Jumat 30 Sep 2016 20:58 WIB

Kasus Perceraian di Depok Terus Meningkat

Red: Firman

REPUBLIKA.CO.ID,  DEPOK -- Angka perceraian di Kota Depok dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dari data yang diperoleh dari Pengadilan Agama (PA) Kota Depok, pada tahun 2014 ada sebanyak 3.788 pasangan memilih bercerai. Memasuki tahun 2015 ada sebanyak 3.786 pasangan yang bercerai.

"Dari angka perceraian tersebut sebagian disebabkan oleh usia saat menikah sangat terlalu muda," ujar Panitera PA Kota Depok, Entoh Abdul Fatah, di Kantor PA Kota Depok, Kamis (29/9).

Menurut Entoh, PA Kota Depok mencatat, jika dirata-ratakan dari tahun ketahun usia menikah muda mengalami kenaikan. Tahun 2014, angka pernikahan muda adalah 160 pasangan. Sedangkan tahun 2015, sebanyak 173 pasangan, dengan per bulannya rata-rata 14 pasangan muda menikah. Rata-rata usia pasangan muda menikah yakni usia 16 tahun hingga 19 tahun. "Saya kurang tahu alasan pasangan yang memilih menikah muda, tapi biasanya sih karena kecelakaan, misalnya si perempuan hamil di luar nikah," katanya menjelaskan.

Pernikahan, kata dia, adalah sebuah ikatan yang sangat sakral. Untuk itu, lebih baik usia pernikahan lebih dimatangkan. Menurut Peraturan Menteri Agama (Menag) Nomor 11 tahun 2007, usia pernikahan ideal adalah 21 tahun. "Usia 21 tahun dianggap ideal karena di usia segitu, manusia sudah dapat mengontrol emosinya," katanya.

Humas PA Kota Depok, Suryadi, mengatakan, tingginya tingkat perceraian di Kota Depok sudah dalam taraf mengkhawatirkan. Sepanjang 2013, mencapai 3.000 perkara perceraian, pada 2014 meningkat menjadi 3.400 perkara perceraian, dan pada 2015 naik ke angka 3.800 perkara perceraian yang disidangkan di PA Kota Depok. Pada 2016, dalam tenggat waktu empat bulan, Januari hingga April, PA Kota Depok mencatat ada 1.400 pasangan bercerai. "Dari jumlah angka perceraian tersebut hampir 85 persennya gugatan dilayangkan dari pihak istri," ujar dia.

Suryadi menambahkan, untuk meminimalisasi angka perceraian, sesuai Peraturan Menag Nomor 1 tahun 2016, sebelum masuk ke PA, dilakukan upaya mediasi kepada kedua belah pihak selama satu bulan. Tujuannya, untuk memfasilitasi pasangan suami istri agar bisa rujuk dan tidak bercerai. "Tingkat keberhasilan pasangan yang rujuk setelah mediasi hanya sekitar enam persen dari jumlah kasus," katanya menjelaskan.

Kepala Seksi Bimas Islam Kementerian Agama Kota Depok, Supiyanto, menambahkan, rata-rata kasus perceraian yang terjadi karena tekanan ekonomi. "Untuk itu, dalam menjalani kehidupan rumah tangga yang dibutuhkan adalah kebahagiaan dan kesejahteraan. Jadi, bukan hanya sebatas material," katanya.

Supiyanto juga menganjurkan bagi pasangan yang ingin melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan, agar lebih dahulu mengikuti penataran yang dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA). "Di KUA akan difasilitasi kursus calon pengantin (suscatin) bagi pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan, agar para calon pengantin siap secara lahir batin untuk berumah tangga dan meminimalisasi angka perceraian," ujarnya.

Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Depok, Hafid Muhammad, mengaku prihatin dengan kasus perceraian di Kota Depok yang terus meningkat. "Kami cukup prihatin kasus perceraian terus meningkat. Itulah perlu ada peraturan mengenai ketahanan keluarga," ujar Hafid.

Menurut Hafid, Peraturan Daerah (Perda) Ketahanan Keluarga yang menyebutkan keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarakat yang berpengaruh besar terhadap keberhasilan pembangunan bangsa. "Hal ini terkait erat dengan fungsi keluarga sebagai wahana pembentukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Artinya, keluarga yang dibangun itu harus keluarga yang sehat, sejahtera, maju dan mandiri," katanya.

Hafid menjelaskan, definisi keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup, baik spiritual maupun material yang layak, dan bertakwa kepada Allah SWT. "Artinya, semua itu memiliki hubungan yang serasi, seimbang, dan harmonis antaranggota dan antara keluarga, masyarakat, serta lingkungan," ujarnya.

Dia menambahkan, pola komunikasi antaranggota keluarga juga memengaruhi harmonis atau tidaknya suatu keluarga. Selain itu, sebaiknya ada sifat saling percaya dan menumbuhkan rasa memiliki, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Oleh karena itu, dia merasa sangat perlu adanya aturan pemerintah yang dirumuskan dalam definisi ketahanan keluarga, yaitu kemampuan keluarga dalam mengelola anggota keluarga yang dimiliki.  Keluarga, kata dia, dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi, baik dari sisi kebutuhan fisik, psikologi, dan kondisi sosial anggota keluarganya. "Jadi, hal itu dibutuhkan kesamaan pandangan dan menyinergiskan seluruh strategi penanganan yang ada di berbagai kelembagaan, dituangkan dalam sebuah peraturan daerah terkait ketahanan keluarga," katanya. rep: Rusdy Nurdiansyah ed: Endro Yuwanto

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement