Rabu 20 Apr 2016 18:00 WIB

Kris Suyanto, Direktur Utama PT Katama Suryabumi: Mempromotori Inovasi Anak Negeri

Red:

Mengembangkan inovasi teknologi di Indonesia bukan perkara sederhana. Direktur Utama PT Katama Suryabumi Kris Suyanto yang juga pemegang hak paten Konstruksi Sarang Laba-Laba (KSLL) menilai, para inovator seharusnya tidak berdiri sendiri agar karyanya diakui. Kris yang sudah lebih dari 20 tahun menekuni KSLL mengakui perlu ada kerja sama dengan akademisi dan promotor untuk memudahkan pengembangan inovasi. Berikut wawancara Republika dengan Kris mengenai pengalamannya mengangkat inovasi agar bisa diterima di negeri sendiri.

Sudah berapa lama Anda menekuni bidang inovasi?

Sudah sejak kuliah di Surabaya. Tepatnya awal 1980-an. Saat kuliah, saya bekerja di perusahaan konsultan bangunan milik seorang insinyur asal Swedia. Lalu, saya bertemu dengan Ir Riyantori dan Ir Sutjipto, penemu KSLL.

Saya sangat tertarik karena inovasi ini buatan anak bangsa. Dari situ, saya mulai bekerja untuk keduanya. Sekitar 20 tahun saya bekerja menekuni teknologi ini. Karena visi misi tidak lagi sejalan, pada 2000-an awal saya putuskan keluar dari perusahaan.

Saya mulai berpikir, dari segi bisnis teknologi inovasi tidak bisa ditopang murni hanya dengan strategi bisnis. Untuk mendukung inovasi agar berkembang, perlu pendekatan dari inventor dan juga kalangan akademisi. Tujuannya supaya produk inovasi diyakini dan diterima masyarakat. Akhirnya, saya menawarkan diri menjadi promotor untuk KSLL.

Dalam pengembangan inovasi, apa tugas seorang promotor?

Menggandeng inovator dan kalangan bisnis untuk bersama-sama mengembangkan inovasi. Inovator yang terus mengembangkan temuan. Kalangan akademisi yang mengkaji, menguatkan dengan teori agar mendorong inovasi bisa diaplikasikan di masyarakat.

Saya sebut ketiganya ini tripartit. Kami bersinergi agar inovasi bisa memasyarakat.

Dengan tripartit, bagaimana hasil inovasi KSLL saat dihadadapkan pada kebutuhan publik?

Masyarakat lebih antusias menerima, lebih memercayai. Sebelumnya, selama 25 tahun bisnis KSLL, hanya satu sampai orang yang tahu.

Setelah 2003, kami kembangkan dengan metode tripartit tadi, kepercayaan menjadi naik drastis, hampir 25 kali lipat. Memang konstruksi yang kami kembangkan terbukti tahan gempa, teruji di Aceh dan Padang. Ditambah lagi, ada akademisi dari ITB, ITS, dan UNDIP yang ikut mendukung menguji dan mengkaji inovasi ini.

Jadi, bagaimana pemanfaatan KSLL saat ini?

Sudah meluas di Indonesia. Utamanya, untuk gedung bertingkat dengan ketinggian menengah (di bawah lima lantai). Pertama, karena tahan gempa, kedua, jauh lebih murah. Perbandingannya begini, untuk konstruksi lain menelan biaya mencapai Rp 2,1 triliun. Sementara, KSLL menghabiskan biaya jauh di bawah itu.

Kembali ke persoalan inovasi, menurut Anda bagaimana potensi dan kondisi pengembangannya di Indonesia?

Kalau bicara potensi, kita sangat potensial. Saya contohkan, Indonesia pernah menghasilkan konstruksi cakar ayam dan konstruksi sosrobahu pada era Orde Baru.

Setiap tahun pun selalu ada inovasi-inovasi dan penelitian baru. Sayangnya, yang seperti itu lalu masuk kotak. Sebab, hanya digunakan untuk syarat kenaikan pangkat.

Apa yang menjadi kendala inovasi di Indonesia?

Ada beberapa. Pertama, regulasi belum mendukung. Kedua, strategi yang ditempuh para inovator mungkin belum sesuai dengan kebijakan. Ketiga, sikap mental bangsa Indonesia yang malah lebih bangga menggunakan produk nonlokal. Berdasarkan catatan saya, baru ada satu sampai dua persen produk inovasi Indonesia dengan hak paten Indonesia yang juga dipakai oleh bangsa sendiri.

Boleh ditekankan kembali seperti apa semestinya strategi yang digunakan oleh para inovator agar inovasinya diterima publik?

Menurut hemat saya, menumbuhkan empati. Masyarakat kita belum terbiasa menerima jika ada 'orang hebat'. Kita perlu ada penguatan, membangun kepercayaan bahwa temuan kita aplikatif dan bermutu.

Bagaimana caranya? Jangan menyerukannya sendiri. Ajaklah pihak-pihak yang lebih memiliki tingkat kepercayaan di masyarakat, misalnya, akademisi. Yakinkan mereka agar mau membantu dengan kajian-kajian. Setelah itu, akan ada seminar-seminar. Dari situ pelan-pelan kepercayaan tumbuh. Inovasi akan mendapat jalan untuk diakui.

Bagaimana tanggapan pemerintah terhadap cara yang Anda tempuh?

Sejauh ini, tanggapan baik. Hak paten dan pendanaan penelitian mudah didapat. Tetapi, memang harus bekerja ekstra keras. Pengalaman selama puluhan tahun menekuni inovasi membuat saya berani menempuh jalan ini. Menurut saya, intinya menumbuhkan empati, membangun kepercayaan.

Tetapi, tidak semua orang mau menempuh jalan tripartit. Mengapa Anda akhirnya memilih strategi ini? 

Sederhana, saya punya cita-cita agar inovasi dalam negeri bisa dipandang, dimanfaatkan, dihargai oleh bangsa sendiri, dan juga bangsa lain. Kita harus punya inovasi unggulan.

Selama ini kan kita sulit menentukan inovasi unggulan kita apa. Kalau produk mungkin banyak. Dengan mengembangkan produk-produk unggulan, secara jangka panjang, kita pun membantu penyelamatan devisa negara.   c36, ed: Andri Saubani

***

'Jangan Menggergaji Besi yang Kuat'

Dalam menekuni inovasi, Kris Suyanto memilih membangun empati dengan berbagai pihak. Prinsip ini disebutnya dengan kalimat, "Jangan menggergaji besi yang kuat." Menurut bapak dua anak ini, pengembangan inovasi di Indonesia perlu lebih dari sekadar usaha dan ketekunan. Inovator harus mau melihat medan dan mengambil strategi agar temuannya bisa didukung dan terus dikembangkan.

"Saya melihat dari regulasi yang selama ini belum memihak kepada inovasi. Tetapi, apakah kita harus berhenti? Saya pilih mengambil strategi supaya inovasi kita diterima," jelas alumnus Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini.

Prinsip kedua yang dia lakukan adalah menjadi karat dalam besi yang kuat. Menurutnya, saat inovator belum punya kekuatan dan kepercayaan di masyarakat, ada baiknya mempertimbangkan kembali langkah-langkah untuk menekankan temuannya. 'Menjadi karat' yang dia maksud adalah menyusun kekuatan dan kepercayaan berbagai pihak terhadap inovasi.

Dua prinsip itu dia dapatkan setelah menekuni inovasi selama puluhan tahun. Kris yang sebelumnya pernah beberapa kali gagal dalam usaha ini memang sejak awal karier mantap menekuni inovasi KSLL. Dia menilai, inovasi ini memiliki keunggulan.

KSLL yang dibuat dengan perbandingan bahan baku 85 tanah dan 15 persen beton dipasang secara horizontal. Prinsip konstruksi ini fleksibel, yakni dapat menyesuaikan dengan goncangan dan tekanan. Bahan baku yang sebagian besar dari tanah juga membuat konstruksi ini menghabiskan biaya lebih murah. "Konstruksi seperti ini satu-satunya di dunia. Sudah terbukti tahan gempa. Bangunan yang menggunakan konstruksi ini terbukti tahan terhadap gempa Aceh dan Padang," tutur Kris.

Apresiasi terhadap KSLL mulanya datang dari orang asing setelah melihat secara nyata bangunan-bangunan tetap berdiri pascagempa. Kini, pemanfaatan konstruksi itu semakin meluas di seluruh wilayah Indonesia. Bangunan perkantoran, asrama, stadion, dan sebagainya mulai banyak memanfaatkan konstruksi ini.

Selain KSLL, pihaknya juga mengembangkan konstruksi jaring laba-laba. Konstruksi yang diklaim dapat menahan beban tonase hingga ratusan ton lebih ini diaplikasikan untuk jalan raya, runway, atau lapangan udara di atas tanah labil.   c36, ed: Andri Saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement