Jumat 18 Dec 2015 16:00 WIB

Keluhan Sopir Metro Mini Dicap Ugal-ugalan

Red:

"Pasar Minggu Blok M-Pasar Minggu Blok M," begitulah ajakan para sopir Metro Mini yang terdengar di tengah hiruk-pikuk pagi hari di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Kamis (17/12). Selain Metro Mini, berbaris juga angkutan umum lain, seperti Kopaja, ojeng pangkalan (opang), dan bus Damri menuju Bandara Seokarno-Hatta.

Semua trayek ini seperti biasanya menunggu dan menanti orang-orang selesai belanja. Meskipun kadang tak sampai penuh penumpang, mereka harus tetap berangkat berganti antrean dengan mobil di belakangnya.

Republika menyusuri barisan Metro Mini dan Kopaja hingga di bagian belakang pasar yang merupakan tempat ngetem angkutan umum tersebut. Di sebuah warung kopi terihat dua pemuda yang tengah berbincang sambil sesekali menyeruput kopi hitam di hadapannya. Jiung (28 tahun) baru saja selesai menarik Metro Mini 75 arah Pasar Minggu-Blok M dan kini sedang menunggu penggantinya sedangkan Deni (21) baru akan mencari penumpang. Keduanya sama-sama membawa Metro Mini 75, hanya berbeda pemilik.

Keduanya sedari tadi membicarakan tentang razia polisi yang semakin marak semenjak adanya kecelakan Metro Mini. Belum lagi, mendengar tentang akan dihapusnya trayek tersebut karena ulah sopir yang sudah mendapatkan cap masyarakat sebagai sopir ugal-ugalan.

Jiung terlihat sekali dongkol dengan keadaan itu. "Memang ada yang ugal-ugalan, tapi kan enggak semua," ujarnya di pul Pasar Minggu. Dia menyayangkan ulah sopir nekat yang membuat orang lain tewas. Kendati begitu, ia menegaskan, jika tidak semua sopir Metro Mini berlaku sama saat membawa penumpang mereka.

Hal serupa juga diungkapkan Deni yang merasa aneh dengan ulah semua orang yang seolah menyudutkan para sopir Metro Mini. Belum lagi, ditambah dengan kabar Metro Mini akan dihapus, ia pun mempertanyakan kebijakan itu. "Yang ada bukan menyelesaikan masalah, Mbak, tapi menambah masalah, masalah pengangguran," ujarnya.

Deni mengaku masih harus mengirimkan pendapatannya yang tidak seberapa itu ke kampungnya di Medan. Deni mengaku masih punya adik yang harus sekolah hingga masuk kuliah supaya adiknya itu bisa mendapatkan pekerjaan seperti dirinya.

"Memang apa-apa yang disalahkan kita. Kalau ada motor yang tiba-tiba nyalip terus keserempet, siapa lagi kalau bukan kita yang disalahkan? Padahal, sudah jelas-jelas bukan kita yang menyerempet, tetap saja kita yang salah," katanya.

Deni dan Jiung juga mengaku sempat mendengar imbauan para sopir untuk kembali melakukan tes kelayakan mengemudi. Namun, menurut mereka, itu hanya wacana. Pasalnya, sampai detik ini, rencana tersebut belum terlaksana di lapangan.

Salah satu pemilik Metro Mini S640 rute Pasar Minggu-Tanah Abang, Chaniago (45), angkat bicara karena semakin banyak tekanan kepada sopir Metro Mini. Pria yang memulai usahanya sejak menjadi kernet ini memaparkan sebagian kecil pemeriksaan yang dialami teman-temannya yang protes dengan kebijakan pemerintah. Menurut dia, ada Metro Mini yang hanya karena speedometer mati lantas mobil dikandangkan karena rem tangan yang tidak berfungsi, juga dikandangkan.

Dia menyatakan, speedometer dan rem tangan ketika berkendara tidak begitu berpengaruh banyak. Rem tangan saja, kata dia, hanya digunakan untuk parkir. Sedangkan, untuk melihat kondisi mobilnya, Chaniago menganjurkan untuk melihat sendiri di Rawabuaya dan Pulau Gebang.

"Padahal, surat-surat lengkap dan mobil tetap dikandangkan, ini kan lucu. Kesannya mereka itu dikejar target satu hari harus ngandangin berapa mobil, kalau tidak percaya, saya punya buktinya," ujar Chaniago.

Disinggung terkait pencabutan izin operasi bagi Metro Mini, ia menilai wacana itu kurang pantas. Chaniago merasa tidak terima saja, karena ulah beberapa sopir nakal, lantas semua sopir Metro Mini mendapatkan kesan ugal-ugalan.

Saat ditanya kenapa banyak sopir Metro mini yang ugal-ugalan, Chaniago menuturkan ada beberapa sebab. Pertama, aturan keselamatan dan keamanan tentu saja sudah dihafal setiap pengemudi, tetapi hal tersebut kembali lagi pada pribadi manusianya.

"Namanya juga manusia, meskipun dikasih aturan yang jelas, namanya di lapangan ada saja penyimpangan yang mereka lakukan, di lapangan itu segala sesuatunya enggak bisa diprediksi," ujarnya.

Kedua, lapangan tidak bisa diprediksi. Misalnya, rata-rata setiap sopir akan dibebani setoran Rp 400 ribu hingga Rp 450 ribu per hari. Belum ditambah dengan banyaknya saingan, seperti Transjakarta, Gojek, Grabbike, Uber, dan angkutan mobil lainnya. Untuk memenuhi setoran, kata dia, banyak sopir yang harus bekerja lebih ekstra dengan tarif Rp 4.000 untuk setiap penumpang jauh maupun dekat. n c30 ed: erik purnama putra

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement