Senin 24 Nov 2014 13:31 WIB

Menantang Maut di Jalan

Red:

Didik Budi Santoso (40 tahun) merawikan pengamalannya selama 21 tahun mengendarai sepeda motor sebagai alat transportasi utama menuju tempatnya bekerja. Petugas Pengamanan Dalam (Pamdal) di Kantor Wali Kota Jakarta Utara itu berpendapat harus ekstrasabar ketika berkendara di jalan Ibu Kota jika ingin selamat.

"Kalau di jalan, harus bisa menjaga emosi sebab ketidaksabaran itu yang sering buat orang celaka," kata Didik saat berbincang dengan Republika, akhir pekan lalu.

Selama puluhan tahun berkendara, ia mengaku tidak pernah menggeber motornya di atas 60 kilometer per jam. Didik pun mengaku selalu menaati rambu-rambu lalu lintas. "Selama saya berkendara selalu berhati-hati. Alhamdulillah, belum pernah terjatuh dan jangan sampai itu terjadi," ujarnya.

Tidak mulusnya jalanan di Jakarta, menurutnya, menjadi satu dari sekian banyak faktor kecelakaan. "Semoga ada jalan khusus untuk peti kemas karena sudah banyak truk yang menelan korban," katanya berharap.

Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya mencatat dari Januari 2013 hingga Oktober 2014, angka kecelakaan di Jakarta, Kabupaten dan Kota Tangerang, Kabupaten dan Kota Bekasi, hingga Kota Depok mencapai 17.396. Perinciannya, sepanjang 2013 jumlah kecelakaan mencapai 9.842, sementara selama 2014 kasus kecelakaan sebanyak 7.554 dengan 4.257 kecelakaan dari sepeda motor. Sedangkan, jumlah korban meninggal dunia mencapai 1.199 jiwa.

Kepala Unit Kecelakaan Polda Metro Jaya, Kompol Miyato, menjelaskan, banyak faktor yang menyebabkan kecelakaan terjadi di Jakarta dan kota penyangga. Guna menekan angka kecelakaan, menurutnya, harus ada kerja sama dari berbagai pihak. Dinas terkait seperti Dinas Perhubungan dan Dinas Pekerjaan Umum serta pengendara harus bahu-membahu menekan angka kecelakaan.

"Jangan terlalu banyak memikirkan produksi kendaraan, jangan terlalu banyak mengharapkan dapat pajak dan semua itu harus imbang dengan pengguna jalan," katanya kepada Republika, Senin (17/11).

Ketua Jakarta Transportation Watch (JTW) Andi William Sinaga menyebut, dari survei yang dilakukan pada Mei 2014, rata-rata dalam satu hari terjadi tiga sampai lima kecelakaan motor dan tiga kali kecelakaan angkutan umum di Jakarta. "Bahkan, para pengemudi angkutan, seperti metromini dan mikrolet, tidak memiliki surat izin mengemudi (SIM) B1 dan A umum yang diperuntukkan bagi pengemudi angkutan umum," ujar Andi.

Berdasarkan data JTW selama 2013, sebanyak 1.200 jiwa melayang dalam kecelakaan lalu lintas. "Tingginya angka kecelakaan itu disebabkan kurangnya kesadaran berlalu lintas," ucap dia.

Mayoritas penyebabnya disebabkan kurang hati-hati serta etika dan penghormatan terhadap rambu-rambu lalu lintas yang kurang serta kesadaran dalam menggunakan kelengkapan berkendara, seperti helm, jaket, dan sepatu. Masih rendahnya kesadaran masyarakat menggunakan kendaraan umum, juga menjadi salah satu penyebab sulitnya menekan angka kecelakaan. Semua itu lantaran masyarakat enggan naik kendaraan umum yang fasilitasnya masih minim.

Pemerintah Provinsi DKI berencana memperbaiki layanan angkutan umum, seperti mikrolet, taksi, bajaj, dan bus kota yang berada di bawah naungan Organisasi Angkutan Darat (Organda). Nantinya para sopir angkot akan mendapatkan gaji dan tidak lagi menggunakan sistem setoran.

"Jadi, perusahaan-perusahaan angkutan umum ini dikontrak PT TJ. Nantinya seluruh biaya operasional mereka ditanggung oleh PT TJ, termasuk gaji sopir," ujar Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Muhammad Akbar, Jumat (21/11).

Ia menjelaskan, upah yang diberikan untuk sopir angkutan umum di Ibu Kota adalah bernilai dua kali upah minimum provinsi (UMP) atau sekitar Rp 5 juta. Karena, gaji termasuk dalam biaya operasional yang diberikan oleh PT TJ, maka sumber dana berasal dari Badan Usaha Milik Daerah tersebut. Perbaikan layanan angkutan umum ini rencananya dimulai pada 2015.

"Sumber dana PT TJ berasal dari dua, pertama, dari pemasukan biaya tiket penumpang dan kedua dari public service obligation (PSO) yang diberikan Pemprov DKI," tutur Akbar.

Rencana itu diharapkan mampu membuat warga Jakarta beralih menggunakan transportasi umum sehingga kemacetan pun bisa terurai. Data Polda Metro Jaya pada 2013 menyebutkan, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 16,04 juta. Perinciannya 11,93 juta sepeda motor atau 74,35 persen dari total kendaraan, 3,0476 juta kendaraan pribadi atau 19 persen dari total kendaraan.

Karena jumlah kendaraan semakin banyak, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto berpendapat perlu dilakukan manajemen lalu lintas. Salah satu terobosannya adalah membatasi jalur motor dari Jalan MH Thamrin hingga Jalan Merdeka Barat. Sayangnya, pembatasan itu tidak berlaku untuk mobil pribadi. Padahal, jumlah pengguna mobil pribadi di Jakarta cukup tinggi.

"Pertumbuhan kendaraan (motor) rata-rata untuk Jakarta dan sekitarnya 3.000 sampai 4.000 sehari. Sementara, mobil pribadi mencapai 1.000 unit," ujar Rikwanto. "Jakarta akan stuck."

Berbagai cara pun dikerahkan untuk menekan laju pertumbuhan kendaraan. Salah satu caranya dengan menaikkan pajak kendaraan. Sayangya, menurut pengamat transportasi Yayat Supriyatna, penerapan pajak progresif tak akan banyak berpengaruh terhadap animo masyarakat untuk membeli mobil. Kebutuhan mendesak, simbol, dan status sosial dikatakannya sering kali memaksa orang untuk membeli mobil meskipun harganya mahal.

"Orang beli Lamborghini di Jakarta, dipakainya nggak efektif, pajaknya tinggi, tetap saja dibeli. Karena (pertimbangannya) bukan sekadar pajak. Ada simbol, ada status," kata Yayat saat dihubungi Republika, Jumat (21/11).

Menurut Yayat, penerapan pajak progresif kendaraan bermotor termasuk dalam pendekatan traffic human management yang bertujuan mengendalikan penggunaan kendaraan. Kebijakan lain yang termasuk dalam pendekatan ini, yaitu penerapan tarif parkir yang tinggi, electronic road pricing (ERP), dan pajak progresif.  

Pajak progresif, kata dia, tidak bisa diterapkan sebagai kebijakan tunggal. Kebijakan ini harus didukung dua kebijakan lain yang sebelumnya ia sebutkan. "Tapi, selama ini kalau pemberlakuan tarif progresif Jakarta tetap macet, ya akhirnya nggak ada pengaruhnya," kata dia.

Selain gengsi, masyarakat sering kali membeli kendaraan karena terpaksa tidak ada kendaraan umum lewat di sekitar tempat tinggalnya. Akhirnya, orang terpaksa membeli kendaraan walaupun harganya mahal. Karenanya, penerapan pajak progresif dirasa tidak efektif selama sarana transportasi umum masih belum diperbaiki dan dilengkapi.

 

Alih-alih menerapkan pajak progresif, Yayat menilai pengendalian jumlah kendaraan bisa sejalan dengan pengendalian bahan bakar. Ia mencontohkan kebijakan di negara lain yang dirasa lebih pas ketimbang penerapan pajak progresif. Di Singapura, kata Yayat, pemerintah tidak menyoroti pentingnya pajak progresif. "Mereka justru membeli satelit untuk memantau mobil yang paling banyak bergerak," ucap dia. n c94/ c66/ c96/ c92 ed: karta raharja ucu

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement