Selasa 17 Mar 2015 14:00 WIB

Ahmed Fekry Ibrahim, Guru Besar Hukum Islam Institut Studi Islam McGill Montreal Kanada: Hukum Islam Harus Tetap Relevan

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

Guru Besar Hukum Islam Institut Studi Islam McGill Montreal Kanada, Ahmed Fekry Ibrahim, pada awal Maret 2015 mengunjungi Indonesia untuk melihat kondisi Muslim dan penerapan hukum Islam di Tanah Air. Tantangan umat Islam dalam menyikapi modernitas dan pemahaman kaku dalam menyikapi perbedaan mazhab menjadi fokus kajiannya. Ibrahim pun meluangkan waktunya kepada Republika untuk berbagi pemikiran dalam menyikapi isu-isu umat Islam, terutama berkaitan dengan hukum Islam. Berikut petikan wawancaranya.

Penerapan hukum Islam dalam masyarakat Muslim sering menjadi masalah karena keberagaman dan perbedaan cara pandang. Bagaimana Anda menyikapi hal ini?

Keberagaman tentu adalah hal yang baik. Berawal dari hal itu, banyak reformasi dilakukan dan saya pun menulis buku tentang pluralisme dan eklektisisme. Melalui eklektisisme, gagasan yang ditawarkan adalah Anda bisa memilih pandangan dari mazhab yang berbeda. Ada pandangan dominan dalam masyarakat yang mencoba membatasi keberagaman. Keberagaman sering kali tak sesuai dengan satu sistem hukum sehingga tercipta hierarki di antara perbedaan pandangan dengan meninggikan satu mazhab dominan.

Keberagaman memang penting, tapi kita sering berlebihan dalam menyikapinya. Dalam memandang suatu isu tentang Islam, pasti akan ada perbedaan karena terdapat banyak opini. Saya rasa kita harus menengok sejarah untuk menimbang kembali cara kita membuat suatu interpretasi.

Buku saya akan keluar bulan depan dengan judul Pragmatisme dalam Hukum Islam, dan itu sangat berkaitan dengan pertanyaan ini. Saya telah menulis sejarah eklektisisme. Eklektisisme sendiri adalah mengambil dan memilih pandangan yang paling tepat untuk suatu masalah dari mazhab yang berbeda. Di Mesir, Suriah, dan juga di Indonesia banyak orang melakukan itu. Menggunakan opini dari mazhab lain bertujuan untuk memudahkan hidup umat dalam menyelesaikan suatu keraguan hukum.

Pelaksanaan tersebut terlegitimasi oleh para pembuat hukum dan sudah didiskusikan selama ribuan tahun yang lalu. Mayoritas pembuat hukum pun sudah menerima hal itu, terutama setelah abad ke-13 Masehi meski sebelumnya terjadi banyak pertentangan. Artinya, hal ini sudah menjadi perbincangan, bahkan sebelum modernitas datang.

Tujuan pemikiran ini tentu untuk memberikan jawaban dari beberapa pertanyaan yang kita hadapi saat ini. Suatu hukum Islam tidak bisa memberikan semua jawaban, salah satu solusinya adalah dengan eklektisisme. Jika suatu masalah sulit diselesaikan menggunakan Syafi'i,  gunakanlah mazhab Hanafi. Mayoritas masyarakat Indonesia memang menganut mazhab Syafi'i, tapi dalam beberapa isu dapat mengikuti mazhab lain.

Legitimasi hal itu dalam penerapannya di pengadilan pun sudah pernah diterapkan. Jika melihat sejarah Islam, sejumlah rezim telah menerapkan eklektisisme. Meski begitu, terkadang muncul isu yang menimbulkan masalah dalam masyarakat dan bahkan eklektisisme tak mampu menjadi solusi. Jika hal ini terjadi, Islam memberikan jalan keluar yaitu melalui ijtihad.

Seberapa penting penerapan hukum Islam, terutama dalam suatu negara dengan mayoritas Muslim seperti Indonesia?

Ketika kita membicarakan hukum, kita membicarakan peran negara, meski untuk isu-isu etis lebih diserahkan pada keputusan individual, seperti perbedaan dalam wudhu, apakah harus membasuh sebagian atau seluruh kepala. Atau dalam hal lain, seperti prosedur medis, inseminasi buatan, dan lain-lain tentu hal itu dapat diserahkan pada pilihan individu. Walaupun sesekali ada campur tangan pemerintah dalam isu ini, saya harap hal itu tidak terjadi.

Pemerintah justru harus lebih peduli pada isu-isu legal seperti perceraian atau poligami. Karena hal itu adalah tatanan sosial dan negara memiliki tanggung jawab untuk mengaturnya. Saya prihatin karena mendengar kondisi perempuan di Indonesia justru semakin buruk ketimbang masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Sejumlah hal, seperti praktik keluarga berencana (KB), justru kurang terbina saat ini, padahal hal itu cukup berperan dalam membela hak-hak perempuan.

Jika kita tidak ingin perempuan di Indonesia menjadi lebih buruk, apakah alternatifnya harus kembali ke masa Orde Baru? Saya kira tidak. Saya yakin ada alternatif memperbaiki kondisi perempuan dengan tetap mempertahankan sistem demokrasi. Ini karena pada masa Orde Baru telah terjadi banyak pelanggaran HAM dan kembali ke masa itu bukan hal yang tepat.

Sebenarnya, hukum Islam mengakomodasi penguatan perempuan dan bahkan pengembangan ekonomi. Hukum Islam adalah hukum yang bisa berubah dan memang selalu berubah. Pertanyaan yang muncul apakah masyarakat setuju menginterpretasi ulang dan mengubah hukum Islam untuk mengakomodasi kebutuhan mereka.

Ini adalah keputusan yang terbebankan pada masyarakat. Saya akui, itu bukan pilihan mudah karena ada kelompok yang mengklaim siapa pun yang menentang hukum Islam berarti murtad, bagian dari Barat, atau telah dicuci otak secara budaya. Saya pikir itu adalah tuduhan meski tidak mudah untuk memenangkan argumen tersebut karena banyak negara Islam yang diikuti sejarah hitam kolonialisme sehingga pemikiran modern sulit diterima.

Tapi, bukan berarti hal ini tidak terselamatkan. Saya yakin Muslim saat ini termasuk Muslim di Indonesia sadar bahwa melanggar hak tentu tidak benar. Di level pemerintah, banyak negara Muslim pun sudah menyetujui sejumlah konvensi, seperti tentang hak-hak perempuan dan perlindungan anak. Kajian-kajian tentang HAM juga semakin berkembang dan menyebar.

Apa pendapat Anda terkait Indonesia yang masih menerapkan hukuman mati?

Sebagai sejarawan saya akan memberikan penjelasan terkait perlunya penerapan hukuman mati. Kita perlu mengingat nilai dan alasan sehingga hukuman mati sampai diterapkan. Selain itu, kita juga perlu berpikir mengapa negara memiliki kuasa untuk mengambil kehidupan.

Banyak orang akan menjawab hal itu untuk mencegah orang melakukan pembunuhan atau tindak kriminal yang merugikan masyarakat. Namun, penelitian justru menunjukkan hukuman mati tidak melakukan apa-apa. Jadi, dalam kasus ini, hukuman mati saya rasa tidak mampu membantu menghalangi orang melakukan tindak kriminal.

Apa yang perlu dikerjakan ulama untuk hukum Islam?

Saya pikir sangat penting jika ulama ingin hukum Islam menjadi relevan, mereka harus memperkenalkan pendekatan berbeda yang berlaku lebih radikal dalam metode tafsir. Dalam beberapa dekade, ada sejumlah tokoh yang melakukan terobosan itu, seperti Fazlur Rahman, Gamal al-Banna, dan Muhammad Syahrur.

Harus ada upaya untuk mencoba menjelaskan pesan ilahi dalam Alquran dan penggunaan bahasa manusia menciptakan jarak. Ketika Alquran sampai dengan bahasa manusia, maka bisa saja suatu isu yang berkaitan ketika itu berbeda dengan permasalahan yang dihadapi manusia saat ini.

Masyarakat Muslim pun berubah sangat cepat. Generasi muda mulai mempertanyakan pola pemikiran tradisional. Hal itu pun ditunjang dengan perkembangan ekonomi sehingga seseorang semakin cepat mendapatkan akses informasi. Ulama harus berani menafsirkan kembali. Jadi, jika ingin hukum Islam menjadi tetap relevan, harus memulai penafsiran ulang yang lebih radikal. n c71 ed: andri saubani

***

Berawal dari Inspirasi Masa Kecil di Mesir

Pengalaman Ahmed Fekry Ibrahim ketika tumbuh besar di Mesir menjadi bekal yang tak terlupakan. Bahkan, hal itu terus mendorongnya hingga bisa menjadi guru besar Hukum Islam di Institut Studi Islam McGill di Montreal, Kanada. “Secara umum, saya tertarik pada persoalan HAM karena saya merasakan langsung konflik politik di Mesir ketika saya bekerja sebagai jurnalis pada 1999 hingga 2004,” ujar Ibrahim kepada Republika, belum lama ini.

Ibrahim sebelumnya memperoleh gelar sarjana dari Universitas Al Azhar dan master dari Universitas Amerika Kairo. Sementara, gelar doktoral studi Islam ia terima dari Universitas Georgetown. Kini, Ibrahim fokus mengkaji hukum Islam dan mempelajari sistem pengadilan Islam, terutama pada abad ke-16 hingga 18 Masehi. Ibrahim juga mengkaji penerapan hukum Islam pada era permulaan tepatnya pada abad ke-8 dan 9 Masehi.

Ketertarikan Ibrahim mempelajari hukum Islam berawal dari pengalaman masa kecilnya di Mesir. Ketika itu, ia sering melihat pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan, ketika masih berumur lima tahun, Ibrahim sudah harus menyaksikan kekacauan politik di Mesir usai terbunuhnya Presiden Anwar Sadat.

Ibrahim mengisahkan, periode 1980-an hingga awal milenium baru merupakan momen Islamisasi tumbuh subur di Mesir. Selama 23 tahun hidup di Mesir, Ibrahim menyaksikan cepatnya pertumbuhan gerakan itu dan menjadi penantang rezim Husni Mubarak.

Pada dekade 1990-an, kelompok tersebut marak melakukan pemberontakan. Bahkan, kata Ibrahim, ketika keluar rumah ia menyaksikan terminal bus dan fasilitas umum diledakkan. “Pada 1999, juga terjadi pembantaian turis di Luxor dengan tujuan menjatuhkan rezim waktu itu,” ujar Ibrahim.

Pemberontakan tersebut direspons Pemerintah Mesir lewat kediktatoran Mubarak. Ibrahim mengaku, ketika itu diterapkan berbagai macam pelanggaran HAM. “Saya menjadi saksi langsung dan melihat ketegangan antara Islamis melawan kediktatoran,” ujarnya.

Ibrahim pun berpikir, semestinya ada jalan ketiga sebagai alternatif di antara dua opsi itu. Berawal dari sana, Ibrahim semakin semangat mempelajari hukum Islam untuk semakin memahami kerangka pemikiran Islamisme. Ia pun berupaya untuk menghindari kediktatoran dan berusaha mencari solusi untuk menegakkan perlindungan HAM.

“Selain pada fokus kajian, saya juga bekerja untuk bidang HAM dan reformasi. Saya mengkaji cara reformis Muslim melakukan pendekatan dan mencairkan ketegangan dalam pertentangan hukum Islam dan modernitas,” ujarnya.

Ibrahim mengaku, dengan memahami hukum Islam, ia dapat membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan soal identitas dan reformasi. Ia pun memahami bahwa dalam hukum Islam harus terjadi perubahan. Sejumlah pendekatan dalam menyikapi persoalan masa lalu, kata Ibrahim, dapat menjadi jawaban untuk menghadapi modernitas.

Ibrahim yakin, hukum Islam mampu berubah menyesuaikan keadaan sosial. Ia pun berharap hal itu bisa memperbaiki keadaan masyarakat. “Saya mencoba mengerti bagaimana kita bisa memperbaiki kehidupan masyarakat Muslim dunia,” ujar Ibrahim. n c71 ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement