Senin 03 Aug 2015 16:00 WIB

Tembang Nostalgia Masa Perjuangan

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Tembang Nostalgia Masa Perjuangan 

Upaya melestarikan budaya dan kearifan lokal merupakan bentuk perjuangan para seniman untuk menegakkan jati diri bangsa. 

Gempita perjuangan sudah sepatutnya tidak boleh kandas apalagi hilang dari ingatan masyarakat. Apa yang telah diperjuangkan para pahlawan pada masa silam dan setelah Indonesia merdeka tak lagi berbicara soal angkat bedil dan senjata. Ada yang lebih penting, yakni mempertahankan identitas bangsa.

Di masa kini, gempuran budaya dan industri asing terhadap kebudayaan lokal semakin memburu. Namun, upaya memperkuat jati diri itu terus digemakan salah satunya melalui pesan-pesan yang hendak disampaikan Sruti Respasti and Friends yang melibatkan Putu Fajar Arcana dalam gelaran seni budayanya. Tajuk yang diangkat mereka adalah “Sapu Lidi; Tembang Doa, Cinta, dan Perjuangan” pada pentas di Galeri Indonesia Kaya, Sabtu (1/8).

Di ruang temaram bernuansa biru itu, Tuti, panggilan akrab Sruti, tampak anggun dengan balutan kebaya putihnya. Suaranya merdu melantunkan tembang-tembang Jawa dengan iringan keroncong. Sebagian hadirin dibuat hanyut mendengar lantunan Tuti yang bergaung ke setiap sudut gedung pertunjukan. Sebagian lagi, mengambil kesempatan mengabadikannya dalam bidikan lensa kamera.

Meski lagu yang dibawakannya rata-rata berbahasa Jawa, pada bagian-bagian tertentu Tuti juga menyematkan bahasa Indonesia di dalamnya. Pada lagu berjudul "Mana Mungkin", misalnya, terlampir lirik, “Mana mungkin aku ceria kalau tahu ada rakyat yang merana. Mana mungkin aku bahagia kalau tahau ada rakyat yang menderita.” Lagu berlirik populis itu ditutup dengan riuh tepuk tangan penonton.

Setelah itu, ruang yang tadinya temaram, seketika berubah gelap. Dua layar yang membentang di kiri dan kanan panggung, menampilkan pose Bung Tomo dalam bayangan. Pose itu menampilkan Bung Tomo tengah mengobarkan semangat arek-arek Surabaya melawan kedatangan pasukan asing. Pidato sang tokoh pun terdengar lantang dan cukup mengejutkan para penonton saat itu. 

Lalu, Putu Fajar Arcana melanjutkan sesi berikutnya dengan suguhan monolog tentang kisah dan jasa para guru, terutama monolog untuk mereka yang hidup pada masa perjuangan kemerdekaan.

Dalam monolognya, Putu menegaskan bahwa bangsa besar bukan hanya bangsa yang mampu menyelamatkan masyarakatnya dari kemiskinan dan kemelaratan. Bangsa itu juga harus mampu melawan kepandiran dan kebodohan yang mengungkung setiap warganya. Untuk setiap prestasi yang ditorehkan setiap bangsa, pasti melibatkan jasa guru di dalamnya. 

Guru, kata Putu, juga merupakan pahlawan pada masa kemerdekaan. Jasanya berhasil menyelamatkan masyarakat Indonesia dari kepandiran dan kegelapan pengetahuan. “Tanpa mereka, tak mungkin kita bisa melihat dunia dengan mata dan kepala sendiri,” tutur Putu dalam monolognya.

Selain itu, Putu mengisahkan, guru pada masa perjuangan juga tak segan untuk mati demi kecerdasan dan kepandaian masyarakat kala itu. "Kalaupun aku harus mati, aku relakan, aku ikhlaskan," ucapnya lagi.

Seusai monolog, Tuti menjelaskan bahwa gelaran yang dia ikut lakoni memang bertautan dengan Agustus sebagai bulan kemerdekaan. Sapu lidi, kata Tuti, merupakan salah satu representasi dari perjuangan. “Kalau satu (lidi) mungkin tidak bermanfaat, tapi kalau dia banyak, itu bisa jadi satu kekuatan,” jelas Tuti. Menurut dia, dalam setiap perjuangan selalu terlampir doa yang merupakan wujud cinta. 

Dalam penuturannya, Putu menyelipkan pertanyaan kepada Tuti soal alasannya selalu menembangkan lagu-lagu berbahasa Jawa dalam setiap pementasannya. Tuti menjelaskan bahwa dalam berkesenian dia tidak memandang perbedaan tempat, gender, etnik, atau apa pun. Itulah alasan dia selalu berusaha membawa identitasnya sebagai seniman Jawa dalam upaya melestarikan budaya dan kearifan lokal. Itulah perjuangan versinya di masa kini. 

“Ini sebenarnya pesan yang ingin saya sampaikan. Jangan sampai anak-cucu kita pangling atau tidak tahu dengan kebudayaan kita sendiri. Terus 20 atau 30 tahun lagi, kita harus belajar ke negeri lain untuk mengetahui kesenian dan kebudayaan kita,” papar Tuti.

Tuti berharap pertunjukan yang telah disuguhkan bermanfaat bagi setiap penonton. Setidaknya, dia mendambakan hadirin mampu teringat betapa jerih payah para pahlawan memang harus dijaga dan dirawat bersama. Hal itu bisa dilakukan dengan cara melestarikan kebudayaan yang menjadi identitas dan jati diri bangsa Indonesia. n c23 ed: dewi mardiani 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement