Ahad 24 Apr 2016 16:22 WIB

Bila Anak Bermusuhan, Orang Tua Harus Bagaimana?

Red: operator

Dalam permusuhan antaranak, peran orang tua adalah untuk memberi masukan kepada anak, bukan turun langsung menyelesaikan masalah. 

Munindra Rohjani (46 tahun), ayah dari lima orang anak, mengatakan, kelima anaknya mulai mengenal kata "bermusuhan" dengan teman ketika memasuki bangku sekolah dasar. Ia tak memungkiri jika putra bungsunya yang masih duduk di bangku kelas 3 SD juga telah mengenal istilah bermusuhan dengan teman.

Ketika anak bungsunya mulai mengenal konflik dengan teman, pria yang akrab disapa Indra ini lebih memilih untuk tidak langsung ikut campur dalam permusuhan anak-anak. Sebagai orang tua, pria yang aktif dalam kegiatan sosial ini lebih suka memberikan masukan dan membiarkan sang anak mengambil sendiri keputusan terbaik untuk masalah yang dihadapi.

"Tapi, yang pertama saya lakukan pasti tanya `mengapa' dulu. Misalnya, musuhannya karena apa, sebabnya apa," terang Indra, pengurus Yayasan Cinta Dhuafa, itu.

Setelah mengetahui inti permasalahan dari permusuhan yang dihadapi anaknya, Indra selalu memberikan satu petuah yang tertuang dalam kitab suci Alquran. Indra akan meminta anaknya untuk membuka sendiri kitab sucinya dan membaca surah Ali Imran ayat 133-134.

Dua ayat tersebut, lanjut Indra, memiliki inti bahwa salah satu ciri orang bertakwa yang dicintai oleh Allah ialah yang mampu menahan amarah dan memaafkan kesalah an orang lain. Dari situ, Indra akan meminta anaknya untuk merenungkan keputusan yang bijak, ingin menjadi orang yang di cintai Allah atau menjadi pemarah.

Indra melihat cara yang tidak menyudutkan dan tidak menggurui tersebut lebih efektif dalam meredam emosi anak. "Biasanya, langsung meltedanak-anak (setelah membaca ayat tersebut)," cerita Indra.

Masalah egosentris Psikolog Universitas Indonesia Dr Rose Mini Agoes Salim MPsi menuturkan bahwa di awal perkembangan anak ada yang di sebut keegosentrisan di masa segala sesuatu berkiblat pada sang anak. Ini yang membuat anak di usia lima sampai enam tahun terkadang akan membalas pukul jika ada teman yang memukulnya.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, wanita yang akrab disapa dengan Bunda Romi ini menuturkan bahwa anak- anak akan mulai menyadari bahwa ada orang lain dalam kehidupannya. Anak- anak mulai belajar untuk memikirkan orang lain dan mengenal tenggang rasa.

"Ada kalanya, anak-anak masih tetap memikirkan tentang dirinya. Orang dewasa juga ada yang seperti itu," jelas Rose Mini.

Permusuhan antaranak, lanjut Rose Mini, bisa terjadi karena banyak faktor.

Salah satunya ialah karena sang anak belum bisa menerima adanya perbedaan pendapat dengan orang lain. Kurangnya nilai empati yang ditanamkan pada anak ini bisa berujung pada ketidaksukaan anak pada perbedaaan atau ketidaksesuaian yang mungkin berujung pada permusuhan.

Gejala ini mulai dapat terlihat cukup jelas ketika anak-anak mulai duduk di bangku kelas 3 SD ke atas. Pada usia tersebut, lanjut Rose Mini, anak-anak sudah memiliki kecenderungan untuk ngegank. Ketika ada satu teman yang tidak sama dengan teman lainnya, si anak bisa saja merasa marah karena ia ingin si teman tersebut sama dengan dirinya dan teman-teman satu kelompoknya.

Di sisi lain, pola asuh juga memengaruhi bagaimana anak berinteraksi dengan teman-temannya. Anak yang sejak kecil dituruti semua keinginannya akan memakai pola tersebut dalam bersosialisasi dengan teman. Anak akan berpikir bahwa dalam pertemanan pun semua harus mengikuti dirinya, seperti yang terjadi di rumah. Kondisi ini juga akan memicu anak untuk bermusuhan jika teman-temanya tidak mengikuti sang anak. 

"Kalau tiba-tiba kejadian (tidak diikuti pendapatnya), bisa menimbulkan marah dan musuhan," terang Rose Mini.

Mendengarkan orang lain Dalam permusuhan antaranak, Rose Mini menilai peran orang tua dibutuhkan untuk memberi masukan kepada anak, bukan untuk turun langsung dalam menyelesaikan masalah. Orang tua, lanjut Rose Mini, perlu membimbing anak-anak untuk mendapatkan opsi mengenai apa yang bisa mereka lakukan untuk menyelesaikan konflik dengan temannya.

Di sisi lain, orang tua juga perlu menanamkan rasa empati pada anak. Salah satu cara yang dilakukan ialah dengan memberi pengertian agar anak mau mendengarkan orang lain dan memberi pengertian bahwa perbedaan bukan sebuah masalah.

Orang tua pun dapat melatih hubungan interpersonal anak agar menjadi le bih baik. Salah satu cara melatih hubungan inter personal ini dengan kegiatan mengantre. Mengantre akan mengajarkan anak bahwa ada kalanya sang anak harus memberi ke sempatan pada orang lain terlebih dahulu.

Rose Mini juga menjelaskan bahwa anak memiliki tingkat perkembangan kognitif yang masih terbatas. Oleh karena itu, tugas orang tua ialah membantu anak untuk bisa menggunakan kemampuannya berinteraksi dengan lebih baik. Alasannya, anak-anak cenderung melihat segala sesuatu dari satu sudut pandang. Untuk mengisi kekurangan ini, orang tua dapat membantu anak melihat satu masalah dari bebrbagai sudut pandang lain.

"Bantu dia (anak) berpikir bagaimana cara menyelesaikan masalahnya. Manusia itu kanharus diajarkan cara-caranya, bukan dikasih jawabannya," ujar Rose Mini.

Hindari jalan pintas Senada dengan Rose Mini, psikolog dari RaQQi Consulting, Ratih Zulhaqqi MPsi, juga menilai orang tua lebih baik tidak langsung ikut campur secara langsung dalam permusuhan anak-anak.

Orang tua perlu mendorong agar anak berani memaafkan teman yang salah atau meminta maaf ketika ia berbuat salah.

Sayangnya, tak jarang orang tua memilih `jalan pintas' untuk menyelesaikan permasalahan antaranak. Beberapa orang tua, lanjut Ratih, memiliki kecenderungan untuk marah jika anaknya `tersenggol'.

Padahal, respons marah yang ditunjukkan orang tua ini dapat mengajarkan anak bahwa cara menghadapi berbagai situasi ialah dengan marah. "Itu sebenarnya situasi yang agak cukup fatal," terang Ratih. 

Kesalahan lain yang juga tak jarang dilakukan orang tua ialah menyudutkan anak nya sendiri ketika anak mereka bermusuhan dengan teman. Lontaran kalimat seperti, "Ah, ini pasti kamu yang nakal,"

justru dapat membuat anak merasa tidak terbela. Padahal, bisa jadi dalam permusuhan tersebut anaknya merupakan korban.

Oleh karena itu, Ratih mendorong agar orang tua mau menggali lebih dalam mengenai permusuhan yang terjadi antara anak dan teman bermainnya. Ajak sang anak untuk berkomunikasi hingga mene mukan titik permasalahan dalam permu suhan sang anak. Dari situ, orang tua dapat menumbuhkan keberanian sang anak untuk meminta maaf jika ia salah atau memaafkan jika teman bermainnya yang melakukan kesalahan.

Menurut Ratih, konflik pertemanan pada anak tidak bisa dihindari sepenuhnya. Akan tetapi, kondisi ini bukan berarti harus mengajarkan anak untuk menghindari masalah. Sebaliknya, konflik yang dihadapi sang anak dapat menjadi media pembelajaran untuk menyelesaikan sendiri masalah yang mereka hadapi. 

"Yang paling penting adalah bukan menghindari pertengkarannya, tapi belajar untuk mengomunikasikan dengan baik.Selalu menghindari konflik enggaksehat juga kan," pesan dia.   Oleh Adysha C Ramadani, ed: Nina Chairani

 

 

Ayah Bunda, Ayo Kita Berkepala Dingin... 

 

Saat anak menghadapi konflik, menurut psikolog Ratih Zulhaqqi, para ayah dan bunda baiknya bersikap tenang. Berikut beberapa hal yang disarankannya:

Kapan ayah bunda boleh turun tangan langsung?

Bila sudah mencapai taraf yang membahayakan, misal, terjadi pemukulan pada anak. Perlu berbicara dengan pihak sekolah untuk menggali informasi lebih jauh. Orang tua harus menyikapinya dengan tenang dan membiarkan sekolah membantu anak-anak menyelesaikan masalah. Masalahnya, kebanyakan mereka mengambil jalan pintas, mendatangi anak yang memukul di sekolah. Orang tua harus ingat, pihak yang boleh menegur di lingkungan sekolah adalah guru.

Permusuhan tak sepenuhnya memiliki dampak negatif Ada beberapa pelajaran penting yang bisa dipetik anak dari permusuhan yang terjadi antara dirinya dan teman sepermainannya.

Melalui permusuhan, anak dapat belajar untuk bisa menjalin komunikasi yang baik agar konflik tidak berkepanjangan.

Agar bisa menyikapi permusuhan dengan bijak, orang tua juga dapat melakukan beberapa cara untuk melatih kontrol emosi anak.

Salah satu caranya ialah dengan memberikan contoh langsung dalam kehidupan sehari-hari. Ketika orang tua sedang marah, orang tua dapat mencontohkan bagaimana cara meredam emosi, seperti diam sejenak dan minum air putih atau menyendiri beberapa saat.

Bagaimana bila anak memiliki temper tantrum?

Orang tua perlu menyalurkan energi sang anak untuk kegiatan positif. Alasannya, anak dengan temper tantrummemiliki energi yang sangat besar.

Satu cara yang cukup efektif ialah melalui berolahraga. Selain menyerap energi sang anak untuk kegiatan positif, berolahraga juga dapat memperbaiki suasana hati sang anak. Alasannya, olahraga dapat memicu terproduksinya endorfin yang merupakan `cikal bakal' dari perasaan bahagia.

Pentingnya menanamkan nilai- nilai kehidupan Anak perlu memahami tiap konsekuensi yang mungkin ia dapatkan saat melakukan sesuatu.

Dari situ, anak akan terlatih utnuk memilih konsekuensi yang risikonya paling kecil ketika dihadapkan pada sebuah konflik pertemanan.

Perkenalkan juga konsep menghargai orang lain dengan contoh sederhana. Misalnya, ketika ada teman yang sedang berbicara di depan kelas, anak harus memperhatikan dan mendengarkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement