Jumat 28 Aug 2015 16:00 WIB

Yudi Utomo Imardjoko, Pakar Nuklir UGM: Dorong Pemanfaatan Thorium

Red:

Ketersediaan listrik 35 ribu megawatt (MW) menjadi salah satu prioritas pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pembangunan sejumlah pembangkit listrik pun dilaksanakan dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Namun, dalam megaproyek ini, tidak satu pun pembangkit bersumber dari energi nuklir (PLTN).

Pakar nuklir dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yudi Utomo Imardjoko menuturkan, dunia saat ini gandrung pada pemanfaatan nuklir sebagai pembangkit listrik. Khususnya, generasi keempat PLTN yang menggunakan thorium, alih-alih uranium. Pendiri Pusat Studi Energi UGM ini mengatakan, satu ton thorium dapat membangkitkan listrik sebanyak 1.000 MW per tahun. Direktur Utama PT Industri Nuklir Indonesia (Inuki) ini bahkan menjamin kebutuhan listrik Indonesia akan aman selama seribu tahun bila memanfaatkan thorium.

Bagaimana hal itu bisa tercapai? Apa yang membuat thorium lebih baik untuk membangkitkan listrik pada PLTN? Berikut petikan wawancara Republika dengan pria kelahiran 1963 ini, beberapa waktu lalu, di kawasan Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan.

***

Bisa diceritakan sedikit mengenai perkembangan nuklir sebagai pembangkit listrik?

Reaktor nuklir itu sudah mulai sejak 1960-an ya. Sampai sekarang, itu sudah mengalami beberapa generasi. Yang paling dulu, generasi pertama. Kemudian, generasi kedua, yang itu banyak dimanfaatkan sekarang.

Seperti di Fukushima (Jepang), itu generasi kedua. Chernobyl (Ukraina) itu juga generasi kedua. The Three Mile Island itu di Amerika Serikat juga.

Kemudian, karena peristiwa Fukushima (kebocoran reaktor nuklir pada Maret 2011) dan sebagainya, muncul generasi ketiga. Nah, generasi ketiga ini menggunakan sistem keselamatan pasif. Jadi, tidak perlu intervensi manusia. Kalau ada masalah, dia langsung mendinginkan reaktornya sendiri karena di atasnya dikasih kolam.

Sampai pada generasi ketiga ini, bahan bakarnya masih menggunakan uranium. Jadi, perubahan tadi hanya di sistem keselamatan. Nah, sekarang ini muncul generasi keempat. Semua desain baru.

Apa yang membedakan PLTN generasi keempat ini?

Kalau yang baru ini, soal mengantisipasi. Itu tadi. Karena faktor keselamatan, belajar dari kecelakaan di the Three Mile Island, Chernobyl, Fukushima. Selain masalah keselamatan, masih ada juga problem (dari generasi ketiga), yakni limbah nuklir yang umurnya panjang. Umurnya itu bisa sampai 10 ribu tahun. Itu yang harus diamankan. Tidak bisa dibuang ke lingkungan begitu saja. Mesti disimpan selama 10 ribu tahun.

Nah, siapa yang bisa memastikan kalau selama 10 ribu tahun wadah untuk menyimpannya itu tidak mengalami bocor? Pengalaman material kita, paling banter 300 tahun. Waktu 10 ribu tahun terlalu jauh. Jadi, negara-negara maju itu sekarang tumpukan limbahnya berton-ton.

Saya menganggap ini masalah etika. Jadi, kalau tadi (generasi pertama-ketiga) masalah safety, ini masalah etika. Artinya apa? Kita sebenarnya bisa memanfaatkan reaktor nuklir secara aman dan masyarakat pun mendapat manfaat dengan listrik yang murah. Problem limbah 10 ribu tahun ini menyebabkan anak cucu kita mesti bertanggung jawab memikirkan itu.

Nah, generasi keempat itu berarti apa tugasnya? Problem limbah yang umurnya panjang tadi diganti teknologinya. Sehingga, tidak  menimbulkan limbah yang sepanjang itu umurnya. Caranya, thorium menggantikan uranium. Thorium ini tidak menimbulkan limbah yang umurnya sampai sekian puluh ribu tahun.

Jadi, hanya terkait bahan bakarnya?

Kalau thorium itu mayoritas umur limbahnya tinggal 10 tahun. Jauh sekali selisihnya. Memang sebetulnya masih ada (limbah thorium) yang sampai 100 tahun. Tapi, hanya 100 tahun.

Padahal, limbah itu yang harus bertanggung jawab adalah negara, pemerintah. Nah, kalau presiden cuma 10 tahun, berarti kan perlu seribu presiden untuk mengatasi (limbah) 10 ribu tahun tadi. Jadi, ini masalah etika. Kita menerima teknologi nuklir dengan menghasilkan listrik yang murah, tetapi problemnya antargenerasi. Sebagai seorang ilmuwan nuklir, saya mengatakan itu nggak benar.

Makanya, saya sudah kirim surat ke Presiden, meminta tolong ini diperhatikan. Karena, walaupun diambil keputusan sekarang, jangan sampai problem antargenerasi muncul.

Apa manfaat riilnya bila memilih PLTN berbahan bakar thorium?

Nah, manfaatnya untuk bangsa ini, (cadangan) uranium kita dibandingkan thorium itu lebih banyak thorium. Hasil penelitian Batan (Badan Tenaga Nuklir Nasional) menunjukkan, cadangan thorium kita diperkirakan 170 ribu ton. Sedikit? Iya, tapi untuk reaktor nuklir (PLTN) itu banyak sekali. PLTN yang memakai thorium ini disebutnya PLTT (pembangkit listrik tenaga thorium).

Karena, PLTN (berkapasitas) 1.000 MW itu memerlukan 200 ton uranium. Sedangkan, yang sama memerlukan satu ton thorium. Ini semua per tahun ya. Nah, kalau kita punya cadangan 170 ribu ton thorium, berarti kita bisa punya 170 PLTT, yang bisa hidup untuk seribu tahun. Karena, setahun cuma perlu satu ton thorium untuk 1.000 MW.

Apa sudah ada negara yang mengoperasikan PLTN thorium?

Belum. Tapi, apa pernah PLTT ini diteliti? Pernah. Tahun 1960-an di Amerika Serikat. Di Jerman juga pernah dioperasikan. Tapi, terus disetop. Semua lari ke uranium.

Jadi, pada waktu 1960-an itu, ada (PLTN) uranium dan thorium. Itu sama-sama dikembangkan. Tapi, pemerintah negara maju, khususnya Amerika Serikat, memilih meneruskan (PLTN) uraniumnya. Penelitian thoriumnya disetop.

Kalau tanya kenapa, itu ada hidden agenda. Karena, uranium ini limbahnya mengandung plutonium. Nah, plutonium bisa digunakan sebagai bahan baku senjata nuklir. Jadi, Amerika pada saat itu memerlukan banyak untuk senjata nuklir karena sedang perang dingin dengan Uni Soviet.

Maksudnya hidden agenda?

Plutonium ini tidak bisa diambil dari alam karena di alam tidak ada. Berarti, harus dibuat reaksi nuklirnya dulu. Nanti, jadilah limbahnya. Nah, dari limbahnya itu ada yang diambil, yakni plutonium untuk bahan baku senjata nuklir. Itu agenda tersembunyinya.

Sementara, limbahnya thorium ini tidak bisa dibikin (menjadi bahan baku) senjata nuklir karena nggak ada plutoniumnya. Jadi, thorium ini memang betul-betul didesain untuk membangkitkan listrik demi kepentingan damai. Secara reaksi fisikanya, dia (thorium) tidak bisa untuk dibikin senjata nuklir.

Makanya, waktu itu (1960-an) tidak diteruskan (oleh Pemerintah AS). Lho, ngapain meneruskan thorium bagi mereka?

Nah, sekarang Amerika Serikat pusing dengan banyaknya limbah nuklir yang sudah amat terlalu banyak. Sedangkan, mereka sudah menang Perang Dingin.

Lantas, untuk apa limbah ini? Apakah akan membangun senjata-senjata nuklir yang banyak? Nggak mungkin. Musuhnya sudah nggak ada. Sehingga, Amerika punya tanggung jawab untuk mengatasi masalah limbah nuklir ini.

Apa saja bentuk tanggung jawab AS itu sedangkan tadi disebutkan limbah nuklir bertahan hingga 10 ribu tahun?

Salah satunya, mendesain reaktor dengan menggunakan bahan bakar bekas. Itu (yang dikerjakan) Bill Gates, yang punya Microsoft itu. Dia dengan timnya mendesain reaktor nuklir dengan bahan bakar bekas. Bekas yang dari reaktor-reaktor tadi itu yang menjadi limbah ini. Supaya, tidak jadi 10 ribu tahun.

Tapi, yang punya bahan bakar bekas siapa? Kan Amerika, bukan kita. Lha kalau kita mau pakai (desain) itu, bahan bakar bekasnya mana? Kan nggak ada.

PLTN uranium dan PLTN thorium. Mana yang sebaiknya Indonesia pilih, bila mau?

Jadi, saya itu mau mengingatkan hati-hati dengan pemilihan teknologi. PLTN sendiri di Indonesia sampai kini nggak ada. Makanya, jangan sampai pemerintah salah mengambil kebijakan.

Orang mengatakan, kita punya uranium. Di Kalimantan, ada, dan lain-lain. Iya, benar. Terus ditambang untuk bahan bakar (PLTN)? Nggak bisa. Karena, kandungan uraniumnya itu hanya 0,7 persen. Padahal, untuk dipakai di reaktor (PLTN), harus tiga-lima persen. Jadi, mesti di-enrich, diperkaya. Dinaikkan dulu kandungannya menjadi tiga-lima persen.

Caranya bagaimana? Kita (Indonesia) nggak boleh melakukannya. Karena, dikhawatirkan, kalau bisa meng-enrich, itu bisa menjadi senjata nuklir. Jadi, bisa-bisa uranium dinaikkan (kandungannya) sampai 90 persen lebih. Nah, itu nanti kita punya kapabilitas membikin senjata nuklir.

Bagaimana dengan negara-negara pemilik senjata nuklir, misalnya, India, Pakistan, Israel, bahkan AS?

Mereka tidak menandatangani non-proliferation treaty (NPT). Jadi, traktat bahwa menggunakan nuklir hanya untuk kepentingan damai. India, Pakistan, Israel, Amerika Serikat itu nggak tanda tangan. Soalnya, mereka berdalih, misalnya, bagi Pakistan, India itu ancaman. Korea Selatan itu ancaman bagi saya, kata Korea Utara.

Kasus yang terjadi sekarang, Iran menandatangani NPT, tapi dia meng-enrich uranium untuk PLTN. Sekarang, ditekanlah sama Amerika Serikat. Nah, kita mau nggak mengalami hal yang sama? Kalau pakai uranium, kita akan mengalami hal yang sama sebabnya kita meng-enrich sendiri.

Ya sudah. Nggak usah meng-enrich sendiri. Artinya, orang asing saja yang disuruh meng-enrich. Kita hanya menambang uranium, lantas bawa itu ke luar negeri. Diperkaya di sana, lalu balik, dibeli ke sini. Tapi, ini kan sama jadinya dengan migas. Kita menambang minyak mentah, dikilang ke luar negeri, balik ke sini.

Tidak ada kedaulatan energi kalau kita harus kirim ke luar negeri. Memang, semua ngomong, kita kaya uranium. Nah, tapi (uranium) itu nggak bisa diperkaya, lho. Nggak bisa dipakai untuk reaktor, lho. Harus dibawa ke luar negeri dulu. Kecuali, kalau kita mau kayak Iran, ditekan-tekan. Nggak akan kuat kita ditekan.

Lantas, bila Indonesia memilih PLTN thorium, apa sumber daya manusia (SDM) kita mampu?

Kalau thorium, tidak perlu diperkaya, cukup dimurnikan saja. Jadi, kita bisa. Teman-teman Batan, para peneliti ini, sudah melakukan pemurnian thorium. Sudah sejak 1990-an. Sampai sekarang pun mereka meneliti.

Teman-teman di Batan sebenarnya sudah mampu. Hanya kan, nggak ada reaktornya, nggak ada PLTN, nggak ada PLTT.

Kira-kira PLTN thorium bisa diterapkan dalam waktu dekat?

Oke. Sekarang kalau ditanya, PLTN (uranium) di Indonesia, kalau kita bangun, kapan sih akan muncul? Ada yang mengatakan, pada 2024, 2025, 2020, baru muncul. Karena, perizinannya yang panjang. Berarti, rata-rata, (PLTN uranium) 10 tahun lagi akan muncul, pada 2025. Nah, sampai dengan 2025, PLTT (PLTN thorium) ini sudah muncul juga yang komersial.

Jadi, memilih yang mana, PLTN uranium yang nanti kita baru bisa memakainya pada 2025 atau pada saat yang sama, kita sudah ada PLTN thorium? Tinggal pilih, mau pakai sunset technology, generasi tiga PLTN, atau rising technology, yakni PLTN thorium sebagai generasi keempat PLTN?

Ambil contoh, India. Cadangan thorium yang paling banyak itu di India. Ada 500 ribuan ton. Jadi, India itu sekarang gencar. PLTN thorium mereka yang pertama akan beroperasi tahun depan. Jadi, India memang memindahkan (bahan bakar) PLTN ke thorium, bukan uranium. Walaupun memang masih memakai sedikit uranium karena untuk men-trigger reaksi itu butuh uranium sedikit.

Kalau kita bangun PLTN sekarang, jadinya itu 10 tahun lagi. Buku putihnya Kementerian ESDM mengatakan, pada 2025, artinya 10 tahun dari sekarang, untuk nuklir (PLTN), 5.000 MW. Nah, ini mau diisi (bahan bakar) uranium atau thorium? Diisi uranium, oke. Tapi, nggak usah banyak-banyak, nanti limbahnya banyak. Kita bisa pusing lagi. Seperti yang terjadi di Amerika.

Nah, terus transfer ke thorium. Thorium lebih sustainable karena cadangan uranium di dunia ini akan habis dalam waktu kira-kira 80 tahun. Berarti kan uranium akan menjadi barang langka yang diperebutkan oleh negara-negara yang punya PLTN. Nah, kita Indonesia, memulai saja belum! Begitu reaktornya (PLTN) ada, malah nggak dapat uranium?

Bagaimana perbandingan PLTN thorium dengan PLTN uranium dari sisi ekonomi?

Bisnis energi itu sebenarnya kan bisnis bahan bakar. PLTN itu untungnya bukan dari membangkitkan listrik. Untungnya dari jualan uranium. Jadi, misalnya, negara-negara maju itu, begitu kita terpengaruh ikut membangun PLTN, uraniumnya kan mesti kita beli. Bukan memakai uranium dari bumi sendiri. Wong kita nggak boleh memperkaya (kandungan uranium jadi tiga-lima persen). Makanya, beli dari luar. Nah, itu bisnis bahan bakar.

Tapi, kalau PLTN thorium, tidak. Itu betul-betul bisnis energi karena thorium murah atau agak-agak mahal. Kalau uranium itu per satu kilogram kira-kira harganya bisa 60 dolar AS. Kalau thorium, satu kilogram harganya 5.000 dolar AS.

Untuk satu PLTN (berkapasitas) 1.000 MW kan perlu satu ton thorium. Berarti, perlu 5 juta dolar AS per tahun untuk satu PLTN thorium (berkapasitas) 1.000 MW.

Uranium, 60 dolar AS per kilo. Berarti, kalau satu ton (uranium), harganya 60 ribu dolar AS. Sementara, PLTN (berkapasitas) 1.000 MW butuhnya 200 ton uranium per setahun. Berarti, perlu 12 juta dolar AS per tahun untuk satu PLTN uranium (berkapasitas) 1.000 MW. Nah, lebih banyak mana keluar uangnya?

Jadi, walaupun harganya per satuan mahal, tetapi (PLTN) hanya butuh satu ton thorium. Yang uranium, 12 juta dolar AS. Yang thorium, 5 juta dolar AS. Bedanya itu, sekitar 7 juta dolar AS. Jadi, lebih murah memakai thorium.

Dan, di Indonesia, thorium lebih mudah. Misal, kalau kita menambang timah, itu ada yang namanya monasit, limbahnya timah. Nah, di dalamnya ada thorium. Jadi, sebenarnya itu bahan sisa. Tinggal diekstrak, diambil thoriumnya, lalu dimurnikan. Itu di Bangka Belitung sana, banyak.

Presiden Jokowi sudah mencanangkan proyek listrik 35 ribu MW. Komentar Anda?

Ya itu, 35 ribu MW. Kalau (PLTN) thorium, bisa 170 ribu MW. Kalau dipakai semua. Ya berarti melampaui program Jokowi. Itu kalau mau. Tapi, kan malah (pembangkit listrik bertenaga) batu bara yang dipakai.

Untuk (PLTN) thorium, 10 tahun lagi lah. Tapi, harus disiapkan dari sekarang. Jangan karena 10 tahun lagi, berpikirnya nanti 10 tahun lagi saja. Nggak ada rencana kalau kayak begitu. Semua teknologi mesti dipersiapkan.

Salah satunya, kalau kita pakai PLTN thorium, untuk seribu tahun ke depan kita nggak ada masalah krisis energi. Ya jelas, dong, 170 GW (setara 170 ribu MW). Jangan jadi bangsa yang membebek. Oke, orang lain belum mulai. Amerika saja baru meneliti. Ya ayo, kita mulai. Jangan tunggu mereka jadi dulu, baru kita mulai. SDM kita mampu. Nyatanya, ahli pada lari ke luar negeri.

Jadi, lebih baik PLTN thorium?

Sebenarnya, kita Indonesia bisa jadi pioneering. Memang, sudah ada teknologi yang lain lagi. Untuk (memecahkan soal) limbah uranium yang umurnya 10 ribu tahun tadi. Namanya Partial and Transmutation, PNT. Jadi, limbah itu dipartisi, kemudian ditransmutasi, umurnya jadi pendek.

Untuk Indonesia, bagaimana mau mengembangkan itu, wong bahan bakar bekasnya (reaktor nuklir) mesti dikirim ke Amerika?

Kalau mau (PLTN) pakai uranium, uraniumnya saja mesti beli dari luar negeri karena mau memperkaya (kandungan uranium mentah) nggak boleh. Setelah jadi, muncul limbah yang awet 10 ribu tahun. Harus belajar PNT supaya umurnya pendek. Nah, daripada ribet begitu, kan solusi yang paling make sense, practical, ganti saja pakai thorium. Cadangan di Indonesia, banyak. Nggak perlu pengayaan. Mulainya bisa kira-kira 10 tahun lagi maka siapkan dari sekarang. Ini kalau pemimpin kita visioner.

Negara-negara OECD, negara-negara maju, itu karena mereka sudah tahu, limbahnya kayak begitu. Seperti Jerman, itu sudah menutup reaktornya. Di Amerika, tidak ada pembangunan reaktor baru sejak 1970-an. Karena, mereka semua tahu, limbah ini menumpuk. Sehingga, krisis energi kebutuhan listrik dan segala macamnya itu--solusinya lewat nuklir (PLTN), menggunakan thorium.

Untuk membangun PLTN thorium, bisa dari Indonesia sendiri?

Harus berkolaborasi. PLN tentu saja. Kemudian, saya nggak tahu Pertamina tertarik atau tidak. Tapi, harapannya mereka mau. Kemudian, BUMN-BUMN karya. Seperti Waskita Karya. Mereka kan sudah banyak pengalaman untuk (membangun reaktor) nuklir itu. Betonnya seberapa, campurannya seberapa. Jadi, industri dalam negeri bisa dilibatkan. Krakatau Steel, bajanya pakai itu. Sinergi BUMN bisa memberikan lokal konten yang cukup tinggi. n c14 ed: andri saubani

***

Menakhodai BUMN Dhuafa

Di samping menjadi pengajar di Fakultas Teknik UGM Yogyakarta, pakar nuklir ini juga memimpin salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hingga kini, Yudi Utomo Imardjoko menjabat sebagai CEO PT Industri Nuklir Indonesia (Inuki). Perusahaan ini berbasis di Kompleks Puspitek, Serpong, Tangerang Selatan, Banten.

PT Inuki memproduksi radioisotop untuk kepentingan dunia medis. Radioisotop antara lain digunakan para dokter untuk mendeteksi adanya penyakit di dalam tubuh pasien. "Dokter-dokter paling senang kalau menggunakan isotop medis untuk diagnosis karena presisinya tinggi. Untuk deteksi kanker, hati, ginjal, dan sebagainya," ujar Yudi kepada Republika.

Sebagai perbandingan, lanjut Yudi, di negara-negara maju, industri penghasil radioisotop medis mendapat perhatian yang cukup tinggi. Sebaliknya, ungkap Yudi, di Indonesia masih sedikit sekali rumah sakit yang memanfaatkan radioisotop meskipun tingkat efektivitasnya untuk mendeteksi penyakit itu tinggi.

"Perbandingannya, di Amerika, itu 1.500 rumah sakit. Di Indonesia cuma 16 rumah sakit yang memanfaatkan teknologi ini," kata penggemar olahraga tenis ini.

PT Inuki sendiri dahulu bernama PT Batan Teknologi. Berdiri pada 1996, tugas utama PT Inuki mengimplementasikan hasil-hasil penelitian nuklir Batan untuk kepentingan bangsa. Dalam perkembangannya, ungkap Yudi, PT Inuki menjadi di bawah Kementerian BUMN sedangkan Batan di bawah Kemenristek Dikti.

Dikatakan Yudi, baik PT Inuki maupun Batan, merupakan investasi jangka panjang yang digagas oleh mantan menteri riset dan teknologi BJ Habibie. Ini agar Indonesia bisa memakai alat teknologi ciptaan anak bangsa sendiri. Direncanakan sejak 1996, hasil riset Batan dan produk PT Inuki mengarah pada terwujudnya PLTN pertama di Indonesia. Namun, visi ini kandas di tengah jalan ketika era Reformasi datang. Perhatian pemerintah menjadi minim kepada dunia riset energi nuklir.

"Semua berpikirnya jangka pendek. Harus ada yang bisa berpikir, ini Indonesia mau dibawa ke mana. Karena, tanpa teknologi, nilai tambah (ekonomi) itu tidak ada," ucap dia.

Dampaknya, PT Inuki sulit menjadi besar. Yudi menjelaskan, minimnya perhatian pemerintah tampak dari banyaknya alat produksi yang dibiarkan rusak sangat lama. Sehingga, banyak rumah sakit mesti menunggu empat bulan lamanya untuk mendapatkan radioisotop medis.

"Peralatan-peralatan kita rusak sudah cukup lama, 90 persen rusak. Minta PMN, nggak dikasih. Terus maunya apa negara ini? Kalau memang pemerintah nggak mau memerhatikan, ya tidak usah dikembangkan kedokteran nuklir," kata dia.

"Memang, ini perusahaan BUMN yang dhuafa. Istilahnya Pak Dahlan (mantan menteri BUMN) itu. Tapi, saya setuju karena ya memang nggak bisa berkembang," sambung penyuka musik Koes Plus ini.

Terkait PLTN thorium, Yudi menyebut, pihaknya bisa menyediakan SDM yang berkualitas. Namun, soalnya tetap setali tiga uang: minimnya perhatian pemerintah. Ini, kata Yudi, terbukti dengan banyaknya lulusan jurusan teknik nuklir pada kampus-kampus terkemuka Tanah Air yang lebih memilih berkiprah di luar negeri. "Mahasiswa-mahasiswa saya mengatakan, Pak, kalau ada pembangkit listrik tenaga nuklir, kami siap pulang. Tapi, mereka di luar negeri itu di perusahaan-perusahaan nuklir yang terkenal." n c14 ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement