Senin 31 Aug 2015 17:00 WIB

Pengalaman Baru Tinggal di Rusunawa

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggal di tempat baru menjadi tantangan bagi warga Kampung Pulo, Jakarta Timur. Setelah direlokasi, mereka harus menyesuaikan diri dengan suasana baru.

Tak ada lagi jalan sempit yang dipenuhi comberan mampet, seperti di tempat tinggal mereka sebelumnya. Di rumah susun sewa (rusunawa) yang kini ditempati, mereka berkumpul di lorong–lorong. Tampak sejumlah warga bercengkerama. Anak–anak berlari ke sana dan ke sini sambil berteriak.

Beberapa penghuni rusunawa terlihat membuka warung, merokok, membuka pintu, sampai menggelar karpet di lorong seadanya. Mereka tak bisa menghilangkan kebiasaan untuk berkumpul.

Dulu, ketika masih di Kampung Pulo, mereka dapat keluar dan masuk rumah seenaknya. Kini, di rusunawa mereka tidak bisa seperti itu. Gerbang ditutup setiap pukul 00.00 WIB. Anak muda tidak bisa lagi berkumpul di sebuah tongkrongan.

"Di tempat dulu, pada pukul 01.00 WIB saja masih ramai. Namun, kalau di sini pukul 10.00 WIB sudah sepi," kata Warga Kampung Pulo RT16/RW02 yang kini menempati Rusunawa Jatinegara Barat, Muhammad Aldi (22 tahun).

Ketika malam tiba, Aldi kerap merasakan kesepian. Dia tak bisa lagi berkumpul bersama  teman–temannya. Akhirnya, dia melakukan sesuatu yang aneh–aneh. Dia sering menggunakan lift naik turun, atas-bawah. "Sebab iseng, Bang," ucapnya.

Dia merasakan perbedaan tersebut. Tempat tinggal sebelumnya diakuinya sebagai kampung. Suasananya sempit, kumuh, terkadang bau tak sedap menyebar di mana–mana. Namun karena menempati daerah seperti itu dari kecil, dia tidak mengalami persoalan.

Ketika debit air Sungai Ciliwung mulai bertambah, ada yang akan menginformasikan. Kemudian, warga akan bersiap–siap. Bagi warga yang baru menempati Kampung Pulo akan terlihat gelisah dan bingung, bagaimana jika air masuk ke dalam rumah.

Berbeda dengan warga yang sudah lama tinggal di sana, biasa–biasa saja. Kalau ada yang gelisah maka akan disindir. "Kayak orang baru aja," ujar Aldi.

Kalau air sudah meninggi, rumah mereka akan tenggelam. Kemudian, ada banyak anak–anak yang berenang. Dia merasa senang melihat situasi tersebut.

Kini, suasana tersebut hanya menyisakan memori. Tak ada lagi banjir yang mereka rasakan.

Pertama tinggal di Rusunawa Jatinegara Barat, perasaan kagok pasti ada, sebab bangunan besar ini memiliki banyak blok. Namun, untuk ke depannya dia yakin akan terbiasa.

Aldi belum sempat mengunjungi Kampung Pulo sampai sekarang. Perasaannya masih bingung dengan perbedaan tempat tinggalnya saat ini.

Separuh teman tongkrongan memang ada di rusunawa tempat Aldi sekarang tinggal. Separuh lainnya masih di Kampung Pulo. Pada mulanya Aldi mengaku tidak mau menempati rusunawa. Namun, berhubung mencari kontrakan susah, dia terpaksa menempati rusunawa.

Ketika penggusuran terjadi, dia tidak ikut melawan aparat. Sebab, pada waktu itu dia sedang membantu kedua orang tuanya mengangkat barang-barang dari rumahnya ke lantai lima Rusunawa tower A.

Lain cerita dengan Zaenal Bassir (65 tahun). Dia tinggal di Kampung Pulo sejak 1965. Terpaksa, dia melihat rumahnya rata pada awal penggusuran terjadi. Sejak itu pula dia pindah ke salah satu rusun di lantai tujuh.

Dia merasa tidak betah. Rasanya tidak nyaman untuk tidur di dalam rusun. Zaenal lebih senang tidur di luar. Udara di luar, menurutnya, lebih segar. Biasanya, dia menggelar karpet di pojokan lantai rusunawa. Dia tidak merasakan sakit meskipun sudah tidur di sana selama tiga malam.

Terlihat bukan hanya dia seorang yang mencoba tidur di luar. Entah karena sudah sesak di dalam atau bosan dengan suasana di dalam rusun, sebagian orang merasa lebih nyaman untuk tidur di lorong.

Di lantai tujuh Rusunawa tower A, seorang warga, Munir (55), membuka warung. Sejak tinggal di Kampung Pulo dia sudah berjualan kopi, susu, teh, dan mi rebus instan. Hasil jualan dimanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

"Di sini sempit, terpaksa bukanya di lorong depan rusun," imbuhnya.

Pelanggannya adalah penghuni rusun yang tidak lain adalah tetangganya. Mereka terkadang ingin berkumpul dengan warga lainnya sambil menikmati minuman atau makanan hangat.

Ada juga penjual gorden yang berkeliling rusun sejak pukul 09.00 WIB. Namanya Rajiman (44 tahun). Sejak tinggal di Kampung Pulo, dia sudah menjual gorden. Bedanya, di rusunawa dia mendapatkan keuntungan berlipat karena banyak orang yang membeli gorden. "Mungkin, karena banyak yang belum memiliki gorden, makanya pada membeli," imbuhnya.

Tak ada rasa lelah. Dia terus mengelilingi Rusunawa Jatinegara Barat dari lantai ke lantai lainnya lagi. Harga gorden per pasang dihargainya Rp 60 ribu.  c21 ed: Erdy Nasrul

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement