Rumah Jamur kerap dikisahkan sebagai bagian dari dongeng pengantar tidur. Siapa sangka, di tangan sekelompok ilmuwan muda jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Padjajaran, rumah jamur bisa menjadi kenyataan. Ia bukan hanya kisah hunian para peri imut, melainkan berpotensi ditinggali manusia hidup.
Sekelompok anak muda tersebut tergabung dalam organisasi usaha bernama Ideas. Mereka terdiri dari Adi Reza Nugroho, Annisa Wibi Ismarlant, Derri Abraham, dan M Arekha Bentangan Lazuar. Dari hasil penelitian sejak empat tahun lalu, mereka berhasil membuat bata dan lempengan berbahan limbah pertanian yang direkatkan dengan jamur.
Material tersebut diberi nama mycotech. Dalam proses penelitian, mereka didampingi Kepala Divisi Laboratorium Bio Industri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hardaning Pranamuda.
Mereka lantas mulai berpikir mengembangkan hasil penelitian agar dapat diterapkan secara nyata di masyarakat. Tepatnya pada 2014, Ideas menawarkan konsep rumah jamur dengan mycotech yang memiliki paket lengkap, yakni kekuatan materialnya menyaingi batu bata dan kayu. Material tersebut juga antikebakaran, tapi tetap ringan seperti gabus.
Keunggulan lainnya, harga material lebih ekonomis, ramah lingkungan, dan bebas dari resin sintetis. Resin merupakan perekat pada kayu mebel yang mengandung senyawa berbahaya bagi kesehatan.
Hasil penelitian tersebut mengantarkan mereka menjuarai sejumlah penghargaan bergengsi. Di antaranya, pemenang Wirausaha Muda Mandiri serta berkesempatan menjadi salah satu peserta pelatihan untuk wirausaha sosial Indonesia dalam kegiatan DBS Social Entrepreneurship (SE) Boot Camp.
"Sudah kita uji coba, satu bata jamur bisa menahan tekanan setara sepuluh mobil, namun 300 kali lebih fleksibel dari baja," kata salah satu anggota Ideas, Adi Reza Nugroho, kepada Republika di kantor BPPT, Serpong, Tangerang Selatan, pekan lalu. Adi pun bercerita soal dinamika pengembangan material mycotech selama enam bulan. Mereka memulainya dengan mengisolasi bibit jamur. Proses tersebut harus detail dan higienis agar jamur tidak terkontaminasi. Pembibitan dilakukan di ruangan steril menggunakan laminar air flow.
Ia menerangkan, pembuatan mycotech terinspirasi dari tempe. Jamur Rhizopus pada tempe bekerja mengikat kedelai dengan kuat melalui akar jamur alias mycelium. Konsep yang sama diterapkan dengan material berbeda, yakni mengikat limbah tapioka dan serbuk kayu dengan jamur bernama Pleorotus.
Proses pengikatan material dengan jamur sebenarnya telah dimulai secara alami. Ia berproduksi dalam media tanam atau baglog jamur tiram yang biasa dibudidayakan oleh petani jamur. Adi mencontohkan kegiatan petani jamur di Cisarua, Lembang, Jawa Barat. Setiap petani di daerah tersebut menghasilkan empat ton baglog setelah panen jamur.
Baglog tersebut kemudian menjadi limbah yang kemudian dimanfaatkan sebagai bahan baku mycotech. "Dahulu limbah itu ditumpuk saja, tapi sekarang bisa dimanfaatkan, kita beli dari petani sehingga mereka punya penghasilan alternatif," tutur Adi.
Limbah baglog jamur kemudian dicampur dengan limbah tapioka, serbuk kayu atau campuran keduanya. Bahan-bahan tersebut mudah didapat karena juga merupakan limbah pertanian. Kandungan air pada limbah tapioka dikurangi kemudian ditambah dedak.
Selanjutnya, jamur dibiarkan mengikat material dengan jaring-jaringnya sehingga material menyatu. Proses pembuatan hingga menjadi mycotech berlangsung selama 20-30 hari. Dalam jangka waktu tersebut, berlangsunglah proses sterilisasi, inkubasi dan pengeringan yang berlangsung secara alami.
Setelah proses tersebut, jadilah mycotech berupa bata dan lempengan untuk material bangunan perumahan. Langkah pasti pengaplikasiannya pun mulai kentara. Adi beserta tim tengah merancang rumah untuk pilot project di kawasan Jatinangor, Jawa Barat, dan juga di Bali.
Pengerjaan proyek masih dalam tahap konsep dan akan mulai dibangun pada awal 2016. Ia optimistis, ketika bangunan rampung, pengaplikasian mycotech akan makin meluas sehingga keberadaan rumah jamur bukan sebatas dongeng. Ia bisa dibangun oleh manusia, bahkan menjadikan bumi lebih sehat karenanya.
Lebih lanjut, Kepala Divisi Laboratorium Bio Industri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hardaning Pranamuda menerangkan, embodied energy untuk proses produksi hingga diaplikasikan menjadi rumah jamur, lebih hemat 150 kali lipat dibandingkan produk bangunan konvensional.
Selisih energi setara dengan menghemat listrik sekitar 300 rumah untuk desa. "Jika diproduksi massal, ini akan sangat baik untuk sejumlah proyek bangunan berkelanjutan ramah lingkungan serta memenuhi kebutuhan rumah dalam negeri," kata dia.
Jika melihat data dari Real Estate Indonesia (REI), lanjut dia, jumlah penduduk Indonesia hampir mencapai 241 juta jiwa dengan data pertumbuhan 1,3 juta per tahun. Jumlah rata-rata orang per kepala keluarga kurang lebih 4,3 juta jiwa. Sehingga, kebutuhan rumah akan mencapai 728.604 per tahun.
Belum lagi rumah-rumah yang sudah ada, namun perlu diperbaiki. Data BPS menyebut, dari 49,3 juta unit rumah yang berdiri, sebanyak tiga persennya harus direhabilitasi. Selain itu, tingkat kebutuhan rumah per tahunnya mencapai 2,6 juta unit.
Tantangan kebutuhan akan perumahan yang tinggi harus dibarengi dengan penyiapan bahan bangunan berkelanjutan. Bukan lagi dengan cara mengeksploitasi bahan tambang yang rentan resistensi serta kerugian. Tapi, menggunakan material ramah lingkungan yang punya kualitas lebih baik. Salah satunya, yakni material berbahan dasar jamur. ed: erdy nasrul