Rabu 18 Nov 2015 13:00 WIB

Achmad Iqbal, Rektor Universitas Jenderal Soedirman: World Class University Jadi Tujuan Kami

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Achmad Iqbal, Rektor Universitas Jenderal Soedirman: World Class University Jadi Tujuan Kami


Pada September 2015 lalu, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto merayakan Dies Natalisnya yang ke-52. Unsoed telah menorehkan berbagai prestasi akademis dan pengabdian bagi masyarakat. Meski demikian, Rektor Unsoed Dr Achmad Iqbal mengakui bila Unsoed masih saja belum mampu menyejajarkan diri dengan PTN lain yang kini masuk dalam jajaran PTN besar di Tanah Air. Berikut adalah paparan isi pikiran dari Rektor Unsoed kepada wartawan Republika, Eko Widiyatno.

Mengapa dalam usianya yang ke-52 ini, Unsoed masih saja tidak mampu menyejajarkan dirinya dengan PTN lain, seperti UI, UGM, Undip, dan PTN terkemuka lainnya?

Saya sebenarnya sudah sering mendapat pertanyaan seperti itu, baik dari kalangan alumni Unsoed yang sudah lama lulus maupun dari rekan-rekan sejawat dari PTN lain. Namun, menanggapi pertanyaan tersebut, saya jawab bicara memang lebih mudah dari melaksanakan. 

Ada banyak persoalan yang menyebabkan PTN yang dulu masuk perintis III, sulit menyamai PTN perintis I, terutama dalam masalah ketersediaan sarana dan prasarana. Kalau dalam hal kualitas pendidikan yang diberikan dan SDM tenaga pengajarnya, beberapa PTN yang masih dianggap kecil, seperti Unsoed, sebenarnya tidak terlalu kalah dibandingkan PTN-PTN besar.

Mengapa bisa demikian? Bukankah antara Unsoed dan perguruan tinggi negeri yang besar sama-sama dibiayai pemerintah?

Nah, itu dia. Semua PTN memang mendapat anggaran biaya operasional dari pemerintah, mulai dari gaji dosen dan karyawan, hingga pengadaan sarana dan prasarana. Namun, orang luar tidak tahu bahwa anggaran yang diberikan pemerintah berbeda-beda antara satu PTN dan PTN lainnya. Dan, perbedaannya sangat jauh. Mereka yang sudah "gajah-gajah" mendapat anggaran sebesar "gajah", sedangkan PTN yang kecil dapat anggaran yang kecil. 

Belum lagi dana-dana lain, seperti bantuan orang tua mahasiswa, donatur, dan kerja sama dengan pihak ketiga. Sering kali PTN yang besar juga mendapat dana lain-lain yang jauh lebih besar dari PTN kecil. Dalam kondisi seperti ini, tentu menjadi sangat sulit bagi PTN kecil mengejar  ketertinggalannya dengan PTN besar. Yang terjadi, PTN besar justru semakin besar, sedangkan yang kecil justru makin jauh tertinggal.

Selama ini berapa besar Bantuan Operasional PTN yang diterima Unsoed?

Tahun-tahun lalu sebelum tahun 2015, Unsoed tidak pernah menerima anggaran lebih dari Rp 20 miliar. Selalu di bawah angka itu. Seperti tahun 2014 lalu, kita hanya menerima Rp 15 miliar. Baru tahun 2015 ini, Unsoed menerima BO PTN sebesar Rp 26 miliar. Kalau PTN besar, tidak perlu ditanyakan lagi. Mereka menerima BO PTN jauh lebih besar.

Mengapa tidak menggali dana dari mahasiswa?

Tidak bisa begitu. Kami tidak mau memberatkan mahasiswa dengan biaya kuliah yang mahal. Saya sangat tidak sepakat bila terminologi "swastanisasi" atau perubahan status PTN menjadi BLU (Badan Layanan Umum) atau BHMN (Badan Hukum Milik Negara), kemudian diikuti langkah "komersialisasi". 

Saya lebih sepaham perubahan status ini lebih pada upaya-upaya pengembangan tata kelola universitas yang baik (GUG atau good university governance) yang dicirikan dengan adanya kredibilitas, transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, dan keadilan. Tentunya, dengan dibarengi upaya terprogram untuk meningkatkan kualitas.

Berapa UKT (uang kuliah tunggal) yang harus dibayar mahasiswa Unsoed?

UKT di semua fakultas di Unsoed terbagi atas lima kategori. Kategori I nominalnya hanya Rp 500 ribu per semester. Sedangkan, UKT kategori V berbeda-beda tergantung program studinya. Bagi program studi yang proses pendidikannya membutuhkan biaya besar, tentu lebih besar dari program studi yang membutuhkan biaya tidak terlalu besar. 

UKT ini kita bagi menjadi lima ketegori untuk memberikan keadilan dari para mahasiswa yang berasal dari berbagai latar belakang ekonomi keluarga. Sekaligus juga sebagai bentuk subsidi silang antara mahasiswa dari keluarga mampu dan dari keluarga tidak mampu.

Banyak mahasiswa yang dikenakan kategori UKT kategori I dan II?

Banyak. Kami perkirakan ada sekitar 40 persen mahasiswa Unsoed yang hanya dikenakan beban UKT untuk kategori I dan II. Mereka yang hanya dikenakan biaya UKT Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta ini, berasal dari keluarga tidak mampu. Jumlah ini belum termasuk mahasiswa yang ikut program Bidik Misi dan mahasiswa-mahasiswa asal daerah transmigran yang dibiayai Kementerian Desa. 

Selain itu, mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi di Unsoed juga banyak yang mendapat bantuan beasiswa. Ada 15 sumber dana beasiswa bisa diperoleh mahasiswa sehingga saat ini ada sekitar 20 persen mahasiswa Unsoed yang bisa menikmati beasiswa.

Lantas bagaimana strategi Anda mengejar ketertinggalan Unsoed terhadap PTN-PTN besar?

Bagaimanapun untuk menyediakan pendidikan bermutu, diperlukan modal dan biaya yang besar. Ini tentu harus terus kita upayakan. Namun, langkah yang ditempuh tidak harus dengan membebankan pada mahasiswa. Ada banyak cara bagi sebuah PTN untuk mendapatkan dana bagi peningkatan kualitasnya. 

Antara lain, dengan meningkatkan perolehan dana hibah pengembangan institusi dan hibah penelitian/pengabdian dari pemerintah dan swasta di dalam maupun luar negeri, meningkatkan revenue melalui pengembangan revenue generating unit/RGU yang sesuai dengan core competence Unsoed, mengembangkan unit usaha yang legal sebagai satuan kerja BLU, meningkatkan peran serta alumni, menjalin kerja sama dengan mitra, dan yang terpenting meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan.

Banyak PT yang mendeklarasikan dirinya untuk menjadi WCU (World Class University). Bagaimana dengan Unsoed?

Tentu, deklarasi itu sangat penting. Melalui deklarasi, kita bisa menyusun langkah-langkah ke arah itu. Di Unsoed juga. World class university (WCU) tetap menjadi tujuan kami. Seperti yang dinyatakan Bank Dunia, ada tiga cara yang harus dilakukan agar PT bisa menjadi world class university. Yakni,  self-declaration, reputation, dan rankings. Setelah deklarasi, kami manargetkan pada 2034, Unsoed bisa menjadi institusi yang diakui dunia sebagai pusat pengembangan sumber daya perdesaan dan kearifan lokal. Itu sudah menjadi visi kami sesuai dengan core competence kami. 

Apa saja langkah yang dilakukan untuk mencapai target tersebut?

Berdasarkan identifkasi yang sudah kami lakukan, ada delapan isu strategis yang harus dibenahi. Antara lain, upaya menciptakan tata pamong yang baik mampu menggali dana yang bersumber dari pemerintah, mengembangkan unit bisnis, dan kerja sama dengan mitra, memiliki dosen dengan kualifikasi dan kompetensi unggul, dan memiliki efisiensi dan produktivitas pembelajaran yang tinggi. 

Selain itu, penelitian yang dilakukan seluruh sivitas akademika Unsoed harus mampu menghasilkan output yang berreputasi tinggi, mampu melakukan pencitraan berbasis reputasi yang baik,  memiliki kepedulian yang kuat, serta memiliki budaya mutu (quality culture) yang  terjaga. Khusus masalah tata pamong, menjadi syarat mutlak yang harus diwujudkan agar visi Unsoed pada 2034 bisa tercapai.

Sebagai rektor, Anda hanya memiliki masa jabatan selama lima tahun. Apa saja yang akan dilakukan selama periode Anda?

Saya sudah menetapkan berbagai rencana strategis (renstra) selama lima tahun masa kepemimpinannya. Khusus untuk tahun 2015, fokus perhatian saya adalah pada masalah manajemen internal.  Dalam tahapan ini, seluruh pamong Unsoed harus memiliki karakter kepemimpinan yang kredibel, bersih, jujur, amanah, dan mampu menjalankan fungsi kepemimpinan, serta operasional dan organisasi yang baik. Setelah itu, baru dilakukan upaya-upaya lain. 

Pada 2016, prioritas pengembangan difokuskan untuk memperkuat atmosfer akademis dengan mengembangkan berbagai sarana pendidikan. Tahun 2017 difokuskan pada pengembangan aspek efisiensi dan produktivitas sehingga tidak ada lagi mahasiswa Unsoed yang putus kuliah dan masa kuliah tidak tepat waktu. Sedangkan tahun 2018, prioritas pengembangan difokuskan pada pengembangan aspek relevansi dan sustainability. 

Pada 2018, Unsoed harus mampu menghasilkan alumni yang sesuai dengan harapan pengguna, dapat menggali sumber dana di luar mahasiswa, dan menciptakan program yang memberikan jaminan keberlanjutan pengembangan institusi. 

Anda tadi menyebutkan target Unsoed tahun 2034 adalah menjadi institusi yang diakui dunia sebagai pusat pengembangan sumber daya perdesaan dan kearifan lokal. Maksudnya bagaimana?

Sejauh ini, aspek perdesaan dan kearifan lokal itulah yang menjadi core competence kami. Tentu, kami juga tidak akan mengabaikan aspek-aspek lain yang mungkin berkembang kelak. Apalagi, kami juga memiliki cukup banyak program studi yang mungkin tidak bersentuhan dengan sektor perdesaan. Sejauh ini, Unsoed sudah cukup banyak menghasilkan penelitian unggul yang banyak dimanfaatkan oleh pemerintah daerah atau lembaga lain, seperti kedelai unggul varietas Slamet, varietas padi gogo aromatik Inpago Unsoed, dan tercatatnya lima peneliti Unsoed dalam 104 inventor Indonesia tahun 2012. 

Demikian juga dalam bidang pengabdian masyarakat, dalam kegiatan kuliah kerja nyata (KKN), kitalah yang mengembangkan model KKN Posdaya bersama dengan Yayasan Damandiri. Bahkan, model KKN ini telah banyak diadopsi oleh banyak perguruan tinggi di Indonesia. Di samping itu, Unsoed juga telah menghasilkan lebih dari 50 teknologi tepat guna (TTG) yang dapat digunakan langsung oleh masyarakat dan institusi mitra. Jadi, tidak salah kalau kita memiliki visi sebagai pusat pengembangan sumber daya perdesaan dan kearifan lokal. n ed: andri saubani

***

Masa Kecil di Pulau Bawean 

Achmad Iqbal, lahir pada 31 Maret 1958 di Pulau Bawean di Laut Jawa yang secara administratif masuk wilayah Kabupaten Gresik. Hingga menyelesaikan pendidikan di SMP, dia tidak pernah meninggalkan pulau di utara Kota Gresik yang pada masa itu harus ditempuh dengan perjalanan laut selama dua hari dua malam dengan menggunakan kapal nelayan.

"Karena itu, sejak lahir hingga SMP, tidak pernah sekali pun saya menginjak Pulau Jawa," katanya kepada Republika, belum lama ini. Baru setelah dia lulus SMP, ayahnya yang kemudian terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Gresik memboyongnya tinggal di Kota Gresik. Di kota ini, dia melanjutkan sekolahnya di SMA Negeri Gresik. 

Dia mengaku, kakeknya sebenarnya berasal Pasuruan. Tapi, mendapat istri orang Pulau Bawean, beliau tinggal di pulau tersebut dan semua keturunannya juga tinggal di Bawean. "Namun, setelah ayah saya terpilih menjadi anggota DPRD Gresik, kami sekeluarga hijrah ke Gresik," jelasnya.

Masa kecilnya di Pulau Bawean, banyak diisi dengan kegiatan keagamaan. Pagi sekolah di sekolah formal, sore mengaji di langgar (mushala). Ayahnya merupakan salah satu tokoh agama di Pulau Bawean karena memang merupakan keturunan dari pendiri pesantren di Pasuruan.

Selepas SMA, awalnya dia ingin melanjutkan kuliah di Fakultas Teknik Kimia atau Kedokteran. Namun, saat mendaftar di PTN perintis I (saat itu masih menggunakan sistem perintis), dia tidak diterima. Akhirnya, atas saran seorang kenalannya yang warga Purwokerto, dia mendaftar di Fakultas Pertanian Unsoed dan diterima. 

"Unsoed saat itu masuk kategori PTN perintis III. Sejak itu, saya tinggal di Purwokerto sampai sekarang. Menjadi mahasiswa, dosen, dekan fakultas pertanian, hingga sejak 2014 mendapat amanah untuk menjadi rektor Unsoed,'' jelasnya.  

Iqbal yang memiliki dua orang anak dari istri yang juga seorang dosen di Fakultas Pertanian Unsoed, Endang Sriningsih MP, menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Pertanian Unsoed, S-2 Bidang Ilmu Lingkungan di Universitas Indonesia, dan S-3 Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di IPB Bogor.

Sedangkan, dalam kegiatan di luar kampus, Iqbal juga aktif di berbagai organisasi akademik maupun nonakademik. Di organisasi akademik, Iqbal menjadi wakil ketua Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia (IALHI) dan anggota Perhimpunan Indonesia.

Untuk organisasi kemasyarakatan, Iqbal aktif di organisasi sayap Nahdlatul Ulama. Antara lain, sebagai anggota Lembaga Dakwah NU Banyumas dan Ikatan Sarjana NU. ''Saya memang besar di keluarga NU yang kuat. Bahkan, orang tua pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Gresik dan DPRD Provinsi Jawa Timur karena aktif di Partai NU yang kemudian berfusi menjadi PPP,'' jelasnya. 

Namun, Iqbal mengaku, di NU dia lebih memilih menjadi aktivis yang berkaitan dengan pengembangan masalah keilmuan saja. ''Saya memang berasal dari keluarga NU. Tapi, sejak remaja, saya tidak pernah aktif di organisasi NU secara langsung. Karena, di NU Banyumas, saya memilih aktif di seksi dakwah dan keilmuan saja,'' jelasnya. n ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement