Rabu 09 Dec 2015 14:15 WIB

Sri Sularsih, Kepala Perpustakaan Nasional: Digitalisasi Naskah demi Masa Depan Perpustakaan

Red:

Era digital telah merambah ke segala aspek kehidupan kita saat ini, termasuk dunia aksara. Media baca digital yang banyak ditemukan saat ini membuat Perpustakaan Nasional pun berbenah menyongsong masa depan. Berikut wawancara Republika dengan Kepala Perpustakaan Nasional Sri Sularsih soal proyek digitalisasi naskah yang tengah digarap oleh lembaganya.

 

Sebenarnya, apa asal mula adanya kegiatan digitalisasi naskah di Perpustakaan Nasional?

Ini kan sesuai dengan perkembangan teknologi kita. Hal ini yang berarti semua nanti bisa diakses dengan cepat melalui internet. Dengan demikian, kita juga berpikir untuk mengembangkannya. Selama ini Google bisa menginformasikan berbagai hal dengan cepat mudah dan cepat.

Nah, kalau perpustakaan tidak bisa mengikuti layanan dengan cepat dan mudah melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), tentu kita akan ketinggalan pemakainya. Dengan adanya situasi itu, jelas kita membandingkan. Perpustakaan juga bisa memberikan informasi cepat dan mudah.

Apakah hanya Perpustakaan Nasional (Perpusnas) yang diamanahkan melakukan digitalisasi naskah?

Ini sebenarnya sudah diamanahkan dalam UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Di sini disebutkan bahwa perpustakaan harus mengembangkan layanannya berbasis TIK. Amanat ini berlaku, baik itu untuk Perpusnas maupun Perpustakaan Daerah (Perpusda). Bahkan, sampai ke perpustakaan desa wajib mengembangkan pelayanannya berbasis TIK.  Dengan demikian, bisa mengedukasi masyarakat dan masyarakat mudah mengaksesnya.

 

Apa alasan perlu dilakukannya digitalisasi naskah oleh Perpusnas? Tujuan dan manfaat digitalisasi naskah itu apa?

Kalau digitalisasi namanya koleksi, sebenarnya harapan ke depan kan perpustakaan nasional bisa melayani dengan baik para pemakainya. Tidak saja yang datang, tapi juga bisa melayani secara elektronis. Terlebih lagi, koleksi yang telah diakui UNESCO sebagai warisan dunia. Warisan dunia bisa diakses secara online oleh masyarakat seluruh dunia.

Supaya koleksi itu tidak terpinggirkan, kemudian rapuh fisiknya, kita harus melakukan pelestarian. Salah satunya dengan melalui alih media digital. Karena itu, Perpusnas secara bertahap mengalihmediakan koleksi buku dan lain-lain dalam bentuk digital.

Memangnya, bagaimana bentuk naskah di Perpusnas sehingga perlu melakukan digitalisasi? Dan, bagaimana mendigitalisasikan naskah kuno?

Naskah asli kita bentuknya bermacam-macam. Ada yang dari kertas, ada yang lontar, kulit kayu, dan bambu. Untuk digitalisasikan, bentuk-bentuk ini memiliki teknis tersendiri. Ini harus melalui media lain, yakni melalui bentuk mikro terlebih dahulu. Setelah itu, barulah dialihmediakan dalam bentuk digital.

Perangkat apa saja dalam mendigitalisasikan naskah dan bagaimana prosesnya?

Pertama, alur kerjanya dimulai dengan pengumpulan dan seleksi bahan perpustakaan yang akan didigitalisasi. Selanjutnya, dilakukan pengecekan kondisi fisik bahan perpustakaan itu. Jika rusak, harus diperbaiki dahulu. Kemudian, kita mencatat deskripsi bibliografis bahan perpustakaan itu.

Selanjutnya, kita mulai melakukan proses pengambilan objek yang akan dialihmediakan ke format digital. Proses ini kita butuh scanner dan kamera digital. Setelah itu, kita melakukan proses pengeditan dokumen yang sudah didigitalkan. Ini bergantung pada jenis dokumennya, misal, file image, motion picture, maupun audio.

Lalu, kita mulai mengonversi file, yakni pembuatan file-file turunan dari file master sesuai dengan jenis dokumennya. Setelah itu, mulai menyatukan kembali file-file itu menjadi satu format file, yakni PDF dengan penambahan wartermark. Kemudian, mulai memasukkan metadata file digital dan mengunduh file digital. Setelah itu, barulah melakukan pengemasan dokumen, semisal, desain kover atau pelabelan CD dan sebagainya.

Berapa jumlah naskah yang sudah didigitalisasikan?

Naskah kita yang sudah didigitalisasikan sebanyak 10.600. Jumlah ini secara bertahap dialihmediakan dalam digital. Ada juga 50 ribu buku yang sudah didigitalisasikan.

Naskah apa yang diprioritaskan untuk didigitalisasikan?

Kertas yang lebih rapuh dan lebih rentan harus didahulukan. Jangan sampai keburu tidak terbaca dan belum ada bentuk digitalnya. Jadi, kita tidak hanya mengalihmediakan dalam bentuk digital. Kita juga melihat kondisi bahan pustakanya sendiri yang sudah kondisinya terjelek. Yang ini akan diproses dahulu dan jadi prioritas kita.

Kalau yang lebih bagus, bisa bertahan lebih lama. Karena jumlah naskah kita banyak, kita harus menyesuaikan dahulu dengan anggaran yang ada. Jadi, tidak sekaligus semua didigitalisasikan selama setahun karena ada ratusan ribu judul.

Bagaimana proses digitalisasi naskah yang rusak?

Kalau naskah yang bentuknya sudah parah, harus diperbaiki dahulu. Setelah itu, baru bisa dialihmediakan. Untuk memperbaikinya, biasanya kita menggunakan alat-alat kimia. Ini karena kita tidak hanya mengalihmediakan, tapi juga sekaligus merawat supaya lebih awet. Jadi, perlu ketelatenan, ketelitian, serta kehati-hatian.

Kalau salah memproses, naskah-naskah itu bisa semakin membuat kerusakan. Sementara, kita punya tugas tidak hanya menyelamatkan kandungan isi pada naskah, tetapi fisiknya juga harus dilestarikan.

Seperti apa tingkat kerusakan naskah dan berapa usia yang paling lama?

Kalau terbaca sih masih, tapi kita tetap perlu proses hati-hati dalam mendigitalisasi. Jadi, dialihmediakan dalam bentuk mikro terlebih dahulu, lalu digitalisasikan. Kalau langsung, nanti tambah rusak dan naskah seperti itu butuh penanganan khusus. Usianya juga sudah ratusan tahun dan sudah rapuh. Kondisinya tidak sama dengan kertas yang biasa. Kertas biasa belum terlalu rapuh dan lebih mudah mendigitalisasikannya.

Yang paling lama itu naskah Negarakertagama dari Kerajaan Majapahit. Usianya sudah 600-an tahun. Ini termasuk surat kabar yang sudah ada dari 1600-an sampai kemerdekaan. Digitalisasi ini sudah selesai pada tahun ini dengan bentuk digital.

Lalu, naskah apa yang paling sulit didigitalisasikan? Berapa lama proses digitalisasinya?

Babad Diponegoro itu naskah yang paling sulit didigitalisasikan. Ini karena kondisinya sudah sangat parah. Karena itu, kami membutuhkan tenaga ahli dari luar untuk merawatnya.

Halaman naskah Babad Diponegoro saja sudah ribuan. Masalahnya, naskah semakin lama dan banyak maka itu berarti kita harus ekstra hati-hati. Jadi, perlu waktu yang lama dan per lembarnya saja butuh kehati-hatian. Bahkan, kalau naskah yang sudah jelek tadi itu harus dirawat dahulu.

Selain naskah kuno, apalagi yang didigitalisasikan?

Objek-objek yang akan dialihmediakan tidak terbatas pada objek tercetak ataupun dua dimensi. Namun, bisa objek audiovisual yang merupakan hasil peliputan dari kebudayaan nusantara. Ataupun, objek tiga dimensi serta hasil rekaman suara yang asalnya dalam bentuk kaset.

Kita mendigitalisasikan juga surat kabar yang terbit sebelum sampai kemerdekaan. Selain itu, buku-buku langka yang sudah tidak terbit dan isinya masih relevan dengan sekarang juga kita digitalisasikan.

Kalau jumlah naskah tentang Indonesia yang ada di luar negeri dan sudah didigitalisasikan berapa?

Jumlahnya ratusan dan ada juga yang akan datang dari Jerman. Kita kerja sama dengan Jerman dan mereka membantu untuk menghimpun naskah-naskah yang ada di masyarakat. Kalau di masyarakat ada yang mau dijual, kita siap membeli dan sepakati berapa harganya.

Kalau ada koleksi yang rusak, kami siap membantu merawat. Memang di dalam UU Perpustakaan dikatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib membantu melestarikan naskah kuno yang ada di masyarakat dan mengalihmediakan. Kita juga baru memiliki dalam bentuk mikro yang dari Belanda. Kita ambil dan dikasih dari sana. Ini merupakan naskah Indonesia yang disimpan di luar negeri.

 

Banyak naskah tentang Indonesia yang berada di luar negeri, adakah keinginan memulangkannya kembali?

Keinginan memulangkan kembali pasti ada. Namun, kita tahu tantangannya tidak mudah. Kita juga terus mengupayakan untuk mengembalikan naskah kuno yang ada di luar negeri. Karena itu, kita juga sempat mendatangi dan melakukan MoU dengan negara lain agar bisa kembalikan naskah di sana.

Kita juga sempat mengupayakan di salah satu perpustakaan di Belanda. Di sana ada 12 ribu naskah yang dikembalikan. Mereka mengembalikan melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan kita juga mendapatkannya. Mereka mengembalikan ini karena terkendala biaya. Karena itu, koleksi Indonesia pun dikembalikan ke Indonesia.

Apa harapan Anda ihwal digitalisasi naskah?

Kita berharap semua naskah yang kita miliki bisa dialihmediakan dan digitalisasikan. Pasalnya, bentuk ini jelas memudahkan masyarakat untuk mengakses. Harapan saya, naskah-naskah yang ada di kerajaan atau bekas kerajaan dan masyarakat bisa kita alihmediakan juga. Kita akan bantu merawatnya juga. n c13 ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement