Rabu 11 May 2016 14:00 WIB

Fachmi Idris, Direktur Utama BPJS Kesehatan: Menuju Jaminan Kesehatan Semesta

Red:

 

Republika/ Wihdan              

 

 

 

 

 

 

 

 

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 mengamanatkan terbentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang bekerja dengan prinsip gotong royong, nirlaba, dan transparansi. Sumber dananya mengandalkan iuran sesama warga. Artinya, rakyat Indonesia yang sehat menyubsidi rakyat Indonesia yang kebetulan sakit.

 

Sesuai visi jaminan kesehatan semesta (universal health coverage), paling lambat pada 1 Januari 2019, seluruh penduduk Indonesia terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Namun, sejumlah kritik dan tantangan masih mengadang.

 

Bagaimana upaya badan tersebut untuk mewujudkan visinya? Dalam kunjungannya ke kantor harian Republika, bulan lalu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menjelaskan paparan. Berikut petikan wawancaranya bersama wartawan Republika, Hasanul Rizqa.

 

Kinerja BPJS Kesehatan masih diwarnai sejumlah masalah. Bagaimana menurut Anda?

Betapa masyarakat merasakan manfaat yang luar biasa. Namun, pasti kami akui bahwa ada hal-hal yang harus diperbaiki. Improvement itu suatu keniscayaan, saya kira di lembaga manapun.

 

Tapi, kalau kita melihat, dengan ini (BPJS Kesehatan), ada kontribusi yang sangat besar, yakni menjaga masyarakat agar tetap produktif, baik secara sosial maupun ekonomi. Untuk melihatnya, tingkat pemanfaatannya itu kami kelompokkan.

 

Pada fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama, seperti puskesmas, praktik dokter perorangan, atau klinik pratama, itu ada 100,6 juta pemanfaatan. Artinya, selama tahun lalu, ada sekian juta kunjungan peserta (BPJS Kesehatan) di faskes itu.

 

Kemudian, kalau di rumah sakit, kan setelah pasien datang ke faskes tingkat pertama, bila (penyakit) pasien tak bisa diatasi di situ maka ke poliklinik. Itu ada 39,8 juta pemanfaatan. Kemudian, rawat inap, ada 6,3 juta pemanfaatan.

 

Total pemanfaatan dari peserta pada 2015 yang audited, ada 146,7 juta. Itu dengan total peserta pada 2015 (sebanyak) 156,79 juta. Kalau dibandingkan tahun sebelumnya (2014), 92,3 juta pemanfaatan. Artinya, peningkatan utilisasi lebih tinggi, tapi itu juga karena jumlah peserta bertambah.

 

Nah, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), program yang dijalankan BPJS ini juga ada kontribusi dari sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ini Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) menganalisis sendiri pada 2014. Di industri kesehatan, terserap kontribusi Rp 4,4 triliun. Obat-obatan, Rp 1,7 triliun. Lapangan pekerjaan bidang kesehatan, Rp 4,2 triliun. Konstruksi rumah sakit karena ternyata banyak rumah sakit yang membangun ruangan baru, tempat tidur baru, itu Rp 8,36 triliun.

Jadi, efek ini pun, menurut kami, perlu disampaikan. Sehingga, tak menganggap bahwa perbaikan kualitas hidup (peserta BPJS) sebagai charity program. Ini program yang memberikan efek pada pertumbuhan ekonomi, di samping masyarakat sehat.

 

Pemerintah kan selalu ngomong, terlalu banyak uang pemerintah dihambur-hamburkan. Padahal, manfaat produktivitas ada, (JKN) meningkatkan produktivitas tenaga kerja hingga Rp 70 ribu per jam. Ada manfaat secara ekonomi. Jadi, betapa masyarakat merasakan sekali manfaat program ini (BPJS Kesehatan). Tentu secara kualitatif, kita benahi terus pelayanannya.

 

Tetapi, tidak sedikit peserta yang mengeluhkan kualitas pelayanan?

Nah, ini kepesertaan, sampai hari ini, kita sudah ada 165.749.580 peserta. Itu sejak Januari 2014, BPJS Kesehatan peralihan dari Askes dan Jamkesmas. Sebenarnya, harapan masyarakat itu simpel meski espektasinya juga tinggi. Dengan adanya BPJS, yang tadinya sakit, semua bisa berobat. Sehingga, booming pengobatan. Euforia masyarakat tinggi.

 

Memang indikator mutu kualitatif, menurut masyarakat, sederhana. Yakni, enggak antre. Dan, kemudian, kamar (rawat inap) enggak penuh. Kami pernah survei (kepuasan) yang dilakukan pihak ketiga. Kalau (peserta) mesti dirawat inap, begitu mendengar kamar penuh, dia langsung down semua.

Ini sistem yang memang harus terus kita benahi. Soal antre, kadang-kadang di rumah sakit itu antre atau penuh karena levelnya (penyakit yang dikeluhkan peserta) bukan untuk rumah sakit itu. Artinya, hanya perlu (ditangani) di rumah sakit yang lebih dekat. Tapi, faktanya kan menumpuk sekali pasien (yang pergi ke rumah sakit). Di situlah menimbulkan antrean.

 

Kita sudah punya analisis kebutuhan antara jumlah peserta dan rumah sakit. Kalau sistem rujukan ini jalan, akan kelihatan sebetulnya analisis kebutuhannya. Bahwa sebenarnya dengan jumlah peserta sekian, kebutuhan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) itu sekian, kebutuhan rumah sakit tipe C itu sekian, tipe B sekian. Tentu, itu sistem piramid (rujukan) yang harus kita bangun.

 

Jadi, bukan bahwa kita tidak ingin BPJS sebanyak mungkin dengan tiap rumah sakit. Tapi, kita ingin sistem rujukan ini juga berjalan. Memang ada (sistem) rujuk balik. Seperti, kasus diabetes dan hipertensi. Sebetulnya, di seluruh negara, ini bisa rujuk balik ke dokter layanan primer. Karena, kan hanya menyambung obat. Tiga bulan sekali, baru ke rumah sakit.

 

Sering rumah sakit penuh lantaran orang, misalnya, kontrol diabetes setiap minggu, (kontrol) hipertensi, dan lain-lain penyakit yang sebenarnya bisa rujuk balik.

 

Itu yang membuat poliklinik rumah sakit penuh (antrean). Ada beberapa rumah sakit sudah punya komitmen. Kalau seperti ini, buat apa? Maka, penyakit kronis stabil ini dikirim lagi ke layanan primer. Sekali lagi, kuncinya penguatan layanan primer.

 

Kalau soal rumah sakit, memang kita akan rasionalkan dengan jumlah peserta. Soal antre panjang juga, kami sudah bicara dengan regulator, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Karena, kami harus bekerja sama erat dengan Kementerian Kesehatan. Misalnya, kami usul agar antrean berdasarkan kelas perawatan.

 

Selama ini kan antre jadi satu. Kemenkes masih mempertimbangkan itu. Karena, kalau dari sisi publik, ya semua orang punya hak yang sama. Mau kelas I, kelas II, dan kelas III, kalau masuk rumah sakit, ya antre bareng. Tak ada "kasta". Tapi, kita sedang minta uji coba, ada line khusus kelas I, kelas II, dan kelas III dengan asumsi kan tadi iurannya berbeda.

 

Ini dijanjikan Bu Menteri (Nila Moeloek) tiga bulan ke depan. Kita ada rencana akan uji coba di rumah-rumah sakit besar. Mudah-mudahan ini bisa berjalan untuk memecah antrean.

 

Ada berapa faskes yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan hingga kini?

Jumlah faskes tumbuh cukup besar sejak awal program ini. Jadi, kalau dikatakan faskes tak berminat, nyatanya sangat banyak yang bergabung. Dari 1.847 rumah sakit yang bergabung, separuhnya adalah swasta. Kemudian, 672 rumah sakit daerah. Dan, sisanya, rumah sakit milik Kemenkes (pemerintah pusat) dan BUMN.

 

Kemudian, ada 19.969 faskes tingkat pertama. Dan, 2.813 faskes penunjang, termasuk apotek, optik, dan lain-lain. Soal rasio distribusi terhadap jumlah peserta, diharapkan menuju rasio satu banding 5.000 untuk entitas pelayanan. Kita masih ada puskesmas yang melayaninya bisa sampai rata-rata 30 ribu (peserta BPJS Kesehatan). Itu terlalu banyak. Kita ingin satu entitas itu 5.000 peserta, kecuali kalau kemampuan (faskes) cukup.

 

Seberapa penting sistem rujukan ini?

Kita juga terus sambil mengedukasi masyarakat. Karena, kalau kita membangun sistem yang tak mengharuskan masyarakat untuk ke rumah sakit, kita harapkan selesai dulu (penanganan medis) di faskes tingkat pertama. Tentu, sistem ini terus kita benahi sehingga upaya promotif preventif yang kuat.

 

Isu defisit tampaknya kerap membayangi BPJS Kesehatan. Apa itu berdampak pada pelayanan?

 Terkait isu defisit, begini. Arus kas kami terakhir waktu audited pada akhir 2015, kami punya uang cash sebesar Rp 1,94 triliun. Jadi, kalau ada isu (BPJS Kesehatan) enggak ada uang, salah juga.

 

Dengan iuran rata-rata yang sekarang sebenarnya belum mendekati yang ideal. Jujur saja kami sampaikan, mengapa sering muncul berita tentang defisit? Karena, antara iuran dan pengeluaran itu tidak imbang. Kalau kita hitung dengan aktuaria, itu memang belum pas.

Jadi, pada 2012, saat program ini mulai jalan, saya waktu itu masih di DJSN yang memang bertugas menghitung iuran (yang ideal). Itu angkanya pada 2012, bottom line untuk penerima bantuan iuran semestinya Rp 27.500.

 

Tapi, karena waktu itu mau mulai, evidence based dianggap tidak cukup, kemudian memakai pendekatan lain. Fiskal waktu itu juga tak memungkinkan. Sehingga, bottom line itu menggunakan angka Rp 19.225.

 

Tahun lalu, dihitung lagi oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), kan tiap dua tahun dihitung ulang. Itu Rp 36 ribu iuran. Tapi, pemerintah menyesuaikan Rp 23 ribu. Idealnya, Rp 36 ribu, minimalnya. Tapi, pemerintah kemudian menetapkan kemampuan biayanya Rp 23 ribu. Tapi, posisi kas kami per akhir tahun (2015) surplus.

 

Mengapa terdengar kemudian defisitnya besar? Karena, memang kita harus mengalokasikan secara pembukuan, dana cadangan. Harus masuk itu. Karena, bisnis asuransi ini kan harus ada dana cadangan. Kalau kita bicara arus cash, ini aman.

 

Dana cadangan ini, menurut pemerintah, pemerintah menjamin (adanya dana cadangan). Cadangan itu dihitung enam bulan dari jumlah peserta 0,01 persen dari iuran dan jumlah peserta. Jadi, cadangan sekitar Rp 6 triliun.

 

 Setelah ini, miss match antara iuran (kepesertaan BPJS Kesehatan) dan pengeluaran, kemudian ditutup dengan hasil investasi. Artinya, investasi yang kami kerjakan ini menyumbang program, dana badan yang dimiliki, sekitar Rp 1,07 triliun, tahun lalu.

 

Jadi, semua hasil investasi yang teman-teman (BPJS Kesehatan) kerja keras itu kita kontribusikan untuk program. Kemudian, di luar itu, ada Rp 5 triliun suntikan atau alokasi dana. Sehingga, keluarlah angka Rp 1,94 triliun (surplus akhir 2015). Ini beda pandang akuntansi.

 

Karena, pendapatan itu bukan semata-mata iuran. Ada hasil investasi dan ada komitmen pemerintah memberikan alokasi dana tambahan. Total pendapatan kita itu Rp 52 triliun. Artinya, kira-kira 30 persen tambah dari APBN.

 

Kalau tambahan kan belakang. Kalau dari depan sudah di-inject, sebetulnya sama dengan menaikkan iuran rata-rata PBI. Kalau kita hanya melihat iuran dan pengeluaran, ya ketemunya miss match. Sampai kapan pun miss match kalau tak segera menyesuaikan dengan angka ideal. Jadi, pemerintah mengalokasikan untuk PBI, tahun lalu Rp 19,9 triliun.

 

Bagaimana dengan rumah-rumah sakit yang mengeluhkan lambatnya pembayaran klaim?

Prinsipnya, klaim ini merupakan konsen kami. Memang, ada isu bahwa kami telat bayar. Seperti kemarin di Padang, Sumatra Barat. Ketika presiden berkunjung dan tanya ke pihak rumah sakitnya, manajemen menyatakan, Pak, kami belum dibayar.

Saya langsung telepon (BPJS Kesehatan Padang). Ya memang berkas klaimnya belum lengkap. Kalau lengkap pun, kami harus cek lagi. Apakah yang ditagihkan sesuai. Karena, bagaimanapun, ini uang negara. Kita harus hati-hati. Begitu verified, itu dalam 14 hari harus kita membayar. Karena, kalau lewat (dari 14 hari), kami kena denda.

 

Perpres Nomor 19/2016 sempat menyedot perhatian publik. Bagaimana menurut Anda?

Kemarin, yang ramai-ramai, (mengenai) perubahan (iuran) kelas III dari Rp 25.500 ke Rp 30 ribu. Padahal, kalau kita hitung, semestinya (iuran kelas III) ini Rp 36 ribu. Kalau kelas II, penyesuaiannya bukan Rp 51 ribu. Hitungan aktuaria yang benar, sebenarnya (untuk kelas II) sebesar Rp 60 ribu. Jadi, ini pun sebenarnya kita belum mencapai angka yang ideal. Kecuali, untuk yang kelas I.

 

DPR juga sempat mengundang kami. Tentu kami sebagai penyelenggara menunggu keputusan tertinggi regulator. Tapi, akhirnya, presiden ambil keputusan, tak jadi naik. Karena, dengan asumsi, kelas III itu masih banyak merupakan orang tak mampu. Ya per 1 April lalu, tidak naik. Jadi, tetap Rp 25.500 (untuk kelas III).

 

Sesungguhnya, yang berubah hanya di peserta mandiri. Dan, itu jumlahnya 10 persen dari total peserta kita. Totalnya kan Rp 165 juta. Mereka inilah yang diharapkan berkontribusi membangun sistem ini (BPJS Kesehatan). Mereka yang sehat bergabung. Kalau yang tak mampu (secara ekonomi), tentu masuk skema penerima bantuan iuran (PBI).

BPJS Kesehatan diamanatkan agar pada 1 Januari 2019, kepesertaannya mencakup seluruh penduduk Indonesia. Anda yakin itu bisa dicapai?

Tentu kita berharap, pada 1 Januari 2019, seluruh masyarakat sudah menjadi peserta (BPJS). Dengan catatan, program ini sustain dengan besaran iuran yang ideal sebagaimana (perhitungan) evidence based. Dua tahun ini, sebenarnya sudah ketemu angka yang pas.

 

Untuk tahapan peningkatan kepesertaan, tidak mudah untuk "memaksa" badan usaha. Walaupun, perpresnya mengatur bahwa paling lambat 1 Januari 2015 seluruh BUMN itu ikut, seluruh usaha besar ikut. Tahun ini, targetnya seluruh usaha mikro (menjadi peserta BPJS).

 

Memang ada sanksi administratif. Kepatuhan yang mesti ditegakkan. Tapi, kami juga tidak bisa kemudian secara tiba-tiba, tanpa sosialisasi, memberi tahu.

 

Apa BPJS boleh mendirikan faskes tingkat pertama?

BPJS enggak boleh bikin faskes. Kalau boleh, kami ingin juga bangun klinik-klinik yang bagus. Kontrolnya lebih bagus,  tapi memang enggak boleh (secara aturan).

 

Kalau RS swasta, kami lebih kuat untuk memberikan sanksi. Ada laporan, kita peringatkan, atau kalau enggak, kita putus kontrak. Yang paling berat kita, mohon maaf, dengan RS pemerintah sendiri.

 

Kalau swasta, apalagi kalau di tempat itu banyak alternatif rumah sakit. Di sana, rumah sakit berlomba-lomba ingin jadi provider. Mereka dapat kepastian biaya. Surplusnya banyak. Sehingga, manajemennya mengatur dengan baik.  ed: Andri Saubani

***

Perlu Sinergi Lintas Sektor

Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS Kesehatan merupakan badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada presiden dan bertugas menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Menurut Direktur Hukum Komunikasi dan Hubungan Antarlembaga BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi, masyarakat memiliki harapan yang begitu besar terhadap badan tersebut. Bahkan, sampai-sampai muncul asumsi yang tak sepenuhnya benar. Yaitu, hadirnya BPJS Kesehatan dianggap mampu mengurai seluruh persoalan rumit yang terjadi pada pelayanan kesehatan publik di Indonesia.

 

Padahal, lanjut Bayu, itu memerlukan sinergi lintas sektor. Dia menuturkan, BPJS Kesehatan mesti menjaga komunikasi dengan sejumlah pihak lantaran sama-sama berposisi di bawah presiden.

 

Pertama, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) selaku regulator nasional di bidang kesehatan. Kedua, semua pemerintah daerah (pemda) selaku penyedia fasilitas kesehatan (faskes) puskesmas dan rumah-rumah sakit daerah. Dia menilai, adanya otonomi daerah kian menguatkan posisi pemda di lapangan.

 

Ketiga, BPJS Kesehatan sendiri sebagai pengelola dana publik untuk jaminan sosial. Selain tiga pihak itu, dapat disertakan pula asosiasi profesi kedokteran dan asosiasi rumah sakit.

 

Bila sinergi satu sama lain semakin kuat, pelayanan kesehatan terhadap masyarakat cenderung meningkat. "Inilah momentum kita untuk move on. Tidak hanya di tataran kesehatan, tapi juga seluruh sektor. Kita harus berubah," ujar Bayu Wahyudi saat menyambangi kantor harian Republika bersama dengan dirut BPJS Kesehatan, beberapa waktu lalu.

 

BPJS Kesehatan merupakan peralihan dari PT Askes pada 2014. Dalam perjalanannya, badan itu tak sepi dari keluhan atau bahkan kekecewaan pesertanya. BPJS Kesehatan mengandalkan asas gotong royong sesama warga bangsa. Artinya, penduduk Indonesia yang sehat menyubsidi biaya pengobatan untuk penduduk Indonesia yang kebetulan sedang sakit.

 

Pertanyaan selanjutnya, mampukah perluasan cakupan kepesertaan ini beriringan dengan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan? Dalam menjawabnya, Bayu menyambut baik wacana perlunya wadah sinergi bagi semua pemangku kepentingan di bidang kesehatan. Tujuannya agar sinergi dalam skema gotong royong menghasilkan kebaikan bagi semua pihak, termasuk pasien, dokter, rumah sakit, apoteker, hingga pemerintah daerah dan pusat.   Oleh Hasanul Rizqa, ed: Andri Saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement