Kamis 18 Sep 2014 12:00 WIB

Kenangan di Masa Sukarno

Red:

Banyak kenangan tak terlupakan pada awal 1960-an mengenai kehidupan di Jakarta. Menjelang akhir 1950-an, tepatnya pada 5 Juli 1959, Bung Karno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 hingga ia dapat berkuasa lebih luas.

Pada masa itu dan tahun-tahun sesudahnya hingga kekuasaannya berakhir, Bung Karno gencar sekali berpidato dan melontarkan gagasannya. Bicaranya tegas dan tanpa tedeng aling-aling. bisa dibilang, hampir tiap malam dia berpidato di Stadion Utama Bung Karno yang memuat 100 ribu massa atau di Istora Senayan. 

Pidatonya selalu disiarkan langsung oleh RRI dengan reporter favoritnya, Darmosugondo. Pada 1960-an Bung Karno banyak menyerang imperialis dan kolonialis yang ia singkat Nekolim.

Masa itu, dia menyebutnya dengan Demokrasi Terpimpin dan mengajak massyarakat bersatu dalam Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) untuk melawan Nekolim. Bagi Bung Karno, yang tidak setuju Nasakom adalah antirevolusi. Dia juga kerap menghajar kelompok textbooks thinking, cara berpikir kebarat-baratan.

Dia membagi dunia dalam dua kekuataan, Nefos dan Oldefos. Yang pertama adalah kelompok negara-negara maju yang antinekolim dan kelompok kedua adalah kebalikannya. Mereka yang ingin memperhatikan tata dunia lama. Bung Karno berambisi agar Indonesia dan dirinya menjadi pemimpin dunia ketiga bersama kekuatan progresif revolusioner.

Ketika Bung Karno memaklumkan Dekrit 5 Juli 1959 ke segenap penjuru Tanah Air, situasi politik di Indonesia dalam keadaan gawat. Terjadi pemberontakan di berbagai daerah dalam bentuk PRRI/Permesta yang didukung militer yang menyebabkan negara dinyatakan dalam keadaan darurat perang, Staat van Orloog en berlg (SB).

Ketika itu, tokoh militer yang tanpa ampun menumpas pemberontakan tersebut adalah Letnan Jenderal Ahmad Yani. Terus terang, saya yang beberapa kali meliputnya tertarik dengan kepribadian dan ketegasannya. Dia dekat dengan wartawan dan mau melayani pertanyaan-pertanyaan wartawan. Bahkan, hubungannya dengan Bung Karno sangat dekat. Jika sebelumnya Bung Karno dekat dengan Panglima Angkatan Bersenjatra Jenderal AH Nasution.

Pemberontakan PRRI/Permesta juga didalangi perwira-perwira Angkatan Darat (AD) dan beberapa tokoh sipil, seperti Mohamad Natsir, Burhanuddin Harahap, dan Syafrudin Prawiranegara. Pengaruh pemberontakan terasa di Jakarta, ada yang pro dan kontra.

Salah satu yang menonjol ketika itu adalah kehidupan lebih diwarnai Dengan situasi politik ketimbang ekonomi, apalagi setelah berhentinya Wakil Presiden Mohammad Hatta. Menonjolnya kehidupan berpolitik karena perhatian Bung Karno lebih tercurah di bidang ini.

Bung Karno sering disejajarkan dengan para pemimpin dunia ketiga kala itu, seperti Ho Chin Minh dari Vietnam Utara, Gamal Abdel Nasser dari Mesir, Fidel Castro dari Kuba, dan Jawaharlal Nehru dari India. Pokoknya, pada 1960-an merupakan tahun yang sibuk bagi Indonesia selaku tuan rumah yang banyak didatangi tamu-tamu asing, terutama dari negara-negara anti-Nekolim.

Kedatangan tamu-tamu negara ini selalu disambut hangat massa rakyat yang mengelu-elukan kedatangan mereka. Biasanya, pada akhir kunjungan dibuat pernyataan bersama yang hampir tidak pernah terlupakan menghantam kelompok-kelompok Nekolim.

Peristiwa penting lainnya kala itu adalah perjuangan pembebasan Irian Barat (kini Papua). Sejak dicetuskannya Trikomando Rakyat oleh Bung Karno maka banyaknya sukarelawan-sukarelawati yang diterjungkan ke Papua.

Trikora dicetuskan oleh Bung Karno di hadapan lautan manusia di kota perjuangan Yogyakarta pada 19 Desember 1961. Pada waktu itu seluruh bangsa Indonesia diminta untuk menyetel RRI yang menyiarkan amanat Bung Karno pada seluruh rakyat Indonesia.

Isi Trikora adalah gagalkan pembentukan negara Papua buatan kolonial Belanda, kibarkan bendera Merah Putih di Irian Barat dan mobilisasi umum mempertahankan Kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan bangsa. Kemudian, dibentuklah Operasi Mandala dibawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto. Maka, dikirimkah Jenderal Nasution untuk mendapatkan persenjataan dari Uni Soviet ke Moskow.  rep:alwi shahab ed: dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement