Selasa 28 Apr 2015 15:00 WIB

Ahmad Sofian, Koordinator Nasional ECPAT Indonesia: Eksploitasi Seksual Anak di Indonesia Meningkat

Red:

ECPAT adalah jaringan global organisasi nonpemerintah yang bergerak dalam upaya penghentian eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) yang meliputi perdagangan seks anak, pelacuran seks anak, pornografi anak, pariwisata seks anak, dan perkawinan anak. Bagaimana fenomena ESKA di Indonesia dan penanggulangannya? Berikut wawancara dengan Koordinator Nasional ECPAT Indonesia Ahmad Sofian.

Bisa diceritakan sejarah perjalanan ECPAT Indonesia?

ECPAT Indonesia itu sebenarnya sebuah jaringan nasional untuk menghapus eksploitasi seksual anak. Jadi, di dalamnya itu ada member, organisasi sosial, individu, atau LSM. Nah, LSM-LSM ini pada 2003 mengadakan pertemuan nasional untuk menginisiasi pembetukan ECPAT Indonesia. ECPAT itu jaringan global, tapi pembentukannya harus dari bawah.

Pada 2003 sekitar 17 LSM yang bergerak di bidang perlindungan anak melakukan konsultasi nasional untuk membentuk ECPAT Indonesia. Pada 2004 didaftarkan ke ECPAT Internasional. Baru, pada 2005 ada keputusan ECPAT Internasional mengakui ini bagian dari afilisasi ECPAT Internasioal. Pada 2011 kita dapat pengakuan dari ECPAT Internasional terbentuknya ECPAT Indonesia. Jadi, prosesnya memang panjang.

Waktu masih koalisi nasional itu kantor kita malah berpindah-pindah. Pada 2005-2008 di Jakarta, kemudian 2008 pindah ke Medan, ke Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), 2011 kita pindah ke Jakarta dan sejak itu ditetapkan harus memiliki kantor tetap.

Visi, misi, dan ruang lingkup kerja ECPAT Indonesia?

Visi kita mimpi menghapuskan praktik-praktik eksploitasi seksual anak di Indoneisa (prostitusi anak, pornografi anak, perdagangan seks anak, dan pariwisata seks anak). Program kita untuk merealisasikan visi tersebut, bagaimana mengadvokasi perubahan kebijakan. Kebijakan di bidang penangggulangan eksploitasi seksual termasuk kepada perlindungan, bahkan pada kiriminalisasi pelaku kriminalisasi ekspoitasi sekual anak.

Yang kedua, kita melakukan data riset dan kajian-kajian. Karena data mengenai ekspoitasi seksual anak di Indonesia itu belum banyak. Yang ketiga, penguatan kapasitas lembaga penegak hukum dan pemerintah yang bekerja di bidang perlindungan anak. Dan, mendorong masyarakat sipil untuk memahami bahaya eksploitasi seksual anak. Di samping ada program lain, seperti penguatan anggota karena ECPAT Indonesia saat ini memiliki 24 anggota, ada di 12 provinsi. Kita kuatkan agar mereka memiliki strategi-strategi yang jitu berdasarkan situasi lokal.

Seberapa bahaya ECPAT melihat fenomena eksploitasi seksual anak? Bisa dijelaskan dalam data?

Secara global, ECPAT mencatat, di dunia satu sampai dua juta anak menjadi korban eksploitasi seksual. Data ini juga diakui oleh UNICEF. Bagaimana di Indonesia? Di Indonesia data itu bervariasi, dalam artian, UNICEF menduga, ada sekitar 70 ribu anak Indonesia yang mengalami eksploitasi seksual setiap tahunnya. Itu data pada 1998. Kami menduga, data itu meningkat sekitar 30 persen, artinya sekarang sekitar 100 ribu anak menjadi korban.

Kenapa kami duga meningkat? Karena tidak ada upaya-upaya konkret pemerintah. Misalnya, upaya panggulangan perdagangan seks anak. Berapa kemampuan pemerintah? Nggak sampai ribuan, paling ratusan. Setiap tahun. Itu yang perdagangan, belum lagi yang prostitusi anak. Porstitusi anak di Indonesia masalahnya adalah belum menjadi perbuatan kriminal.

Belum ada satu pun undang-undang (UU) yang menyebutkan bahwa membeli seks anak adalah perbuatan kriminal dan pelakunya bisa dihukum. Pornografi anak malah massif sekarang di media online, baik yang dilakukan sindikat atau dilakukan oleh teman sebaya. Menjual gambar video mentransaksikan gambar tersebut.

Pola-pola eksploitasi seksual sekarang semakin canggih. Menggunakan media sosial, Skype, dan lainnya. Jadi, varian-varian eksploitasi seksual meningkat dibandingkan dengan satu tahun lalu di mana transaksi seks faktual; bertemunya antara pelaku dan penjual. Sekarang tidak, melalui media online bisa.

Ada nggak satu kasus yang ditemukan ECPAT Indonesia untuk membenarkan asumsi peningkatan jumlah kasus itu?

Peningkatan itu begini. Kita melakukan kajian pada 2009 di lima kota untuk melihat fenomana. Di masing-masing kota kita mewawancarai informan. Dan, untuk mendapatkan informan anak itu sulit pada waktu itu. Lalu, pada 2011 yang sebelumnya kami tidak menemukan boys prostitution kami menemukan anak laki-laki terjun dalam prostitusi anak. Di Surabaya, berhasil kami wawancara 20 anak, di Jakarta lima, di Bandung 10. Di Medan, wawancara lima anak. Pada 2009 tidak ada itu.

Pada 2012 kita melakukan penelitian ulang. Kami menemukan varian lain. Yaitu, eksploitasi seksual melalui dunia online. Yang 2009 itu tidak ditemukan. Jadi, mereka punya Facebook menjual kepada konsumen pakai Facebook, Twitter, ada juga blog prostitusi anak.

Di Indonesia, catatan Facebook pada 2013, mereka laporkan ke Mabes Polri adanya 18 ribu akun yang dicurigai sebagia akun yang dipakai untuk transaksi seksual anak. Itu laporan dari Facebook yang berkantor di Singapura kepada Mabes Polri. Dan, laporan itu harus diselidiki dong. Itu baru dari Facebook.

Pada 2013 kami lakukan penelitian lagi soal perdagangan seks anak. Perdagangan seks anak juga meingkat. Di lokalisasi-lokalisasi yang sebenarnya untuk orang dewasa, kami juga menemukan anak-anak di situ. Waktu itu, penelitiannya di tiga tempat, ada di

Kupang, Surabaya, dan Jakarta Barat. Dari tiga lokalisasi yang kita survei itu luar biasa jumlah anak-anaknya, lebih dari 30 persen.

Apa pengakuan mereka? Penyebab mereka terjun ke dalam dunia prostitusi?

Motivasinya beda-beda. Kalau kita lakukan pertanyaan untuk prositusi online, jawabannya adalah lifestyle. Pemenuhan kebutuhan, bukan masalah kondisi ekonomi. Yang kedua adalah peningkatan jumlah pembeli seks anak. Jadi demand meningkat. Ternyata, tren terbaru sejak 2012 mereka (konsumen) lebih suka pada anak-anak belasan tahun.

Karena permintaan meningkat, sindikat memanfaatkan itu. Mereka mencari anak-anak. Jadi, bukan karena faktor ekonomi semata. Kalau soal ekonomi nggak akan selesai di Indonesia. Jadi, yang perlu diatasi adalah bagaimana mengubah perilaku para pembeli seks anak.

Bagaimana cara mengubahnya?

Nah, cara satu-satunya yang kami yakini adalah memberikan kriminalisasi. Undang-undang harus clear, tegas menyebutkan bahwa membeli seks anak adalah sebuah kejahatan serius. Pasal itu belum ada. Di UU Perlindungan Anak tidak ada yang mengatur itu. Yang diatur adalah perbuatan cabul atau membujuk anak, memaksa anak melakukan persetubuhan. Hanya dua pasal.

Prostitusi anak beda dengan perbuatan cabul. Ada kalanya, mereka hanya karena lifestyle. Tapi, kan implikasinya besar. Mereka jadi berhenti sekolah, mereka juga kena drugs, merokok, dan gaya hidup hedonisme lainnya. Jadi, bukan semata seks yang membuat mereka rusakm, tapi sikap konsumerisme. Jadi, satu-satunya cara adalah menekan demand.

Tapi, tergantung juga karakteristik pelakunya. Karena ada juga pembeli seks anak karena penyakit, pedofillia, misalnya. Pendekatannya tidak mellalui kampanye atau penegakan hukum. Tapi, ini orang harus direhabilitasi. Cuma memang biayanya lebih mahal sehingga harus ada mekanisme hukum yang bias mengambil biaya rehabilitasi dari harta pelaku yang biasanya para pedofillia umumnya adalah orang-orang mampu. Pelaku pedofillia ini jumlahnya sedikit, tapi jumlah korbannya banyak.

Kalau vonis-vonis yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan seksual anak bagaimana?

Ada, tapi kecil. Tahun lalu, kami melakukan pendampingan terhadap 12 kasus. Dari 12 itu yang ditindaklanjuti, cuma dua oleh polisi. Itu yang sudah kita dampingi, kita kasih buktinya.

UU Perlindungan Anak tuntuan maksimal 12 tahun, revisinya ditingkatkan ancaman maksimal jadi 15 tahun. UU harus memiliki kecenderungan yang berbeda dalam menghadapi fenomena eksploitasi seksual anak karena korbannya tidaknya nyata dalam artian tidak mau melaporkan, tidak mau menjadi saksi korban. Jadi, harus dibedakan pasal membujuk rayu untuk persetubuhan dengan melakukan pencabulan.

Saat revisi UU Perlindungan Anak, kita waktu itu sudah usul, misalnya, masukan hukuman restitusi (membayar biaya pemulihan pada korban). Memang dimasukkan, tapi hanya satu pasal dan pengaturan lebih lanjut tentang hukuman restitusi akan diatur lebih lanjut dalam PP. Nggak bisa seperti itu. UU itu harus final, jangan diatur lagi.

Kami juga usul pasal membeli seks pada anak dipidana, termasuk percobaan membeli seks pada anak dipidana. Tapi, itu tidak dimasukkan dalam revisi. Memang komitmen penagakan hukum dan pembuat UU untuk menghapus eksploitasi anak tidak begitu baik di Indonesia. Termasuk, skill penegak hukum dalam mengindentifikasi kejahatan-kejahatan seksual anak, khususnya yang sekarang marak beredar di media online.

Kasus Jakarta International School (JIS) bagaimana ECPAT menilainya?

Jadi, di hampir lembaga pendidikan kita, kalau saya menyebut 99 persen rekrutmen terhadap guru dan tenaga pendidik itu tidak pernah melihat rekam jejak. Yang dilihat ijazah, kualifikasi akademik. Kualifikasi yang sifatnya fisik, tapi tidak dilihat psikologisnya. Kecenderungan pelaku kejahatan seksual itu adalah bagaimana bisa bekerja di institusi yang bisa dekat dengan anak. Mereka akan memilih profesi sabagai guru. Guru, figurnya lebih tinggi dihormati oleh anak-anak.

Rekrutmen guru tidak pernah melihat latar belakang mentalitas calon tenaga pendidik. Kemudian, kebijakan perlindungan anak di sekolah yang mengawasi atau tidak ada unit di sekolah yang mengawasi perilaku anak-anak di sekolah. Bukan hanya BP. Kalau BP kan untuk konseling, tapi tidak mengawasi orang-orang yang melakukan kekerasan seksual. Harusnya, guru BP punya keahlian mengendus perilaku kejahatan seksual anak.

Jadi, kalau di JIS atau sekolah internasional lain melakukan itu dan sekarang ini memang dalam kondisi yang gawat. Apalagi, profesi guru saat ini favortit karena gaji yang besar. Sekarang, kita buat statement ke menteri yang baru agar pola rekrutmen diubah. Dan, buat unit perlindungan di sekolah. Termasuk, mekanisme pelaporan. Jadi, mekanisme penyelidikan internal di sekolah dulu, baru setelah diperoleh bukti-bukti diserahkan ke kepolisian untuk ditindaklanjuti. Kebijakan nasional kita belum sampai pada tahap itu. Oleh Andri Saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement