Jumat 24 Jun 2016 15:00 WIB

Banyak yang Coba Palsukan Nomor Kendaraan

Red:

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menerapkan sistem ganjil-genap untuk menggantikan 3 in 1 yang sudah dihapus. Masa uji coba dimulai pada 27 Juli mendatang. Seberapa efektifkah aturan tersebut untuk mengurangi kemacetan? Berikut tanggapan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) dan anggota DPR daerah pemilihan Jakarta.

***

Ipoeng Purnomo,

Sekjen MTI

Efektifkah penerapan sistem ganjil-genap untuk mengurai kemacetan di Ibu Kota?

Menurut saya, setiap kebijakan itu memerlukan kajian dan landasan studi yang betul-betul kokoh sebelum diterapkan. Kalau sifatnya hanya coba-coba, saya tak setuju, karena ini menyangkut aktivitas banyak orang.

Pertanyaannya, sejauh mana studi yang sudah dilakukan pemerintah sebelum menerapkan sistem ganjil-genap tersebut? Jika pemikiran yang digunakan Pemda DKI hanya berpatok pada sistem ini bisa mengurangi jumlah kendaraan di jalan-jalan tertentu hingga 50 persen, saya pikir dampaknya tidaklah sesederhana itu.

Apa saja pertimbangan yang mesti diperhatikan Pemprov DKI sebelum menerapkan sistem tersebut?

Dari aspek sosial, kebijakan ini tidak sepenuhnya adil. Sebagai contoh, jika ada satu keluarga punya satu mobil dan dua motor yang semuanya berpelat ganjil, mereka tentunya jadi tidak bisa menggunakan kendaraan pribadinya sama sekali pas di tanggal genap. Pergerakan mereka jelas jadi terganggu.

Jika mereka lantas disuruh naik transportasi umum, pertanyaannya adalah apakah bus-bus yang ada saat ini sudah cukup nyaman buat ditumpangi? Belum lagi pertimbangan travel time (waktu yang habis di jalan) menjadi lebih lama ketika menggunakan kendaraan umum.

Artinya apa? Kalau pemerintah bisa menjamin rasa nyaman dan travel time yang semakin singkat bagi pengguna transportasi umum, saya pikir akan semakin banyak orang yang meninggalkan kendaraan pribadi mereka. Jadi, kedua faktor itu harus menjadi dasar kajian pemerintah sebelum menerapkan satu sistem.

Apa dampak yang mungkin timbul akibat pemberlakuan sistem ganjil-genap?

Dulu, saat sistem 3 in 1 diterapkan, banyak joki yang bermunculan. Mereka sampai membawa-bawa anak balita dalam melakukan aksinya. Jadi, ada pelanggaran HAM anak di situ. Sementara, kalau sistem ganjil-genap, saya pikir potensinya nanti akan banyak orang yang mencoba memiliki pelat ganda atau memalsukan nomor kendaraan mereka. Tentunya perbuatan semacam itu sudah masuk tindakan kriminal namanya, bukan lagi sekadar pelanggaran HAM.    Oleh Ahmad Islamy Jamil,  ed: Erik Purnama Putra

***

Biem Benyamin

Anggota DPR dapil Jakarta

Pemprov DKI akan menerapkan sistem ganjil-genap di beberapa jalan protokol Ibu Kota. Tanggapan Anda?

Kalau kebijakan itu tujuannya untuk mengurai kemacetan di Jakarta, saya pikir itu sifatnya hanya sementara ya. Masalah lalu lintas di kota ini tidak akan pernah tuntas selama pola berkendara dan preferensi masyarakat tidak diubah, yaitu dari pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna sarana transportasi massa. Selama perilaku itu tak diubah dulu, mau seperti apa pun sistem yang diterapkan, Jakarta akan tetap macet.

Maksudnya, kebijakan ganjil-genap itu tak akan efektif?

Saya pikir itu bukan solusi yang maksimal. Karena yang semestinya dilakukan pemerintah daerah adalah fokus membenahi infrastruktur transportasi massal. Bukan hanya terpaku kepada bagaimana membatasi kendaraan pribadi di jalan-jalan Kota Jakarta. Selain itu, banyak lagi sebenarnya persoalan hulu yang harusnya diselesaikan juga oleh pemerintah ketika menerapkan sistem ganjil-genap.

Saya malah berpikir begini, sistem tersebut tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya dukungan dari daerah-daerah penyangga Jakarta seperti Bekasi, Depok, Tangerang, dan Tangerang Selatan. Karena banyak karyawan yang bekerja di Jakarta berasal dari daerah-daerah tersebut. Mereka otomatis adalah pengguna jalan tetap di Jakarta dari Senin-Jumat. Jadi, kalau mau, sistem serupa (ganjil-genap) mestinya juga diberlakukan di kota-kota penyangga itu.

Apa saran Anda terkait penerapan sistem ganjil-genap?

Setiap kebijakan pasti punya kelemahan. Dulu ketika sistem 3 in 1 diterapkan, pengawasan di lapangan ternyata tidak maksimal sehingga bermunculan joki-joki di pinggir jalan. Pertanyaan yang muncul nanti pasti sama, siapa yang bakal mengawasi lalu lintas kendaraan itu setiap harinya? Apakah polisi mampu memantau dan memelototi satu per satu mobil yang lewat?

Kalau mau, Pemda DKI sebenarnya bisa meninggalkan cara-cara manual dan beralih menggunakan sistem yang lebih canggih. Seperti teknologi ERP (electronic road pricing), misalnya. Pemda pasti punya dana untuk itu. Lha, tahun lalu penyerapan anggaran di DKI saja cuma 50 persen. Jadi, jangan bilang enggak ada anggaran.

Oleh Ahmad Islamy Jamil,  ed: Erik Purnama Putra

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement