Selasa 05 May 2015 14:41 WIB

Fusi Otentik Musik Jaz-Betawi

Red:

Lampu panggung mulai menyorot. Perlahan, mengalun lembut komposisi "Maple Leaf Rag" gubahan musisi jaz Scott Joplin.

Melodi manis ragtime piano solo yang dibawakan Armiya Husein itu membuka penampilan Lantun Orchestra. Penonton dibawa hanyut dalam peringatan Hari Jaz Internasional yang jatuh setiap tanggal 30 April di seluruh dunia.

Di satu malam, akhir April 2015 itu, jaz tidak dilantunkan secara murni. Musik asal Amerika Serikat itu berpadu dengan musik Betawi. Terdapat 12 lagu dan instrumen yang Lantun Orchestra bawakan, ditambah dengan satu encore. Tujuh di antaranya adalah lagu Betawi yang dibawakan secara jaz.

Sebut saja "Ondel-Ondel" ciptaan Djoko Soebagyo yang dinyanyikan dulu oleh Benyamin Sueb, "Betawi" gubahan Bhaskara 86, "Nurlela" milik Bing Slamet, "Hujan Gerimis Aje" karya Benyamin Sueb, dan "Indung-Indung." Lagu-lagu Betawi itu dimainkan dengan beragam gaya, seperti funk 70's/motown style, fusion 80's, latin style, dan keroncong bass style.

"Dua lagu lain, ‘Kutunggu Kau di Salemba’ dan ‘Mei-Mei’ adalah karya orisinil kami," ujar Nesia Ardi, vokalis Lantun Orchestra, Kamis (30/4) di @america di lantai 3 Pacific Place Mall, Jakarta. Lantun Orchestra menyuarakan musik mereka yang terwujud atas kerja sama Pusat Kebudayaan Amerika dan Warta Jazz.

Rasa kental musik Betawi terdengar dari gabungan permainan alat musik modern dengan alat musik tradisional Betawi. Hentakan gendang dan gambang menyelaraskan bunyi biola, gitar, bas, piano, trompet, flute, dan akordeon.

"Kami ingin menunjukkan bahwa musik modern dan tradisional bisa berpadu. Alat musik tradisional juga bisa digunakan untuk memainkan musik jaz," ungkap Chaka Priambudi, konseptor sekaligus bassis Lantun Orchestra.

Kelompok musik asal Jakarta itu terdiri dari Nesia Ardi (vokal), Chaka Priambudi (doublebass), Tiyo Alibasjah (gitar), Donny Prasetyo (piano/keyboard), Windy Setiadi (akordeon), Armiya Husein (pembuka piano solo dan flute), Kenny Gabriel (trompet dan gambang), Dika Chasmala (biola), serta Arman Chaniago (gendang).

Menjiwai fusi budaya yang mereka usung, para personel Lantun Orchestra bermusik jaz seraya mengenakan pakaian adat Betawi. Enam musisi pria menggunakan pakaian pangsi Betawi, yang lazim digunakan tokoh legendaris si Pitung. Sementara, tiga personel perempuan mengenakan kebaya encim dan batik.

Meski demikian, mereka menggunakan sepatu dan aksesori yang terbilang modern. Misalnya, Armiya yang menggunakan sepatu flat balerina serta Kenny yang memadukan pakaian pangsi dengan topi bowler. "Mix budaya tradisional dan modern. Pakai kebaya, tapi sepatunya begini," ujar Nesia sambil menunjuk sepatu sneakers yang ia kenakan.

Sementara, lagu-lagu jaz pilihan Lantun Orchestra yang lain mencerminkan perjalanan sejarah musik jaz. "Livery Stable Blues" milik Original Dixieland Jass Band, misalnya, termasuk pada fase dixie. Lagu lain, "Ain't Misbehavin" karya Fats Waller merupakan era swing.

"Ada paduan irama degung yang mewarnai lagu ‘A Night in Tunisia’ karya Dizzy Gillespie yang kami mainkan. Sejarahnya, lagu tersebut termasuk era be-bop," kata Nesia, yang juga menjadi pengajar di D'Jazz Music School.

Berdasarkan catatan sejarah, jaz lahir di Amerika Serikat pada 1868. Sejak November 2011, organisasi PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) menetapkan tanggal 30 April sebagai Hari Jaz Internasional.

Perjalanan jaz bermula pada fase Dixieland dan Ragtime. Kemudian, berkembang ke era swing dan bigband (1930-1940) dan era be-bop (pertengahan 1940). Pada 1950, dikenal era cool jazz, disusul bossanova (1960-an).

Fase 1970 dikenal sebagai kejayaan funk 70's/motown style. Selanjutnya, ada pula Fusion 80's, Latin style, Jamie Cullum style 2000's, serta Robert Gasper Style pada 2012. Lantun Orchestra mengurutkan set lagu yang mereka bawakan sesuai dengan era dan fase perkembangan tersebut.

Perpaduan sejatinya merupakan napas musik jaz. Mulanya, musik jaz dikembangkan oleh warga Afro-American di Amerika Selatan, yang juga mengandung unsur musik Eropa dan Afrika. Setelah itu, musik jaz semakin berkembang seiring perkembangan zaman.

Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert Blake mengatakan, musik jaz adalah musik yang unik dan diplomatis. "Musik jaz memungkinkan adanya dialog antarbudaya. Dalam sejarahnya, jaz memang musik yang menggabungkan beberapa budaya lokal," katanya.  c34 ed: Dewi Mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement