Rabu 10 Feb 2016 14:00 WIB

Razian Agus Toniman, Sekretaris Jenderal KA-PPRTBM: Negara Belum Hadir untuk PRT

Red:

Republika/Musiron

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pekerja rumah tangga (PRT) kerap diidentikkan sebagai pembantu. Padahal, hak-hak mereka tidak berbeda dengan pekerja di sektor formal. Akibatnya, mereka mengalami banyak ketimpangan. Mulai dari persoalan gaji yang hanya sekitar 25 persen dari upah minimum pekerja formal. Kemudian, kelayakan lingkungan kerja, jaminan sosial, hingga ancaman kekerasan di rumah majikan.

Padahal, menurut data Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT tahun 2009, jumlah mereka di seluruh Indonesia cukup besar, yakni lebih dari 10 juta orang. Mayoritasnya merupakan perempuan dan bekerja di daerah urban. Komite Aksi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Buruh Migran (KA-PPRTBM) mendesak negara untuk segera hadir melindungi hak-hak PRT, antara lain, melalui pengesahan Undang-Undang Perlindungan PRT.

Bagaimana upaya sejauh ini agar rancangan beleid tersebut disahkan? Wartawan Republika, Hasanul Rizqa, mewawancarai Sekretaris Jenderal KA-PPRTBM Razian Agus Toniman di kantor pusat JALA PRT, Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (1/2).

Mengapa UU Perlindungan PRT itu penting?

Pertama, sebenarnya bukan hanya PRT. Seluruh warga negara Indonesia harus terlindungi secara hukum. Negara wajib ada untuk melindungi warganya. PRT ini kenyataan yang lekat di depan mata, tetapi sama sekali tak ada perlindungan (terhadapnya).

Kita semua sebagai pekerja hanya minta tiga hal, yaitu jaminan atas pekerjaan, jaminan atas setelah bekerja, dan jaminan sosial yang (berlaku) pada saat bekerja dan setelah bekerja (pensiun). Ini ketiganya tidak ada bagi PRT karena tak ada perikatan (perjanjian tertulis antara calon majikan dan calon PRT).

Bagaimana bisa duduk sejajar, membahas mana yang hak dan kewajiban kalau tak ada perikatan? PRT ini dari dulu tidak ada perikatan. Malah, dimanipulasi seakan-akan perlakuan yang berlaku sekarang ini (perjanjian kerja hanya dengan lisan) justru lebih manusiawi daripada diformalkan. Kalau diformalkan, dianggapnya lebih kaku.

Padahal, kontrak kerja itu bukan kaku, melainkan hanya menegaskan, mana yang hak dan kewajiban.

Apa yang bisa melindungi dia (PRT) kalau tidak ada perikatan? Kita lapor ke PHI (Pengadilan Hubungan Industrial), kalau misalnya dia enggak digaji selama setahun sama majikannya. Enggak ada hitam di atas putihnya, bagaimana bisa?

Di samping itu, ternyata, PRT bukan pekerja rumah tangga an sich yang kerjanya hanya memasak atau membersihkan rumah. Ia multi tasking, (kerjanya) juga tukang kebun, sopir, penjaga bayi, atau merawat orang tua.

Apa jadinya kalau kelompok pekerja sedemikian luas tidak terlindungi secara hukum? Itu yang menggugah kesadaran kita.

Satu lagi, yang namanya (perusahaan) penyalur pembantu, itu bisnis raksasa yang tak tersentuh. Praktik-praktik tak manusiawi (terhadap PRT) selama ini karena tidak adanya sanksi.

Kalau, misalnya, (perusahaan penyalur PRT) mengingkari janji, bagaimana? Sampai sekarang, penyaluran pembantu itu enggak ada payung hukum yang mengawasinya. Hanya ada kewajiban untuk sebagaimana mendirikan perusahaan secara umum. Namun, supaya mereka enggak meleset jadi perdagangan orang, itu enggak ada (aturan perundang-undangannya).

Kapan koalisi advokasi PRT ini berdiri dan apa latar belakangnya?

Pada 2012 itu, teman-teman aktivis sadar bahwa harus ada satu koalisi besar. Itu terdiri atas LSM pegiat kesetaraan dan perlindungan terhadap PRT ini dengan Serikat Pekerja. Lalu, pada 2012 itulah, kita bekerja bersama-sama dan berhimpun dalam Komite Aksi PPRTBM.

Memang, menjadi sesuatu yang membuka mata kesadaran bahwa kita juga selaku Serikat Pekerja formal harus memberi perhatian kepada mereka (PRT). Karena, mereka kan sesungguhnya pekerja juga. Sehingga, kita harus berjuang bersama-sama sebagai sesama organisasi pekerja.

Tentu saja PRT termasuk pekerja. Syarat-syarat pekerja menurut pemahaman Serikat Pekerja itu, yakni ada perintah, ada yang memberi perintah, dan ada yang menerima gaji. Terpenuhi semua ketiganya (dalam hal PRT). Namun, kategori ini tidak diformalkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Nyatanya, pekerja informal itu selalu lebih besar jumlahnya dibanding pekerja di sektor formal. Padahal, sama-sama pekerja.

Lalu, kami mencoba untuk meluruskan bahwa esensi mereka (PRT) itu pekerja harus menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Menjadi bagian dari kesadaran kita selaku pimpinan Serikat Pekerja bahwa ini bagian dari perjuangan. Karena kan formal-tak formal sesungguhnya sudah menjadi bias.

Apakah hakikat mereka (PRT) sebagai pekerja akan hilang hanya karena tidak tercantum (dalam UU Ketenagakerjaan), tidak punya kantor, atau tidak berserikat? Hak berserikat ini juga penting. Karena, satu orang majikan, paling-paling (ada PRT) hanya satu atau dua orang. Sehingga, tidak punya hak untuk berserikat karena undang-undang kita menyatakan lagi bahwa minimal 10 orang.

Padahal, misalnya, di Jepang, dua orang bisa mendirikan Serikat Pekerja. Itu konsekuensi dari konferensi ILO 1987, kebebasan berserikat. Dan, tidak ada masalah di sana. Kita kan selalu skeptis duluan. Dianggapnya, Indonesia ini selalu rusuh gerakan buruh karena terlalu mudah mendirikan Serikat Pekerja. Padahal, bukan itu persoalannya.

Bisa dijelaskan secara singkat perjalanan RUU Perlindungan PRT?

Respons DPR selalu kasuistis. Dikatakan ada ekses (kekerasan) terhadap PRT, misalnya. Ekses dengan yang tidak ekses, pasti lebih banyak yang tidak ekses. Betul. Tapi, kan negara harus melindungi seluruhnya. Konsititusi kita mengatakan begitu.

Kemudian, progres. Tapi, kan progresnya (taraf hidup PRT) itu mengalir ke arah yang enggak jelas juga. Jadi, ini persoalan besar karena kita sama-sama paham, tetapi angle untuk melihat itu berbeda-beda.

RUU Perlindungan PRT masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) sudah berkali-kali. Dari 2009. Naskah akademis ada sejak 2009 itu. Jadi, selalu dimentahkan oleh alasan yang musykil. Selalu di ujungnya dimentahkan.

Itu PDIP selalu nomor satu mendukung kita. Tetapi, di titik akhir, mereka punya pendapat lain tentang prioritas. Meskipun ada orang-orang (individu anggota DPR) mendukung, ternyata di Indonesia masih dominasi fraksi. Banyak anggota DPR yang terharu (dengan nasib PRT), tapi begitu pengambilan suara, ikut perintah fraksi, yang itu instruksi partai.

Empat kali RUU ini kandas. Melalui usulan Komisi IX, Sidang Paripurna DPR pada 2009 memutuskan RUU Perlindungan PRT salah satu RUU Prioritas Prolegnas DPR 2010.

Namun, ketika semester awal 2010, Komisi IX menghentikan pembahasan RUU ini. Kemudian, karena ada desakan masyarakat sipil dengan beberapa kali aksi (demonstrasi), RUU Perlindungan PRT diagendakan dibahas kembali. Namun, sepanjang 2010 tidak juga dibahas.

Komisi IX akhirnya membentuk Panja (Panitia Kerja) RUU Perlindungan PRT pada Mei 2011. Lalu, itu masuk Prolegnas Prioritas 2012. Bahkan, mereka itu (anggota DPR) sudah studi banding ke Afrika Selatan dan Amerika Latin pada 2012. Jadi, mereka tahu. Hasil studi bandingnya? DPR kan begitu. Laporan pun enggak ada.

Padahal, itu (hasil studi banding) bisa dijadikan naskah akademis. Banyak lho (draf rancangan) undang-undang yang belum punya naskah akademis, dipaksakan menjadi RUU. Kita lengkap.

Pada 2013, panja lakukan studi banding juga ke Makassar. Kan Komisi IX mengurus bidang ketenagakerjaan dan kesehatan. Dan, kalau (terkait Prolegnas) Prioritas, tiap komisi itu (berhak mengajukan) dua rancangan undang-undang (RUU). Kalau sangat mendesak, tiap komisi bisa mengajukan tiga (RUU).

Tiga RUU itu, yakni revisi UU tentang perlindungan TKI di luar negeri. Kemudian, revisi atas PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) dan RUU Perlindungan PRT. Nah, ini sudah mentok. Kuotanya tiga RUU sudah penuh. Lantas, masuk (usulan terkait) RUU Kebidanan. Padahal, (RUU) PHI ini belum ada naskah akademik. RUU Kebidanan juga, belum ada naskah akademis dan pembahasan awal.

Padahal, kita (RUU Perlindungan PRT) masuk prioritas juga. Kemudian, ada klausul, apabila satu RUU diajukan inisiatif oleh pemerintah, cukup satu fraksi yang mendukung. Pemerintah masukkan RUU lain (RUU Kebidanan) sehingga didukung oleh PDIP. Ya masuk (prioritas Prolegnas). Kita mental lagi. DPR menghapus RUU Perlindungan PRT dari prioritas Prolegnas 2015.

Sekarang ini hampir mental lagi sebenarnya. Karena, surat resmi ketua fraksi menyampaikan bahwa Komisi IX itu prioritasnya (antara lain) RUU Perlindungan PRT. Tetapi, ada surat berikutnya yang ditandatangani oleh seorang wakil ketua Komisi IX, (isinya bahwa) RUU PPRT enggak masuk prioritas. Dan, itu yang dijadikan acuan.

Tapi, akhirnya, yang tetap dipakai yang awal (surat sebelumnya). Karena kita tekan, ini yang pertama. Yang lain itu kan tidak dibahas. Artinya, jangan RUU ujug-ujug. Kebetulan, ada pimpinan komisi juga yang berasal dari salah satu fraksi, PKS, ia mau ribut (protes).

Ya ini kan persoalan politik. Kita kalau punya akses ke kekuatan politik, tentu kita amankan RUU ini. Kita enggak punya akses itu. Pernah punya, misalnya, pas sebelum pilpres (pemilihan presiden) itu, Jokowi ngomong. Tetapi, itu kan janji kampanye. Kita enggak menyesalkan dia, tapi menyesalkan diri sendiri saja.

Kalau respons pemerintah sendiri?

(Pemerintah) Belum punya niat baik untuk memformalkan PRT itu sebagai warga negara atau pekerja yang harus dilindungi. Mereka (pemerintah) berdalih. Lalu, membuat SK menteri ketenagakerjaan tentang perlindungan.

Tetapi, SK itu hanya narasi yang sesungguhnya tidak melindungi sama sekali. Judulnya saja perlindungan. Karena, semestinya jelas ditentukan, jam kerja tak boleh lebih dari delapan jam, misalnya, lembur harus dibayar dan sebagainya. Tapi, itu lebih pada teknik penempatannya.

Selain persoalan standar upah, PRT juga perlu jaminan sosial. Kita melihat bahwa ada UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Produknya, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

PRT juga warga negara. Tetapi, UU ini tidak menyentuh mereka karena alasannya sederhana. Kategori (PRT) itu tidak tercantum di UU yang menjadi payung BPJS ini. PRT masih bukan dianggap pekerja sehingga pemberi kerja (majikan) tak wajib menyertakan (PRT ikut BPJS). Hukum kan hitam-putih. Untuk itu, akhirnya kita mesti berjuang lagi. Nah, ini tidak didukung oleh pemerintah.

Bayangkan, karena kategorinya lucu: pekerja bukan penerima gaji. Kalau misalnya kita ambil, ada konvensi tentang diskriminasi. Ya kalau Anda bekerja dan dikatakan tidak menerima gaji, itu bukan pekerjaan, tapi diskriminasi. Dan, itu bisa dituntut secara internasional. Ini negara malah mendefinisikan itu di UU BPJS itu. Yang kita lakukan, menyadarkan PRT bahwa hak-hak seperti itu harus dipenuhi. Dalam pikiran kami, semua PRT adalah kategorinya PBI (penerima bantuan iuran).

Pada saat hukum menerima PRT itu bagian dari UU yang diikutkan pekerja, ya mereka otomatis (majikan wajib menyertakan PRT dalam BPJS Ketenagakerjaan). Karena, dia pemberi kerja. Ada cost sharing.

Pemerintah justru melihat, berapa jumlahnya (seluruh PRT)? Ya kita punya kira-kira (angkanya), tapi ini absurd. Karena, tak ada rujukan (institusi) yang bisa dipakai. Padahal, faktanya (PRT) banyak sekali di sekitar kita. Dan, mereka tak menjadi persoalan karena ini sudah jadi status quo. Apalagi, dianggapnya supply and demand.

Strategi apa yang KA-PPRTBM lakukan agar RUU Perlindungan PRT bisa diundangkan?

Pertama, kita lihat kendalanya ya. DPR itu kalau soal berkelit ya ahlinya. Contohnya, semua fraksi mendukung. Tapi, begitu voting kan kelihatan fraksi mana (yang benar-benar mendukung). Ternyata, hanya dua dari 10 fraksi, PKS dan Nasdem. Kan kita sudah empat tahun (berupaya memasukkan RUU Perlindungan PRT). Diusulkan, tidak masuk (Prolegnas). Diusulkan, tidak masuk. Macam-macam alasannya.

Sulitnya begitu. Karena, kita menilai pekerjaan PRT itu masuk hubungan industrial. Artinya, formal. Sedangkan, yang menentang ini kebanyakan berdalih bahwa PRT di Indonesia merupakan bagian dari produk budaya masyarakat.

Jadi, PRT masih dianggap urusan domestik atau secara budaya dianggap menolong (sebagai pembantu). Karena urusan domestik, kekerasan yang terjadi (pada PRT) jadi suka tak ketahuan.

Makanya, nanti kita jadi untuk RDP (rapat dengar pendapat) dengan Komisi IX membawa mereka (PRT). Ya jumlahnya seratusan dan merupakan korban kekerasan. Agar para anggota DPR itu tahu bahwa yang begitu-begitu jangan terulang lagi.

Tadi Anda mengatakan PRT masih dianggap urusan domestik. Tapi, bukankah buruh sendiri banyak yang memiliki PRT di rumahnya? Jadi, buruh mempekerjakan buruh?

Memang, kita Serikat Pekerja pada tahap awal bergabung (dalam KA-PPRTBM) juga mengalami kebingungan. Kita (pekerja formal) kan buruh dengan gaji UMR. Lalu, kalau kami harus membayar PRT di rumah kami dengan gaji UMR, ya habis dong?

Tapi, ini kan pertanyaannya lebih sosial ketimbang ekonomi.

Kalau hitung-hitungannya ekonomi, jangan kita titip anak kita ke pembantu setiap hari kalau mau bisa bayar PRT. Tapi, pertanyaan ini lebih ke sosial karena kita untuk supaya rumah tangga terjaga asap dapurnya, istri harus bekerja, mau tak mau anak harus dititip ke pembantu hampir tiap hari. Ini persoalan sosial.

Sedangkan, kita juga mengajak melihat persoalan itu dari sisi ekonomi juga. Karena, mereka (PRT) juga berumah tangga. Sumber penghasilannya pun harus dikembangkan, seperti kita juga mengembangkan ekonomi (dengan bekerja sebagai buruh formal). Di awal-awal, dialog itu ada. ed: Andri Saubani

****

Kekerasan Domestik Hingga Ancaman MEA

 

Kelompok pekerja rumah tangga (PRT) kerap dibayangi kekerasan domestik. Sering kali kekerasan terhadap PRT terlambat dicegah masyarakat sekitar. Tidak sedikit PRT yang mengalami intimidasi lantaran dianggap semata-mata pembantu yang harus menuruti semua perintah majikan.

 

Padahal, PRT merupakan pekerja yang harus mendapatkan haknya dari majikan sebagai pemberi kerja. PRT bukanlah pembantu. Demikian ditegaskan Komite Aksi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Buruh Migran (KA-PPRTBM). "Yang kita lakukan, menyadarkan PRT bahwa hak-haknya harus dipenuhi," ujar Sekretaris Jenderal KA-PPRTBM Razian Agus Toniman di kantor pusat JALA PRT, Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (1/2).

 

JALA PRT mencatat beberapa kasus kekerasan terhadap PRT di area Ibu Kota. Ada seorang PRT yang dihantam dengan kursi oleh majikannya sampai-sampai kursi itu patah. Kemudian, ada seorang PRT lain yang disiram dengan air keras lantaran majikannya melarangnya shalat. Karena itulah, Razian menekankan, Undang-Undang Perlindungan PRT perlu diadakan sehingga negara bisa efektif dalam menjamin hak-hak mereka sebagai pekerja, bukan pembantu.

 

Menurut dia, hingga kini belum ada payung hukum yang jelas dalam mengatur perlindungan dan hak-hak PRT. Dalam UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, misalnya, PRT tidak masuk definisi pekerja. Karena itu, dalam merekrut PRT, majikan menjadi tak wajib membuat semacam perjanjian tertulis yang memiliki kekuatan hukum. Razian memandang, inilah awal kerentanan PRT bila sewaktu-waktu diperlakukan tidak adil.

 

Demikian pula dalam UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), definisi PRT tidak termasuk sebagai pekerja. Razian memandang aneh bila PRT digolongkan sebagai pekerja bukan penerima upah di dalam SJSN.

 

Padahal, jelas-jelas ada hubungan industrial di dalam kerja PRT, yakni ada majikan yang menggaji PRT. Sehingga, dengan gaji yang hanya sekitar 25 persen dari upah minimum buruh, PRT terpaksa menjadi peserta iuran mandiri. Semestinya, kata Razian, iuran BPJS dibayarkan majikan di luar gaji bulanan. "PRT menjadi peserta mandiri. Kategorinya lucu, peserta bukan penerima gaji. Lalu, dia (PRT) menerima apa? Itu bisa dituntut secara internasional," kata dia.

 

Selain ancaman kekerasan dan jaminan sosial yang hilang, PRT juga rentan kehilangan peluang pekerjaan. Razian menuturkan, pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) kini, PRT justru mesti berlomba-lomba dengan tenaga kasar yang datang dari negara-negara jiran. "MEA tidak disosialisasikan secara perinci ke masyarakat kita. Seakan-akan, ada alur besar, free flow (tenaga kasar) antarnegara ASEAN yang bebas. Tidak begitu sebenarnya," jelas Razian.

 

Dengan MEA, yang bisa dengan bebas keluar-masuk batas negara-negara ASEAN hanyalah tenaga kerja ahli atau formal, bukan semisal PRT. Namun, lanjut Razian, para ekspatriat kerap membawa kelompok PRT dari negara asalnya ke Indonesia untuk bekerja membantu mereka.

 

Menurut dia, kebanyakan PRT ini menggunakan visa sosial-budaya, bukan visa kerja, selama menetap di Indonesia. Itu hanya berlaku satu bulan, tetapi visa itu sering diakal-akali sehingga mereka bisa tinggal selama satu tahun dengan cara 12 kali keluar-masuk wilayah RI. Razian tak menyebut angka pasti PRT asal negara-negara jiran itu, tetapi diduga sudah cukup masif. "Ekspatriat dari Korea Selatan atau Tiongkok kebanyakan membawa PRT juga. Sehingga, ini akan menjadi efek terhadap lingkungan sekitar. Mereka (PRT Indonesia) kehilangan pekerjaannya," ungkap Razian.

 

Karena itu, dia menyayangkan sikap politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang justru melonggarkan arus besar pekerja kasar asing di Indonesia. Salah satunya, ketika Presiden mengatakan bahwa bahasa Indonesia tidak wajib bagi tenaga kerja asing (TKA). Padahal, pernah ada aturan yang mewajibkan bahasa Indonesia bagi TKA. "Tetapi, ini enggak tahu bagaimana, oleh Presiden Jokowi, mereka (TKA) ke sini (Indonesia) dianggap untuk mengerjakan pekerjaan tertentu, bukan bersosialisasi dengan masyarakat," kata dia.

 

Razian menekankan, itulah beberapa alasan mengapa RUU Perlindungan PRT penting diberlakukan. Rancangan beleid tersebut masuk ke dalam 40 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2016. Sejak 2009, RUU tersebut sudah diperjuangkan untuk dibahas DPR. Namun, hingga kini rancangan tersebut belum juga diundangkan meski berkali-kali masuk ke dalam Prolegnas tahunan.  ed: Andri Saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement