Senin 01 Sep 2014 13:00 WIB

Ruang Rupa Jakarta

Red:

Jakarta terus tumbuh. Tumbuh dalam arti yang sesungguhnya: pembangunan apartemen di mana-mana, jutaan mobil menyesaki jalanan setiap harinya, dan manusianya yang terus bertambah.

Jakarta sesak. Ruang-ruang publik termakan oleh derasnya iklan produk industri, bendera-bendera partai, dan poster-poster tidak jelas ditempel tanpa memedulikan keindahan kota. Trotoar-trotoar mendadak menjadi badan jalan tiap sore hari menjelang jam pulang kantor. Belum lagi parkir liar dan pedagang tanpa aturan.

Jakarta telah tumbuh menjadi entitas yang terkesan tumbuh ke pelbagai arah atau mungkin tanpa arah. Sekali lagi, Jakarta sesak.

Di tengah arus kepenatan Kota Jakarta itulah, di sebuah sudut ruang pameran di Galeri Nasional, seorang perempuan muda berdiri di samping sebuah lukisan realis berukuran 150 x 200 sentimeter. Saat itu sore hari, mungkin ia baru saja pulang dari kantornya, kabur sejenak dari ancaman rutinitas terjebak macet di Ibu Kota.

Ia berdiri lama, hanya memandangi lukisan berjudul "Harapan Baru" itu. Dengan cat minyak di atas kanvas, tergambar seorang anak sedang memandangi poster pilpres. Di kuratorial pameran tertulis tentang lukisan itu, "Masyarakat mengharapkan perubahan."

Perempuan itu kemudian beranjak ke sudut lain di ruang pameran di Gedung C Galeri Nasional itu. Ia lantas mengamati karya lainnya. Kali ini bukan lukisan, melainkan sebuah instalasi seni berupa bangkai motor yang terpendam tanah. Di sebelahnya setengah terbenam sebuah spion kaca motor, kacamata kemudi, dan beberapa onderdil lain.

Sebuah tulisan menjelaskan maksud karya itu, "Apa yang akan ditemukan arkeolog ketika 1.000 tahun dari sekarang menggali situs bekas Kota Jakarta? Apa yang tertinggal? Mungkin hanya ditemukan telik dan fosil motor." Sebuah papan kayu menjelaskan, "Motosapiens Jakartensis". Lantas, apa yang kira-kira dapat direkonstruksi dari potongan-potongan informasi ini?

Republika kemudian berbincang dengan perempuan itu, Prisilia namanya. Ia mengaku sengaja datang ke pameran tersebut untuk sejenak melepas penat dari rutinitas harian. "Pulang kantor langsung ke sini. Bagus-bagus karyanya. Harusnya acara begini lebih gencar lagi promosi, ya. Enggak banyak orang akrab dengan tempat seni semacam ini," ujarnya.

Prisilia bisa jadi satu dari jutaan manusia Jakarta yang sejenak lari dari kepenatan hidup. Kesenian merupakan salah satu jawaban paling ampuh sebagai tempat pelarian yang positif.

Seni menjadi media ekspresi paling jujur. Seniman bisa saja menuangkan apa saja ke atas kanvas atau ke dalam seni instalasinya. Pengunjung yang melihatnya juga bebas menentukan sendiri maksud karya seni tadi. Seni adalah lahan bagi pikiran yang bebas.

Orang-orang seperti Prisilia inilah yang dilirik oleh Galeri Nasional. Kebutuhan akan wadah "pelarian"dari penatnya Jakarta mutlak harus disediakan. Sebuah gelaran bertajuk "Ruang Jakarta" kemudian menjadi jawabannya.

Sesuai judulnya, Ruang Jakarta sekaligus menjadi ruang bagi seniman untuk menjalin emosi dengan masyarakat Jakarta yang yang haus akan seni. "Ruang yang cair memudahkan Jakarta menjadi campur baur. Pameran ini mendekati masalah Jakarta yang secara langsung dialami oleh para perupa yang beraktivitas di kota ini," kata Asikin Hasan selaku kurator pameran.

Asikin menambahkan, penamaan Ruang Jakarta tak lepas dari Jakarta yang seolah menjadi pusat dari segala hal di Indonesia. Sebagai Ibu Kota, Jakarta juga menjadi titik paling krusial dalam tekanan sosial dan politik. "Sedikit saja bergejolak, efeknya akan membahana ke seluruh nusantara," ujar Asikin.

Kita juga perlu ingat, di Jakarta pulalah awal mula muncul perubahan seni rupa modern, seperti Gerakan Seni Rupa Baru, Biennale Jakarta, Pasar Seni, Balai Lelang, Bazar, dan peristiwa penting lain yang bara apinya dimulai dari Jakarta.

Pameran ini total menampilkan total 44 karya seni baik lukisan, fotografi, video, instalasi, dan seni rupa pertunjukan dari 44 seniman yang berdomisili di Jakarta. Salah satu karya yang menarik, selain dua karya di atas, yakni karya seorang perupa wanita, Laila Tifah. Karya lukisannya berjudul "Melawan Lupa".

Di dalam lukisan itu, digambarkan mereka, para keluarga korban beserta aktivis membawa payung berwarna hitam. "Hitam adalah simbol harapan atas segala kehilangan, kedukaan, dan penantian keadilan," kata Laila dalam kuratorialnya.

Karya menarik lainnya, yakni sebuah patung keramik karya seniman Sri Hartono. Seniman serbabisa asli Solo ini membuat sebuah karya patung berwujud sosok Ali Sadikin, mantan gubernur Jakarta periode 1966 hingga 1977.  Di bawah wajah Ali Sadikin, tertulis di cetakan keramik sebuah pesannya saat hidup, "Manusia tanpa cita-cita adalah mati. Cita-cita tanpa kerja adalah mimpi. Idaman yang menjadi kenyataan adalah kebahagiaan."

Dikutip dari kuratorial pameran, karya para seniman dalam "Ruang Jakarta" ini memperlihatkan keragaman minat. Sebagian di antaranya merepresentasikan keras dan suntuknya ruang-ruang di setiap sudut kota. Namun, sebagian lagi menggambarkan sesuatu yang lain, yakni alam bawah sadarnya sendiri.rep:c85 ed: dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement