Senin 22 Dec 2014 16:00 WIB

Kereta Jadi Denyut Nadi Kota

Red:

Jepang dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem angkutan umum paling efisien di dunia. Setiap harinya, ada sekitar tiga juta orang di Ibu Kota Negara Tokyo yang menggunakan kereta. Hal ini membuat emisi gas rumah kaca di Tokyo lebih rendah daripada kebanyakan kota-kota Asia lainnya. Karena hal itu, Tokyo pernah dinobatkan sebagai kota tersehat nomor dua di dunia versi BBC.

Masyarakat Jepang memang menjadikan kereta sebagai transportasi andalan. Karenanya, tak ada pemandangan macet di jalanan. Pusat keramaian di kota justru terletak di stasiun kereta. Jutaan orang setiap hari berlalu lalang, hilir mudik naik turun kereta.

Berdasarkan data dari Kementerian Agraria, Infrastruktur, Transportasi, dan Pariwisata Jepang, setiap harinya ada 55 juta penumpang atau setara dengan 52 persen jumlah penduduk yang menggunakan kereta di tiga kota metropolitan Jepang, yakni Tokyo, Osaka, dan Nagoya. Dibandingkan kereta, pengguna kendaraan pribadi hanya 39,8 persen, bus 5,8 persen, dan taksi 2,4 persen.

Negeri Matahari Terbit itu sendiri memiliki berbagai jenis kereta. Mulai dari urban rail yang mirip seperti KRL di Jakarta, kereta super cepat Shinkansen, Subway, Automated Guideway Transit (AGT), Light Rapid Transit (LRT), dan Monorail. Panjang lintasan kereta di negara ini mencapai 27.607 kilometer. Semua jaringan tersebut dioperasikan 205 operator swasta.

Wakil Direktur Ditjen Perkeretaapian, Kementerian Agraria, Infrastruktur, Transportasi, dan Pariwisata Jepang Akihiro Kurihara menuturkan, setiap tahun Pemerintah Jepang bersama operator kereta terus menambah jaringan untuk bisa melayani seluruh perjalanan publik. Baik untuk perjalanan dalam kota maupun antarkota. Sehingga, hampir semua perjalanan masyarakat di negara tersebut menggunakan kereta.

Tak heran jika warga Jepang menjadikan kereta sebagai moda transportasi andalan mereka. Sebab, Pemerintah Jepang menerapkan aturan sedemikian rupa yang mendorong orang menggunakan transportasi umum. Salah satu warga Tokyo, Minori Miyazaki atau yang akrab disapa Miya, mengatakan, tarif parkir mobil di Jepang Rp 30 ribu per 15 menit. Tarif tersebut berlaku pada jam sibuk, mulai pukul 06.00 WIB sampai 22.00 WIB. Di luar jam sibuk, tarifnya menjadi Rp 10 ribu per jam.

Menurut Miya, tarif parkir di Jepang mahal karena area yang sangat terbatas. Rata-rata perkantoran di Jepang hanya menyediakan tempat parkir hanya 20-40 kendaraan saja. Adapun pusat perbelanjaan, umumnya hanya memiliki kapasitas parkir untuk 50-100 mobil.

Bahkan, untuk tamu yang ingin mendapatkan tempat parkir ketika berkunjung ke kantor tertentu, harus memesan beberapa hari sebelumnya. Saat melakukan studi banding ke Jepang, Republika berkesempatan mengunjungi kantor Kementerian Agraria, Infrastruktur, Transportasi, dan Pariwisata Jepang yang berada di Tokyo. Bus yang membawa rombongan wartawan asal Indonesia rupanya telah memesan parkir empat hari sebelumnya. Karena hal itu, bus harus datang sesuai waktu yang telah dipesan. Tidak boleh datang lebih cepat ataupun lebih lambat.

Tak hanya soal parkir, Pemerintah Jepang juga menerapkan biaya pajak yang mahal untuk pemilik mobil. Menurut Miya, pajak untuk mobil mewah, seperti Mercedes Benz sekitar Rp 9 juta per tahun. Adapun untuk mobil murah, pajaknya sekitar Rp 800 ribu per tahun. Karena alasan-alasan itulah, lebih dari 50 persen masyarakat Jepang memilih menggunakan kereta.

Semua kereta di Jepang dioperasikan oleh pihak swasta. Karena persaingan, semua operator pun berlomba-lomba memanjakan penumpang mereka dengan terus mempercantik stasiun dan memperbaiki layanan.

Salah satu stasiun terbesar di Jepang, Stasiun Shibuya, terintegrasi dengan terminal bus, mal, perkantoran, bioskop, dan hotel. Stasiun Shibuya terkoneksi dengan enam jalur kereta. Setiap harinya, ada sekitar tiga juta orang naik turun kereta di stasiun tersebut. Shibuya menjadi stasiun tersibuk karena lokasinya yang dekat dengan pusat perkantoran di Tokyo. Sehingga, orang dari berbagai kota kecil di sekitar Tokyo menggunakan stasiun tersebut.

Stasiun Shibuya sendiri dimiliki Tokyu Railway Company. Mereka saat ini tengah mengembangkan area stasiun. Manajer yang menangani pengembangan Stasiun Shibuya Ikuya Yoda mengatakan, Tokyu akan memperbaiki lintasan kereta untuk kenyamanan penumpang. Selain itu, mereka juga akan meninggikan Gedung East Tower yang terintegrasi dengan stasiun menjadi 46 lantai. Gedung tersebut saat ini digunakan sebagai perkantoran, restoran, dan departement store. Tak hanya itu, Tokyu juga akan melebarkan jalur pejalan kaki dan membuat kolam bawah tanah untuk mencegah banjir.

Menurut Ikuya, seluruh program pengembangan Stasiun Shibuya akan menelan biaya 600 miliar yen atau setara Rp 63 triliun. Namun, meski stasiun tersebut milik swasta, Pemerintah Jepang memberikan subsidi untuk konstruksinya. Ikuya menyebut, pemerintah memberikan subsidi 15 miliar yen (Rp 1,5 triliun) untuk membangun square atau halaman di depan Stasiun Shibuya.

"Area itu untuk publik, jadi pemerintah memberi subsidi," ujar Ikuya. Dengan arus penumpang yang begitu besar, Shibuya membutuhkan halaman yang luas untuk menampung penumpang sebelum mereka menuju lokasi tujuan masing-masing. Halaman itu juga dipakai penumpang untuk menunggu sampai lampu hijau bagi pejalan kaki menyala.

Kota metropolitan lain di Jepang, yakni Osaka, merupakan kota terbesar kedua di Jepang. Sebagai kota metropolitan, mobilitas masyarakat di sana tinggi. Lagi-lagi, perjalanan orang di kota ini juga bergantung pada kereta.

Osaka memiliki sebuah stasiun besar bernama Osaka Station City yang dimiliki West Japan Railway Company (JR-West), salah satu operator kereta. Stasiun Osaka didesain sedemikian mewah demi memanjakan penumpang. Stasiun ini dilengkapi dengan hotel, mal, fitness center, bioskop, restoran, perkantoran, bahkan kondominium.

General Manajer Pengembangan Bisnis West Japan Railway Company Kazuhida Kaneda mengatakan, semua properti tersebut adalah milik perusahaannya. Menurut dia, keuntungan yang didapat JR-West di Osaka Stasion Ciy mencapai Rp 1,331 miliar yen per tahun. Meski demikian, kata Kaneda, pendapatan utama perusahaan tetap berasal dari tiket,dengan perbandingan 65 persen dan 35 persen.

"Semua hasil bisnis tidak terlepas dari kontribusi konsumen yang datang menggunakan kereta," kata Kaneda.

Karena pendapatan utama berasal dari penjualan kereta, West Japan Railway Company rela memundurkan lokasi departement store mereka demi memberikan ruang yang lebih luas bagi penumpang.

Jika melihat keteraturan sistem perkeretaapian di Jepang, tak salah memang jika Indonesia belajar transportasi dari negara tersebut. Apalagi, saat ini Pemprov DKI Jakarta sedang membangun transportasi massal berbasis rel, Mass Rapid Transit (MRT). Jika MRT sudah beroperasi di Jakarta, diharapkan pengguna kendaraan pribadi mau beralih menggunakan kereta cepat tersebut.

Namun, MRT bukanlah solusi kemacetan. Apalagi, MRT tahap satu baru akan membentang dari Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia. Artinya, belum semua wilayah di Jakarta dapat dijangkau dengan menggunakan kereta. Kereta belum bisa menjadi transportasi andalan warga.

Kemacetan yang sudah menjadi persoalan klasik di Ibu Kota membutuhkan penyelesaian yang sistematik. Tak cukup hanya dengan membuat jalur kereta baru. Pemerintah perlu membuat aturan seperti yang sudah dijalankan Pemerintah Jepang untuk 'memaksa' orang meninggalkan kendaraan pribadinya. Mulai dari menerapkan tarif parkir yang mahal, memberlakukan pajak yang tinggi bagi pemilik kendaraan, dan menyediakan transportasi umum yang nyaman dan efisien bagi warganya.

Kepala Divisi Pengembangan PT MRT Jakarta Iwan Prijanto mengatakan, semangat pembangunan MRT sebenarnya adalah semangat meremajakan kota. MRT, kata dia, dibangun untuk mengimbangi arus mobilisasi warga kota yang semakin dinamis.

"Sebenarnya, yang paling lancar untuk people move ya sistem jaringan," ucap dia.

Pembangunan MRT sendiri ditargetkan selesai pada akhir 2017 dan sudah dapat dioperasikan pada awal 2018. Saat ini, Iwan mengatakan, pihaknya sedang menyusun formula untuk pengembangan stasiun MRT. Salah satu stasiun yang akan terintegrasi dengan banyak moda, yakni Stasiun Dukuh Atas.

"Sejumlah gedung yang akan dilewati MRT sudah menyatakan siap mendukung MRT dengan mengoneksikan stasiun dengan bangunannya," ujar Iwan. n ed: karta raharja ucu

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement