Kamis 28 May 2015 18:00 WIB

Binekanya Warna Nusantara

Red:

Enam orang anak bersorak riang. Mereka tampak girang menumpang kapal jukung, perahu khas Indonesia. Para bocah itu sesungguhnya hanya patung yang diam.

Karya tiga dimensi berjudul "Art-Chipelago Let's Go" tersebut dibuat dari keramik stoneware dan kayu. Namun, ekspresi mereka seolah cerminan anak bangsa yang antusias mengarungi laut. Sang seniman, Evy Yonathan, dari DKI Jakarta menggambarkan semangat kenusantaraan itu lewat karya seninya.

"Art-Chipelago" juga merupakan tema perhelatan dua tahunan (biennale) yang digelar di Gedung A, B, dan C Galeri Nasional Indonesia yang berlangsung pada 26 Mei sampai 7 Juni 2015. Pameran Seni Rupa Nusantara itu hendak membentangkan apa yang dibayangkan para perupa mengenai konsep kenusantaraan.

Kepala Galeri Nasional Indonesia Tubagus 'Andre' Sukmana mengatakan, nusantara merupakan suatu konsep negara kepulauan. Nusa-antara; pulau-pulau yang dihubungkan oleh lautan yang pada akhirnya meliputi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bertolak dari konsep itulah tema "Art-Chipelago" digunakan. "Akronim dari kata art dan archipelago yang dimaksudkan sebagai praktik seni di negeri kepulauan," ungkapnya, beberapa waktu lalu.

Sebanyak 106 perupa dari 23 provinsi di Indonesia serta dari Malaysia dan Filipina menghadirkan ragam karya terkait tema tersebut. Sejumlah 97 di antaranya mengikuti seleksi, sementara sembilan orang adalah peserta undangan.

Keragaman tampak dari berbagai media, teknik, dan ekspresi karya. Para peserta memamerkan lukisan, patung, grafis, gambar, foto, instalasi, hingga seni video. Kesemuanya melalui proses kurasi oleh Asikin Hasan, Sudjud Dartanto, dan Suwarno Wisetrotomo.

Kurator pameran Sudjud Dartanto memaparkan bahwa berbagai karya dalam "Art-Chipelago" menyampaikan berbagai pengalaman kultural dan psikoanalitik. Selain itu, karya-karya yang telah lulus kurasi diharapkan bisa meluaskan imajinasi tanpa terganggu batas teritori. "Seni dapat mendorong terciptanya simulakrum baru dalam mendampingi realitas kenusantaraan yang ada," tutur Sudjud.

Para seniman bebas mengekspresikan tanggapan artistiknya terhadap tema besar kenusantaraan. Dalam pameran itu, mereka menampilkan tampilan geofisik negara kepulauan, budaya, kekayaan alam, kehidupan masyarakat, kritik sosial politik, sisi mistik, hingga kegelisahan pribadi individu terhadap hidup.

Mintosari, perupa dari Kalimantan Timur, terpanggil untuk menggambarkan kekayaan fauna Indonesia. Ia melukiskan burung rangkong lewat media akrilik di atas kanvas.

Sama halnya dengan Camelia Mitasari Hasibuan dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Lewat karya cat minyak di atas kanvas berjudul "Indonesia Punya, Indonesia Kaya", ia menghadirkan harimau, penyu, kukang, burung, terumbu karang, topeng, serta wayang orang.

Sementara, Deddy Junizar dari Kepulauan Riau menggambarkan lima orang dewasa yang asyik bermain gasing. Karya berjudul "Budaya Gasing" itu dilukiskan dengan cat minyak di atas kanvas.

"Gasing mulanya berasal dari Natuna dan menyebar hingga ke Anambas. Ketika musim utara, angin sedang kencang, semua rakyat di tempat asal saya akan menghentikan kegiatan memancing dan bermain gasing. Pada akhirnya permainan rakyat itu berkembang menjadi budaya," ujarnya.

Khazanah budaya lain tampak pada "Pasola" karya Ferry Wabang dari Nusa Tenggara Timur. Pasola adalah tradisi menyambut tahun baru dan panen dalam masyarakat Sumba yang menganut kepercayaan Merapu yang menggabungkan keahlian menunggang kuda dan melempar lembing.

Suwarno Wisetrotomo, kurator lain pameran itu, menyoroti pula ragam teknis lukis realis yang mayoritas ditampilkan di Gedung A Galeri Nasional. Karya-karya tersebut mengabadikan kondisi sosial yang bisa ditemui sehari-hari.

"Seperti 'Tukang Sampah Pasar' karya Muhammad Andik ini. Ia menghadirkan realitas masyarakat, sebuah kekumuhan, tetapi tertangkap dengan cantik dan indah," ungkapnya.

Karya yang menggunakan media video, diusung oleh Farhanaz Rupaidha. Ia menayangkan video berdurasi lima menit dengan judul "24 Grid Living in Harmony of Dust and Heat" mengenai penolakan keras terhadap pabrik baja. n c34 ed: dewi mardiani

Pentas Lintas Generasi

Agenda dua tahunan Galeri Nasional Indonesia berupa Pameran Seni Rupa Nusantara tersebut menjadi ajang kompetisi bagi seniman-seniman Indonesia. Tahun ini, tercatat 527 berkas aplikasi portofolio yang terkumpul dan diseleksi kurator.

Meski belum keseluruhan 33 provinsi di Indonesia terwakili, tim kurator mengakui karya-karya yang lolos dari 23 provinsi sudah merepresentasikan kenusantaraan. Para perupa itu juga berasal dari lintas generasi. "Banyak karya-karya segar yang berdatangan dari para perupa baru. Namun, ada pula seniman yang telah beberapa kali karyanya lulus kurasi," ungkap Suwarno Wisetrotomo, salah satu kurator pameran tersebut.

Titis Jabaruddin dari DKI Jakarta, termasuk seniman yang dianggap senior. Perempuan berusia 72 tahun itu aktif berpameran di dalam dan luar negeri sejak 1975.

Kali ini, ia menampilkan karya berjudul "Nusantara" yang menjadi interpretasinya mengenai tema "Art-Chipelago". Gambar itu ia wujudkan dalam media rembrandt soft pastel di atas kertas Canson.

Titis memaknai awal kenusantaraan dari sejarah Sumpah Palapa yang diikrarkan Patih Gajah Mada pada masa Kerajaan Majapahit. Berabad silam, Gajah Mada bertekad tak akan menyerah sebelum nusantara bersatu.

Fase penting kenusantaraan selanjutnya, lanjut Titis, yakni proklamasi kemerdekaan Indonesia. Perjuangan itu dianggapnya mengarah pada kesejahteraan kehidupan bangsa. Maka, Titis merangkum itu semua dalam karya berukuran selebar lebih dari dua meter itu.

"Simbol kemakmuran dan kesejahteraan tidak saya gambarkan dengan kapal terbang atau mobil-mobil mewah, tetapi dengan simbol keberkahan. Seorang perempuan, istri nelayan, yang membawa pulang ikan hasil tangkapan suami," papar ibu berjilbab tersebut.

Seniman senior lainnya, yakni S Handono Hadi (63 tahun) dari Medan, menyajikan lukisan cat minyak berjudul "Bersyukur". Kaligrafi zikir memenuhi karya berukuran 250x450 meter itu dengan nuansa warna merah, putih, dan biru.

Handono menerangkan, ia ingin mengajak setiap orang yang menyimak karyanya untuk selalu mengingat Sang Pencipta. Ia menyelesaikan karya tersebut selama delapan bulan, hanya dengan menggunakan kuas nomor dua.

"Karya ini bisa dibilang selesai tapi tidak selesai karena zikirnya akan terus bertambah. Orang yang melihat karya saya, otomatis akan berzikir dan bersyukur," ujar pria yang aktif mengerjakan desain interior dan eksterior masjid di Sumatra Utara itu.

Salah satu seniman dari generasi muda ialah Endang Adi Sutomo, dari Cirebon, Jawa Barat. Tomo membawakan satu seri lukisan cat minyak di atas kaca yang mengisahkan kisah perang Bubat. Lima fragmen karyanya berjudul "Langit Senja Palagan Bubat Saksi Bela Pati Citraresmi".

Perupa muda lain, Nyoman Shita asal Bali, menampilkan video dokumentasi penampilan tari dan artefak instalasi tiga buah pintu berukir. Shita menyampaikan, karyanya bermula dari kegelisahan yang ia rasakan tentang hidup.

"Manusia mulai berjarak dengan sekelilingnya. Padahal, manusia itu berhubungan dengan semuanya. Dengan Tuhan, dengan alam, juga dengan manusia lain," kata perempuan yang pada 2014 lalu berpartisipasi dalam Spot Art Exhibition di Singapura itu. n c34 ed: dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement