Selasa 26 May 2015 15:00 WIB

Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika: Broadband Diharapkan Jadi Warisan Jokowi-JK

Red:

Setelah enam bulan menjabat menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara menyempatkan diri untuk menerima wawancara khusus dengan Republika terkait visi dan misinya sebagai menteri di Kabinet Kerja. Berikut petikan wawancaranya dengan Mas Alamil Huda yang disajikan dalam rubrik "Wawasan" kali ini.

Apa yang membedakan menjadi menteri dan mengelola perusahaan?

Sebetulnya, kalau kita mengelola, konsepnya hampir sama. Di korporasi yang dikelola pada akhirnya indikator terakhir adalah bagaimana mengamankan cash flow. Kemudian, dilihat juga dari sisi balanced (keseimbangan) dan akhirnya laba ruginya. Cuma kalau di korporasi semua itu lebih ke keuangan. Sedangkan, di pemerintahan adalah masyarakat.

Contoh dari sisi laba rugi berapa masukan, berapa pengeluaran. Kemudian, kalau ada selisih, jika lebih besar pendapatan, jadinya laba. Kalau dari sisi pemerintahan, menghitungnya adalah masyarakat. Berapa yang diperoleh masyarakat dan berapa masyarakat yang kontribusikan. Sehingga, diharapkan ada selisih berapa masyarakat yang dapatkan dengan yang mereka kontribusikan.

Apa pekerjaan rumah yang akan dituntaskan di Kementerian Kominfo?

Kalau kita bicara Kominfo mau apa lima tahun ke depan, kita tak perlu lagi bikin visi misi dan sebagainya. Nanti terlalu berfokus kepada paper atau kepada sesuatu yang terlalu idealis tapi tidak bisa diimplementasikan. Visi misi ya sama dengan pemerintah. Visi misi Presiden dan Wakil Presiden sudah jelas, Nawacita dan sebagainya.

Kita sebagai leader di sektor kementerian menerjemahkan dan mengeksekusinya. Jadi, manajer yang bagus sajalah. Tidak usah bikin visi misi. Itu kan sudah ada. Nawacita diturunkan menjadi RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negara) dan seterusnya. Perannya pertama, Kominfo menjadi bagian dari pemerintah. Kominfo juga harus fokus apa yang dilakukan pemerintah untuk menunjang program-program yang difokuskan pemerintah.

Pemerintah kan fokusnya pertanian, energi, kemaritiman, pariwisata, infrastruktur industri, pembangunan sumber daya manusia, dan pengembangan wilayah perbatasan. Kominfo harus bisa memfokuskan dirinya untuk menunjang pemerintah. Misalkan, di kemaritiman, apa yang dilakukan. Kominfo tidak kementerian sendiri tapi bersama industrinya. Karena, masyarakat harus merasakan langsung. Masyarakat tidak bisa merasakan langsung terhadap sebuah kebijakan, tapi kalau jenis layanan, masyarakat bisa merasakan langsung.

Contoh, misalkan, di kelautan, bagian dari kemaritiman, operator menyiapkan sudah melakukan pilot project bagaimana meningkatkan produktivitas nelayan. Launching di Lombok. Nelayan diberikan handset. Jadi, ada operator kerja sama dengan USAID diberikan handset. Handset itu aplikasi. Aplikasinya adalah tentang cuaca. Jadi, sebelum pergi melaut, nelayan tahu berapa hari ke depan cuaca seperti apa. Gelombang, dll.

Kedua, aplikasi lokasi tentang plankton. Nelayan tahu plankton ada di mana, jadi nelayan bisa mengarahkan kapalnya dan nggak feeling-feeling lagi. Biasanya ikan kan mengikuti plankton. Kementerian Kominfo bukan ada sendiri di republik ini. Kami menjadi bagian dari 34 kementerian. Kominfo harus bisa mendukung program pemerintah yang dilakukan kementerian lain. Tidak boleh ada ego sektoral.

Kita harus melihatnya bagaimana kementerian saling menunjang. Kominfo juga harus berpikir bagaimana menunjang kementerian lain yang mana kementerian tersebut menjadi leader yang menjadi fokus utama pembangunan pemerintah.

Bagaimana dengan program Kominfo sebagai leading sector di kementerian sendiri?

Sebagai leader, kita manajemen di bidang telekomunikasi, internet, dan penyiaran. Di telekomunikasi, fokusnya implementasi broadband atau pita lebar. Ada fixed broadband dan mobile broadband. Fixed kita banyak dibantu Telkom. Karena, Telkom punya delapan juta pelanggan dan membangun tambahan-tambahan lain untuk fixed broadband. Kedua, kita dorong dan cepat bisa mengkover masyarakat adalah mobile broadband seluler dengan menerapkan teknologi 4G.

Kita punya roadmap jelas, 900 megahertz (MHz) sudah kita pasang, 1.800 MHz sedang dilakukan penyesuaian dan migrasi. Sudah dimulai 4 Mei 2015 kemarin di Maluku. Minggu ini (pekan lalu) sedang di Papua. Kemudian, bertahap terus ke Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, terakhir di Jakarta sekitar bulan November tahun ini selesai migrasi.

Selesai penyesuaian frekuensi lagi kemudian nanti kami serahkan ke operator, siapa yang  duluan. Karena, harus dijaga pula aspek kompetisinya agar masyarakat punya pilihan. Tapi, praktis akhir tahun sudah bisa 4G pada 1.800 MHz. Kemudian tahun depan, 2100 MHz. Juga tahun depan, semester ke dua, 2.300 MHz. Jadi, kita harapkan 2016 selesai.

Saya berharap, pindah ke digital penyiaran. Karena pembahasan revisi UU Penyiaran tahun ini. Bagaimana mengimplementasi penyiaran digital di Indonesia khususnya televisi. Saya berharap, digitalisasi tetap berjalan. Kalau 2018 kita tetap patok menjadi tahun di mana dilakukan automatic switch off. Atau, digital bermigrasinya tahun 2018, kita sudah tahu frekuensinya, di mana yang tadinya digunakan untuk televisi analog bisa digunakan untuk broadband.

Jadi, setelah 2.300 MHz nanti kita pindah lagi 4.500 kemudian 8.500 MHz. Kita tinggal disiplin mengimplementasikan. Sehingga, harapan saya, broadband ini menjadi warisan dari pemerintahan Jokowi-JK. Broadband ini juga bukan untuk menghidupi dirinya sendiri. Pertumbuhan ekonomi bisa digerakkan dengan menggunakan broadband.

Bagaimana implementasinya?

Contoh, misalnya, bagaimana menurunkan biaya penyelenggaraan agar nanti diturunkan biaya ke pelanggan per kilobyte (Kb). Kalau sekarang kan per menit. Ke depannya, karena data jadi per Kb. Caranya didorong efisiensi kerja sama antaroperator, infrastruktur sharing. Tidak usah bangun, sharing saja, saling memakai. Kemudian, kalau perlu terjadi konsolidasi dari industri.

Sekarang, ada operator tujuh, nanti tinggal tiga atau empat. Kalau terjadi konsolidasi, skala ekonomi meningkat. Akibatnya pembeli barang lebih murah. Kalau biaya operator lebih murah, diharapkan akan berimbas kepada pelanggan. Prinsipnya, lebih cepat, lebih besar kapasitasnya, lebih murah per unit cost-nya. Kalau masyarakat menggunakan lebih besar, mungkin yang digunakan lebih banyak tapi per unit cost-nya lebih murah.

Kemudian, bagian internet fokus pada cyber security, e-government, dan e-commerce. E-commerce penting karena nilai commerce 2014 sudah 12 miliar dolar AS di Indonesia. Padahal, kita harus mengintegrasikan dan menyinergikan semua kebijakan agar mendukung e-commerce Indonesia. Jadi, sedang disiapkan roadmap e-commerce Indonesia dan bulan Agustus selesai. Itu melibatkan enam sampai delapan kementerian dan lembaga. Contoh dari sisi logistik seperti apa, fiskal atau pajak seperti apa, payment system. Karenanya, BI juga terlibat di situ.

Dari sisi kebijakan investasi, sekarang masih masuk BNI. Padahal, kita butuh investor masuk Indonesia. Tapi, kalau dibuka bagaimana kita juga memproteksi UKM yang 55 juta. Apakah mereka (investor) boleh masuk, tapi transaksinya minimal Rp 100 miliar sehingga tidak masuk ke UKM. Banyak yang harus dipikirkan. Dan terakhir, digitalisasi penyiaran. Kita akan pindah ke digital, migrasi ke digital. Bersamaan dengan tahun ini revisi UU Penyiaran sudah masuk prolegnas.

Bapak pernah menyatakan memiliki mimpi mewujudkan Indonesia bebas internet . Bagaimana mewujudkannya dan apa hambatannya?

Kalau bebas yang dimaksud dalam arti tidak bayar rasanya tidak begitu saja tidak bayar karena harus ada yang membangun. Membangun ini sebetulnya bisa dilakukan industri yang orientasinya adalah orientasi bisnis. Tetapi, juga bisa ditunjang oleh pemerintah melalui program universal service obligation (USO). Saya sendiri sebetulnya berasal dari industri atau operator. Jadi, konsep di Indonesia, bisnis TIK itu, diperbolehkan mereka memilih tempat untuk beroperasi.

Misalnya, hanya ada yang ingin di kota besar, silakan. Tapi mereka, operator atau industri harus memberikan kontribusi juga untuk membangun berdasarkan kewajiban pelayanan umum atau USO. Jadi misalnya, boleh-boleh saja di Jakarta tapi kamu juga punya kewajiban membangun di wilayah lain di Indonesia.

Karena, semua masyarakat Indonesia di manapun berada mempunyai hak yang sama mendapatkan akses. Apakah itu layanan TIK, apakah itu telepon, internet, data, dan sebagainya. Konsepnya itu. Kalau dikatakan bebas gratis, mungkin beberapa kelompok masyarakat bisa demikian. Tapi, secara umum di Indonesia tidak. Nomor satu bukan gratisnya, tapi ketersediaan akses.

Kemenkominfo sempat disorot mengenai pemblokiran situs-situs Islam beberapa waktu lalu. Banyak yang mengatakan, pemblokiran situs-situs tidak boleh dilakukan tanpa seizin pengadilan. Sebenarnya, bagaimana mekanisme pemblokiran situs di Indonesia?

Saya tarik yang lebih besar. Itu bagian dari cyber governance. Kominfo punya kewenangan atas itu. Begini, dunia maya, internet itu kontennya luar biasa beragam, dari positif sampai negatif. Harus meng-address yang "negatif', yang tidak sesuai budaya kita, bertentangan dengan UU, dan sebagainya. Kominfo punya kewenangan, katakanlah untuk blokir. Punya kewenangan jelas. Dasarnya ada, UU ITE, dan lain-lain.

Kominfo juga punya tanggung jawab. Jadi, kewenangan itu harus selaras dengan tanggung jawab. Kewenangan tanpa tanggung jawab itu tirani namanya. Anda punya tanggung jawab, tapi tidak punya kewenangan itu timpang, sama saja bohong. Ini harus disertai kemampuan atau kompetensi. Dalam hal ini, saya melihat Kominfo punya tanggung jawab dan kewenangan. Tapi, kapasitas dan kompetensi tidak ada.

Sekarang "konten negatif" itu apa? Pornografi, radikalisme, SARA, banyak kategorinya. Kalau Kominfo harus ahli di masing-masing bidang, Kominfo akan besar sekali. Karenanya, kami meminta bantuan ke tokoh masyarakat, ahli, dan lain-lain untuk duduk dalam panel yang melakukan penilaian atas konten-konten yang dianggap negatif dari pengaduan masyarakat. Nanti panel ini melakukan penilaian dan member rekomendasi. Sehingga, sebagai Kominfo, pada saat mengeksekusi lebih bagus karena prosesnya transparan, akuntabel, dan lebih jelas. Tapi, decision maker tetap Kominfo. Tanggung jawab tak bisa dilimpahkan. Kewenangan bisa didelegasikan, tapi tanggung jawab tidak. Agar prosesnya bagus, transparan, dan akuntabel, bisa dipertanggungjawabkan kami minta bantuan panel.

Mengapa sebegitu mudah Kominfo memblokir, tiba-tiba kemudian beberapa diaktifkan kembali. Bukankah memblokir berdasarkan rekomendasi tim panel itu?

Kita kan ada sifatnya preventif. Bisa saja pemblokiran sifatnya sementara karena dianggap meresahkan masyarakat, kita blokir kemudian evaluasi. Tapi, tidak sembarangan, tetap ada rekomendasi. Sekarang, siapa institusi yang kita anggap paling berkompeten untuk masalah terorisme? BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), kan?

Kamu mau dengar tidak kalau mereka mengatakan A atau B tentang terorisme. Sebagai lembaga negara harus didengarkan. Kembali, Kominfo ini bermain dalam sistem di pemerintahan. Tidak suka-suka. Misalkan, kamu bilang ada situs radikal, begini kemudian langsung kita blokir. Tidak bisa begitu juga.

Mengapa kemudian tim panel baru berjalan setelah pemblokiran dilakukan?

Panel itu sudah disiapkan sejak bulan Januari 2015. Karena ini kan tokoh masyarakat. Dan, saya minta bantuan. Saya kan telepon ke mereka minta bantuan. Ada proses. Ketika proses pembuatan panel ada kejadian itu.

Apakah selain BNPT, Kominfo tak meminta rekomendasi dari Dewan Pers?

Kok, Dewan Pers. Tidak ada dari Dewan Pers menyatakan yang diblokir itu pers. Mereka terdaftar tidak? Kalau berdasarkan UU Pers, jika mereka menyatakan bagian dari pers, mereka harus terdaftar. Ada nggak? Tidak. Jadi, kita perbaiki sistem bagaimanapun. Kita tidak boleh kecolongan.

Soal internet, selain radikal ada juga konten-konten negatif lain seperti pornografi dan lain-lain?

Kalau situs pornografi itu memang tidak akan pernah berhenti kalau menurut saya. Karena, di bagian belahan dunia sana, namanya pornografi itu menjadi industri. Dan, itu tidak dilarang. Beda dengan negara kita. Kalau kita ada UU Pornografi. Dan, internet bukan milik Indonesia, tapi dunia. Dari berbagai belahan manapun akan masuk ke situ.

Kami tentu menangani. Karena, situs pornografi di negara sana sesuatu yang legal, jadi mereka menjajakan situsnya ke publik agar mudah dikenal. Karena mudah dikenal maka pencariannya lebih mudah. Misalnya, ada indikasi esek-esek mungkin kaitannya dengan pornografi. Tapi, kalau situs radikal, mana ada orang terang-terangan mengajak "ayo radikal". Seingat saya, hampir 900 ribu situs pornografi yang sudah diblokir sampai hari ini sejak beberapa tahun lalu. Dan, itu setiap hari muncul lagi dan lagi, terus seperti itu.

Bagaimana dengan prostitusi lewat media pribadi seperti Twitter dan pesan singkat?

Kita tahu bedanya antara situs dengan messaging system. Kalau itu SMS juga bisa, kan. Lebih gampang mana? Internet, kan. Kalau situs itu kan istilahnya mem-broadcast. Dia membuka diri ke siapa pun, itu lebih mudah. Kalau satu-satu lebih susah. Tapi, bukan berarti tidak di-address. Kita melihatnya tidak hanya berdasar isu yang ada. Tapi, berdasar laporan masyarakat yang ada. Semakin banyak yang melapor, kita makin senang. Kita makin terbantu.

Kita memang tidak akan pernah selesai berusaha. Karena, akan selalu ada hal-hal seperti itu. Tapi, kita harus melihat, mengapa mereka melakukan prostitusi online. Meskipun itu bukan ranah Kominfo, itu juga harus di-address. Bagaimana meng-address isu ini, semua stakeholder harus bergerak. Kalau, misalkan, hanya di Kominfo yang mengurus internet saja, meskipun diblok apakah prostitusinya hilang? Online ini salah satu cara. Akar masalahnya apa? Jadi, semua harus bergerak. Kalau ada yang melaporkan, tidak harus melaporkan tapi harus ada cek. n ed: andri saubani

***

'Sedikit-Sedikit Bilang, Izin, Pak, Saya kan Bingung'

Ketika menduduki jabatan sebagai seorang menteri, Rudiantara merasa bingung dengan kebiasaan di tempat barunya. Bentuk penghormatan dari bawahan membuatnya heran dan sempat bertanya-tanya sejak kapan kebiasaan itu terjadi. Bagi Menteri Komunikasi dan Informatika, hal itu berlebihan.

"Kaget saya, kan bingung juga. Masak ketika rapat mau menyampaikan pendapat bilang dulu, 'izin, Pak'. Dikit-dikit bilang 'izin, Pak'. Ngapain minta izin sama saya. Kalau tak saya izinkan terus kenapa? Pada ketawa semua," kata Rudi sembari tersenyum saat ditemui Republika, di kantornya pekan lalu.

Sebelum menjabat sebagai menteri, Rudi memang seorang profesional di bidang telekomunikasi. Berbagai jabatan tinggi di perusahaan telekomunikasi pernah dia emban. Namun, pria kelahiran Bogor 56 tahun lalu itu pun tak pernah mengalami seperti yang terjadi di Kemenkominfo.

Meski demikian, Rudi sadar bahwa itu adalah bentuk rasa hormat sebagai "orang timur". Dia memahami apa yang dilakukan orang-orang di lingkungan Kemenkominfo. Tapi, dia berharap hal itu tidak dilakukan berlebihan. Rasa hormat, bagi dia, bisa dilakukan dengan tidak saling menyakiti perasaan antarsesama.

Rudi menambahkan, kecepatan saat berkendara di jalan raya dengan pengawalan ketat juga membuatnya ingat saat dirinya menjadi "penonton". Melihat rombongan menteri dengan pengawalan ketat, kemudian dengan seenaknya menerobos rambu-rambu. Dia pun merasa kesal ketika ikut antre bersama masyarakat lain ketika dulu.

Alumnus Universitas Padjadjaran Bandung ini pun berpesan kepada ajudan dan pengawalnya untuk tidak melanggar aturan. "Saya bilang awas karena saya pernah menjadi yang ikut antre, masak sekarang saya begitu juga. Karena, pada akhirnya, di luar ini kita adalah masyarakat biasa," ujar dia.

Staf keamanan menteri, Fauzi Harianto, mengatakan, bosnya di Kemenkominfo itu pun sering tak mau dilayani untuk hal-hal sepele. Rudi, kata Fauzi, selalu membawa tasnya sendiri dan menolak jika ditawari untuk dibawakan. Bahkan, hanya sekadar dibukakan pintu mobilnya saat tiba di kantor pun Rudi tak mau. "Nggak tahu saya, beliau selalu menolak untuk urusan begitu-begitu. Soalnya biasanya yang dulu gitu, semua harus siap sebelumnya. Lift harus sudah stand by naik ke lantai ruangannya Pak Menteri. Tapi, yang sekarang tidak mau begitu," kata Rudi. n ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement