harus dilakukan penataan internal dan hasil yang didapat harus siginifikan.

Saya ditunjuk, berpengalaman atau tidak, nanti itu bergantung dengan hasil. Ketika saya ditunjuk (memimpin Bakamla), berarti saya harus melaksanakan visi pemerintah. Terus, menunjukkan kinerja yang menghasilkan efek keamanan di laut. Tapi, saya kan melihat legal formal karena masih baru, banyak yang ditata. Sehingga, outcome-nya memberi dampak keamanan di laut. Meski begitu, berubah menjadi Bakamla dari Bakorkamla tetap tidak menghilangkan unsur koordinasi dengan stakeholder yang sudah duluan bermain di laut.

Apa kendala yang dihadapi Bakamla dalam menegakkan hukum di laut?

Bakamla ini new baby yang punya tanggung jawab besar. Kewenangan saat ini yang ada di Undang-Undang 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan Perpres 178 Tahun 2014 tentang Bakamla maka ketika saya punya kewenangan, saya butuh alat. Apakah negara dalam satu tahun ini, misalnya, bisa menyediakan Bakamla 100 kapal? Kan gak mungkin. Makanya, sinergitas dan koordinasi tetap kita jaga dan harus dilaksanakan. Sering koordinasi dengan stakeholder akan terjadi dengan sendirinya.

Jadi, dalam koordinasi, kita adakan lobi-lobi ke stakeholder yang ada. Karena perintah presiden itu, kita disuruh bikin terobosan dan menurunkan angka penyelundupan karena banyaknya 'pelabuhan tikus' di Indonesia. Kita ini kan multidoors negara kepulauan, bukan hanya pelabuhan langsung ke darat. Menangani ini merupakan tantangan yang multikompleks. Kita punya undang-undang, tapi masih terbentur tataran kewenangan. Terus, alat tak ada, personel belum siap. Kalau itu semua tak kita tangani bersama, ya tak bakal bisa. Kita perlu hadir (di laut).

Berapa jumlah kapal yang dimiliki Bakamla?

Ketika saya datang, semua (pengadaan kapal) sudah berjalan, saya tinggal melanjutkan program yang sudah dibuat pendahulu saya. Salah satu kapal yang sedang dibuat di Batam mungkin selesai pada pertengahan 2017. Panjangnya 110 meter. Paling besar setingkat freegat kalau di Angkatan Laut. Nanti awalnya ditaruh di Zona Tengah dulu lah. Pertimbangannya, laut lebih dalam dan memungkinkan jangkauannya. Saat ini, kita baru punya enam kapal patroli dengan panjang 48 meter yang dapat bergerak cepat.

Yang kita butuhkan itu sebenarnya (kapal) 80 sampai 110 meter, kita antisipasi nanti kalau (Bakamla) diberi kewenangan penyidikan. Di situ kapal ada laboratorium mini. Misal, ada kapal pencemar lingkungan dan merusak ekosistem, kapal Bakamla itu multifungsi, harus dilengkapi ruang interogasi dan laboratorium. Misal, kita mau tangkap narkotika semua yang bermain di laut harus tahu, jangan sampai nanti yang ditangkap isinya pasir. Kewenangan itu berjalan kala kita mampu, mampu itu harus didukung dengan alat.

Personel Bakamla juga harus tahu UU Narkoba, juga harus tahu jenis-jenis narkoba. Di laut tak ada orang, menangkap kasus tindak pidana narkoba. Apa buktinya? Kita punya laboratorium mini dalam kapal. Kita kan multiagen, semua ada di sini. Kemampuan yang sudah dibawa dan didukung alat yang dioperasikan di kapal itu bisa membuat kita memeriksa perkara hukum pidana publik. Sekarang ini pada pinter nyamar-nyamar.

Berapa kebutuhan kapal ideal Bakamla?

Kalau menurut tataran idealis, ya banyak. Kita hitung berapa luas perairan dan kebutuhan kapal besar. Mengapa begitu?  Saat ini, kita baru punya enam kapal ukuran 48 meter dari tiga zona yang tergelar. Katakanlah sekarang dapat 300 kapal, saya juga bingung mau ditaruh di mana itu? Nanti ada pelabuhan yang dibuat Menteri Perhubungan disinggahi kapal Bakamla, perekonomian gak maju donk. Di situlah dibutuhkan kemampuan yang saya terjemahkan itu sinergitas Bakamla dengan stakeholder lain.

Apa antisipasi agar kasus pelanggaran hukum di laut dapat ditekan?

Sekarang itu sedang pelan-pelan kita bangun surveillance system, sistem pengawasan maritim Indonesia. Nah, walaupun terbatas saat ini, kita sudah bisa mendeteksi dan mencurigai kapal-kapal yang diperkirakan (melakukan kejahatan). Terakhir, kita bisa menginformasikan ke Angkatan Laut, kapal yang menjadi target operasi Bakamla, yaitu MV Hai Soon 12. Kapal berbendera Singapura itu dirompak di perairan Tanjung Puting, Kalimantan Selatan, masuk perairan kita, kita infokan karena yang terdekat dan sedang gelar operasi itu, Angkatan Laut, dan itu ditangkap.  

Dari ketiadaan anggaran, yang bisa saya buat sekarang memperkuat surveillence system, pemantauan perairan  Indonesia. Jadi, datanya saya infokan kepada stakeholder yang berwenang. Misal, polisi sedang patroli, kita infokan di situ ada kapal yang dicurigai. Bentuk kecurigaan itu kita dapat target operasi, ketika kapal itu mematikan automatic identification system (AIS), kita memadukan laporan dan radar kita main, kita telusuri perjalanan kapalnya. Misalnya, ketika AIS dihidupkan lagi dan ada kapal-kapal mendekat, nah ini diduga ada transaksi gelap di laut. Di situ unsur mana yang sedang beroperasi? Ya kita infokan, entah itu ke TNI AL, polisi, bahkan Bea Cukai yang punya kapal. Kita pantau semua.

Apa jenis kejahatan di laut yang menjadi prioritas Bakamla?

Segala illegal acitivity di luat, bukan hanya pencurian ikan. Ikan sudah ada bidangnya (KKP), tapi bukan berarti kejahatan ikan lewat dari pantauan kita. Illegal loging, mining, migran, semua tindakan ilegal di laut kita pantau. Ranah kerja Bakamla ada di wilayah security, safety, dan enviromental. Pencemaran laut yang kita-kira bahaya bagi ekosistem ke depan, ya itu bidang kita, tinggal mampu atau tidak (menindaknya).

Misal, seperti kasus kemarin, muncul kapal pengangkut limbah nuklir yang diperkirakan melewati perairan Indonesia. Itu kita dapat informasi dari luar. Kita monitor, kan ada aparat penegak hukumnya sendiri lingkungan hidup. Kalau Bakamla punya kewenangan, kita bisa bidik itu juga. Jadi, sambil jalan kita bikin grand design. Tapi, siapa yang melihat duluan, entah itu berupa informasi atau langsung aksi di lapangan, itu semua ranah kerjanya Bakamla.

Apakah pembentukan Satgas Pemberantasan Illegal Fishing KKP tidak tumpang tindih dengan kerja bersama Bakamla?

Tidak bersinggungan. Laut kita kan luas. Jadi, KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) itu dengan satgasnya, saya anggap positif karena mengisi ruang kosong ketika meningkatkan aspek kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi di bidangnya. Ketika ini berkaitan dengan keamanan, kok semua terbatas undang-undang? Maka, dibikinlah satgas dari multiagen untuk menangani masalah krusial, illegal fishing, misalnya. Yang punya kewenangan dikumpulkan, jadilah satgas, termasuk Bakamla di dalamnya.

Jadi, satgas ini mengisi ruang kosong. Contoh, kalau di jalan tol kendaraan tak boleh di sebelah kanan, tapi ada truk di sebelah kanan, polisi tidak ada, jadi sebagai pengguna jalan, hanya bisa grundel thok. Nah, siapa yang punya kewenangan kalau saat itu tidak ada yang hadir? Kan orang yang berani agar menyuruh truk tidak ke kanan. Saat ini, satgas seperti itu. Begitu satgas dibuat, baru kita memanfaatkan, bukan berarti sipil memerintah militer. Tapi, ini demi kepentingan negara untuk meningkatkan kesejahteraan di laut dalam bidang perikanan. Jadi, pandangan saya itu, satgas mengisi ruang kosong dalam konteks ketiadaan ketika dikumpulkan dan hasilnya signifikan atau berhasil, kan masyarakat juga yang mendapat untung dari situ.

Sempat ramai kasus kapal KKP melawan kapal coast guard Cina di Laut Natuna. Pandangan Anda?

Based on peristiwa itu, kita mulai sharing, kita mulai bentuk hubungan (dengan coast guard Cina). Baru sekali pertemuan kemarin dari delegasi Cina datang ke kita dalam konteks trust building. Bakamla punya data, mereka kasih tawaran sebatas teknis. Saya bilang butuh sharing informasi saja. Kita jalin kerja sama hubungan internasional dengan  leading sector-nya Kementerian Luar Negeri. Kita bicarakan dalam konteks hubungan baik, antarnegara ya kita terima delegasi Cina ke sini. Namun, ketika menyangkut prinsip-prinsip kedaulatan kan ada yang bisa lebih memutuskan.  

Ada usulan status Bakamla ditingkatkan setara kementerian agar dalam menjalankan penindakan hukum di laut menjadi lebih mudah?

Semua hak yang harusnya Bakamla terima, itu yang memperjuangkan bukan Bakamla, melainkan lebih kepada masyarakat yang menginginkan. Itu bisa terjadi kalau kita bisa menunjukkan hasil. Tunjukkan hasil dulu, kerja dulu, baru layak kepadanya diberikan kedudukan seperti ini. Jangan dibalik. Belum-belum gue harusnya begini-begini, tapi kerjanya apa? Kita bermain dalam ranah moral dululah. Oke apa yang saya terima, itu yang saya kerjakan, dan di situ masyarakat yang menilai. Karena ini tidak tanggung-tanggung Presiden yang melantik (saya), berarti lambang dan kepercayaan negara alat pemerintah sebuah tugas yang dibebankan kepada Bakamla.   ed: Andri Saubani

***

Bermula dari Keinginan Mengelilingi Indonesia

Laksyda Arie Soedewo tidak menyangka bisa meraih pangkat bintang tiga di pundaknya. Alumnus Akademi Angkatan Laut (AAL) angkatan 1983 ini sebenarnya tidak pernah menargetkan bisa meraih posisi setinggi itu. Menurut dia, kariernya di militer itu dijalaninya seperti aliran air yang mengalir saja.

Dia pun merasa biasa saja ditempatkan di manapun. Meski begitu, ia tidak memungkiri pencapaiannya itu tetap patut disyukuri. Itu lantaran tidak banyak orang yang bisa menggapai posisi seperti yang direngkuhnya.

"Ini sebuah karunia, ambisi boleh, gantunglah cita-cita setinggi langit, tapi harus realistis. Karena saya bilang, saya masih percaya baik itu penilaian orang lain, bukan baik apa kata saya," kata Arie kepada Republika di kantornya, belum lama ini.

Mantan asisten operasi KSAL ini menjelaskan alasannya memilih masuk AAL. Pada awalnya, ia ingin mengikuti jejak kakaknya yang sukses masuk Akabri angkatan 1981. Namun, kalau memaksakan mendaftar Angkatan Darat, ia takut di bawah bayang-bayang kakaknya yang pensiun dengan pangkat mayor jenderal.

Meski begitu, ia sempat diremehkan anggota keluarganya bakal sulit lolos masuk AAL karena perawakannya yang sulit serius. "Karena kakak saya sudah masuk Angkatan Darat, saya tidak mau mengikuti kakak. Ketika saya disuruh memilih, saya pilih AL saja. Supaya tak di bawah bayang-bayang kakak kan begitu," ujar Arie, kelahiran Banjar, Jawa Barat, 1 Mei 1960, ini.

Dia pun akhirnya senang keinginannya terkabul. Tekad dan semangat yang kuat mengantarnya mengikuti pendidikan kadet Korps Pelaut. "Itulah motivasi saya menjadi AL. Karena saya lahir di Jawa Barat dan besar di Jakarta, ya saya minimal ingin keliling Indonesia. Nah sarana gratis itu masuk AL," kata Arie.

Berbagai jenjang jabatan pernah diembannya, mulai bawah ketika menjadi asisten perwira, perwira, dan komandan kapal perang (KRI), hingga komandan Gugus Tempur Laut Komando Armada Timur. Ketika menjadi pimpinan, ia dikenal orang sebagai komandan yang memiliki karakter keras. Arie menjelaskan, karakter itu diterapkannya demi kebaikan anak buahnya. Karena itu, meski ditempatkan di berbagai jabatan, ia tetap melekat dengan karakter yang sudah menjadi prinsip hidupnya.

"Mungkin sebagian orang menganggap saya keras kepala, segala macam. Tapi, saya kan menggunakan mata, telinga, dan hati saya. Mengapa saya keras, dari dulu saya memang keras, setidaknya saya melihat ada tataran norma yang harus saya jalankan, situasi yang harus bagaimana memadukannya," kata mantan koordinator staf ahli KSAL ini.

Dengan latar belakang seperti itu, ia ingin membawa Bakamla menjadi institusi yang bisa berkontribusi banyak dalam menjaga keamanan laut. Itu lantaran kalau keamanan laut dapat dijaga, ia yakin hal itu berdampak pada pertumbuhan ekonomi bangsa dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Karena itu, ia berupaya untuk meningkatkan sinergitas dengan pemangku kepentingan terkait, seperti TNI AL, KKP, Direktorat Polisi Air, Direktorat Bea Cukai, dan institusi yang punya otoritas di laut.

"Bakamla ini komponen pendukung TNI dalam konteks pertahanan, komponen kamtibas di laut dalam konteks tugas-tugas  polisi. Kepanjangan tangan semua. Ada beberapa undang-undang kewenangan bersama di laut itu bukan berarti tumpang tindih, tapi bersinergi," ujar Arie.    Oleh Erik Purnama Putra, ed: Andri Saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement