Ahad 31 Jan 2016 18:07 WIB

Otobiografi Sang 'Penunggang Kuda'

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, "Kejarah kuda dengan menunggang kuda."

Satu falsafah hidup yang mungkin terdengar sederhana tapi berhasil membawa Mochtar Riady kepada gerbang kesuksesannya saat ini. Tumbuh di masa penjajahan, konglomerat Indonesia yang juga pendiri Lippo Group ini menjalani masa kecil yang diliputi kesedihan dan penderitaan. Saat ia berumur 9 tahun, ia kehilangan ibunda tercintanya yang meninggal setelah melahirkan adik perempuannya.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1942, tentara Jepang membawa paksa ayah dan paman ketiga Mochtar yang tergabung dalam Perkumpulan Fu-Xing, sebuah perkumpulan masyarakat dari Kampung Xinghua, Fujian. Para tentara Jepang saat itu mengira Perkumpulan Fu-Xing sama dengan perkumpulan anti penjajahan Jepang, Fuk- Xing.

Mochtar yang kala itu baru berusia 12 tahun, harus hidup mandiri. Tugas-tugas pria dewasa, seperti giliran jaga malam, juga harus ia ikuti. Sayangnya, melalui giliran jaga malam ini Mochtar berkenalan dengan pria dewasa yang menipunya dan menjerumus kannya dalam kesengsaraan berjudi. Akibat dari penipuan tersebut, ia harus rela kehilangan banyak harta benda miliknya dan bahkan masih berutang dengan para penipu tersebut.

Di tengah berbagai ujian hidup, Mochtar yang menjadi korban penipuan menumbuhkan keberaniannya untuk mulai melakukan perlawanan. Sejak saat itu pula, ia mengingat pesan sang ayah bahwa kekayaan harus diraih dengan kerja keras dan kecerdasan, bukan melalui judi.

"Dari situ, saya mengetahui judi begitu jahat. Sejak saat itu, seumur hidup saya tidak berani berjudi. Sifat-sifat spekulasi judi pun tidak berani saya terapkan dalam bisnis," ungkap Mochtar dalam peluncuran buku otobiografinya yang bertajuk Manusia Idedi Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa (26/1).

Seperti kuda berlari 

Sepenggal kisah masa kecil tersebut merupakan satu dari lima babak besar dalam hidup Mochtar selama 86 tahun ini. Kelima babak besar dalam kehidupannya itu ia tuangkan melalui buku otobiografinya, Manusia Ide. Meski tiap babak besar kehidupan ini menampilkan kisah yang berbeda, ada satu benang merah yang tetap terasa dari tiap-tiap bab kehidupan Mochtar. Yakni, semangatnya untuk terus melaju ke depan dengan kencang seperti halnya kuda yang berlari.

Melalui Manusia Ide, Mochtar juga mengungkapkan tiga sosok yang paling mempengaruhi hidupnya hingga sukses menjadi seorang bankir dan mendirikan perusahaan raksasa Lippo Group. Ketiga sosok tersebut ialah ayah Mochtar, Li A Pi, guru Mochtar, Luo Yi Tian, dan sang istri Li Li Mei (Suryawati Lidya). Bagi Mochtar, sang ayah mengajarkannya kedisiplinan, tanggung jawab sekalgus cinta kasih. Sedangkan sang guru, membawanya menuju gerbang ilmu pengetahuan yang membuat ia selalu haus akan buku-buku bermanfaat. Sang istri, mengajarkannya akan kejujuran dan integritas, serta selalu ada di sampingnya.

"Jasa ketiga orang ini saya tulis, dengan harapan dapat menginspirasi semua pihak yang membaca," terang ayah dari James Tjahaja Riady ini.

Mochtar yang sebelumnya enggan untuk menulis otobiografi, mulai tergelitik untuk menulis karena mendapatkan 'pencerahan' dari sahabat karibnya, Saudara Yu, pada 2014.

Ia pun mulai menuliskan kisah hidupnya, dengan harapan para pembaca, khususnya generasi muda, dapat memetik pelajaran dan mungkin mendapatkan inspirasi dari berbagai perjuangannya selama menjalani hidup.

Setidaknya, ada tiga pesan hidup terpenting yang disampaikan melalui Manusia Ide. Salah satunya ialah keberanian untuk memasuki dunia yang lebih besar untuk mencapai tujuan yang besar. Keberanian untuk meninggalkan Kota Malang menuju Ibu Kota Jakarta demi impiannya menjadi bankir merupakan salah satu wujud nyata dari nilai tersebut.

"Saya ingin ajak semua orang, jangan minder. Jangan seolah kalian tidak berbakat dan merasa kecil. Melalui buku ini, saya ingin sampaikan agar pembaca berani berpikir besar dan berusaha untuk menjadi besar," kata Mochtar.

Mewaspadai `maksud tertentu'

Manusia Idejuga menyampaikan pesan Mochtar agar para pembaca tidak pernah berhenti dalam menuntut ilmu. Dalam buku itu, kegemaran membaca buku yang sedikit banyak dipengaruhi oleh gurunya, ternyata membawa banyak manfaat bagi berkembangnya karier. Dengan berbagai buku bacaan yang bermanfaat dan penuh falsafah hidup, Mochtar kemudian memiliki visi yang jelas dan tepat dalam mengambil keputusan-keputusan dalam hidupnya.

Selain itu, Mochtar juga berpesan bahwa dalam melakukan sesuatu, khususnya menjalani pekerjaan, perlu mawas diri. Tak bisa dimungkiri, akan ada masa di mana ada pihak tak bertanggung jawab yang mencoba memanfaatkan kesempatan dan memberikan hadiah-hadiah dengan maksud tertentu.

Kondisi tersebut, terang Mochtar, pernah dialami sendiri olehnya pada 1964 saat ia bekerja untuk Bank Buana. Kala itu, ada nasabah yang tanpa alasan memberi empat batang emas. Tanpa berpikir macam-macam, ia merasa senang menerima hadiah tersebut karena ia sebelumnya tidak pernah melihat langsung emas batang seperti itu. Mochtar pun kemudian membawa empat batang emas itu dengan perasaan sukacita dan membayangkan rasa gembira sang istri.

Sayangnya, apa yang dibayangkan Mochtar tak menjadi kenyataan. Sang istri, Suryawati, justru meminta Mochtar mengembalikan empat batang emas tersebut kepada nasabah yang memberi hadiah itu. Suryawati mengingatkan, ketika menerima sesuatu yang besar tanpa alasan, itu berarti telah menjual kebebasannya kepada si pemberi hadiah.

Mochtar mengikuti saran sang istri.

`'Mulai saat itu, saya tidak pernah menerima uang atau barang tanpa alasan dari nasabah. Ini mungkin salah satu sebab karier saya di banking selama 47 tahun berakhir happy landing, tanpa masalah. Semua itu berkat jasa istri saya," kenang dia. 

 

Melalui buku ini, saya ingin sampaikan agar pembaca berani berpikir besar dan berusaha untuk menjadi besar

OLEH ADYSHA CR ed: Nina Chairani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement