Sabtu 12 Jul 2014 15:00 WIB

Jejak Tanah Airdi Atas Kanvas

Red: operator

Pengalaman berkeliling Indonesia dituangkan Rasmono Sudarjo dengan cara realis.

Aroma wewangian serupa dupa menyeruak ke seantero ruangan.

Se buah aula dengan luas sekitar dua kali lapangan tenis dengan langit-langit tinggi khas arsitektur kolonial mendadak terasa begitu sakral.

Lampu gantung dipadamkan dan menyi sakan lampu-lampu sorot yang sengaja diarahkan kepada lukisan-lukisan yang tergantung di dinding.

Berdiri di tengah ruangan itu, kita merasa seolah berada di sebuah ruang dansa kerajaan, lengkap dengan bar kecil di sudut aula. Lampu sorot di setiap lukisan membentuk titik-titik kuning keemasan di sepanjang dinding tinggi di sekeliling ruangan, menambah artistik aula besar itu. Itulah Galeri Seni Kunstkring, peninggalan bangsa Belanda ketika masih bercokol di ne geri kita. Gedung ini jadi saksi dina mika perkembangan seni di Indonesia.

Di galeri itu sedang digelar pameran lukisan karya Rasmono Sudarjo, seorang pelukis kelahiran Palembang, 67 tahun silam. Namun, jangan salah, menurut pengakuannya, justru kegiatan melukis baru digelutinya beberapa tahun belakangan.

"Saya memulai pro yek melukis sekitar lima tahun silam," ujarnya saat membuka pameran.Rasmono sejatinya adalah seorang notaris dan memiliki sebuah kantor notaris di Surabaya. Selepas lulus jurusan Arsitektur Institut Teknologi Surabaya (ITS), Rasmono lantas melanjutkan pendidikan ke jurusan Hukum Universitas Airlangga (Unair). Dari sanalah, dia kemudian merasa yakin untuk berkarier di bidang kenotariatan hingga kini.

Ternyata, Rasmono juga menekuni bidang fotografi yang diawali pada 1972.Sepuluh tahun setelah menjalani bidang ini, melalui foto hasil jepretannya, Rasmono mendapat pengakuan dunia sebagai Top Photographer. Dia meraih peringkat ke-16 dari ratusan fotografer yang diseleksi. Penghargaan ini diprakarsai oleh Photography Society of America.

Selain itu, karya-karyanya juga meng hiasi beragam media massa di Indonesia. Baginya, foto adalah sebuah ritual untuk menangkap bayangan.Meng hentikan tetes hujan. "Saya selalu ditemani kamera saya," ujarnya.

Rasmono tampaknya memang terlahir sebagai seorang petualang. Tak cukup banting setir dari ilmu arsitektur ke hukum, dia bekerja sebagai notaris yang nyambi fotografer dan kini dia bahkan menjajal masuk ke dunia seni rupa, sebuah aliran seni yang pasarnya masih dalam skala kecil.

Dia dinilai tak punya keahlian mumpuni sehingga bisa jadi karyanya tak dianggap. Hal ini sama sekali tak merisaukannya. Alih-alih mencari jalan aman, Rasmono tetap menerjang eksperimen `melukisnya'. Jadilah beberapa tahun ini dia memulai perannya sebagai salah satu pelukis Indonesia.

Minatnya terhadap lukisan semakin besar tatkala dia bertemu dengan Wong Wei, seorang pelukis dari Tiongkok saat berada di Bali. Alirannya realis.

Rasmono mantap mengambil jalur itu bukan karena itu adalah aliran paling umum dalam dunia seni rupa. Namun, justru karena dia memiliki latar belakang fotografi maka dia berniat menuang foto-fotonya ke atas kanvas.

Idenya sederhana, melukiskan apa yang dia `jepret' di luar sana.Pengalaman berkeliling Indonesia membuat Rasmono menyimpan banyak ide untuk dilukiskan. Akhirnya, dia fokus pada lukisan tentang alam dan budaya Indonesia, tentang interaksi indah dari manusia dan tempat-tempat asalnya. Itulah mengapa di beberapa lukisannya, Rasmono sering menegaskan warna-warna mencolok, kontras antara manusia dan alamnya. Contohnya di salah satu lukisannya yang dipamerkan di Kunstkring yang berjudul "Bromo".

Dalam lukisan itu, dengan warna gelap latar pemandangan pasir Bromo, samar terlihat pegunungan sisa kaldera purba. Puncak Pananjakan, terlihat gagah di kejauhan. Di atas pasir Bromo dilukiskan tiga orang berkendara kuda, berderap membelah kabut putih yang sengaja dilukis tipis. Itulah lukisan realis Rasmono yang dinilai berbakat dalam menangkap momen dan dipraktikkannya ketika melukis.

Di sudut selatan galeri, dipajang lukisan "Sinar Harapan". Lukisan cat minyak itu dari kejauhan sudah menarik perhatian. Terduduk seorang biksu di depan sebuah pelataran can di dengan patung Buddha. Sang biksu tampak menerima sebuah lilin beralas piring kecil dari seorang nenek sepuh berjilbab. Keduanya saling tertunduk khidmat. Ada sinar yang menerobos dan menyinari kedua orang itu.

Rasmono menggambarkan semuanya dengan detail. Termasuk, liuk relief di candi dan lekuk wajah sang Buddha, pun garis keriput sang nenek.

Lukisan yang dipamerkan kali ini sekaligus dijual dengan harga Rp 25 juta per lukisan. Pameran lukisan ini juga dibuka oleh Duta Besar Republik Rakyat Cina, mengingat beberapa lukisan Rasmono juga mengambil latar di Negeri Tirai Bambu tersebut. Bahkan, lukisan Rasmono turut menghiasi kediaman Wang Hua Gen, sang duta besar RRC. rep:c85 ed:dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement