Jumat 20 Jun 2014 12:00 WIB

Semarak Wayang di Kota Tua

Red:

Apresiasi dan kreasi pertunjukan seni budaya tradisional menunjukkan kembali tren positif. Sebagai contoh, pada 13-15 Juni, satu lagi hajat akbar seni tradisional diselenggarakan di Ibu Kota, yaitu Festival Wayang Indonesia (FWI) 2014. Bertempat di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, festival yang menginjak tahun keempat tersebut meriah dengan penampilan berbagai pertunjukan wayang, bazar, pameran, serta berbagai perlombaan.

Festival Wayang Indonesia adalah ajang tahunan yang mementaskan beragam jenis kesenian wayang dari berbagai daerah, mulai dari wayang tiruan figur (wayang kulit, wayang golek) hingga wayang manusia. Gelaran tersebut tak hanya mementaskan wayang populer, seperti wayang kulit purwa dan wayang golek sunda. FWI juga secara khusus memberikan tempat bagi kesenian wayang yang hampir punah, seperti wayang orang betawi, wayang cirebon, juga wayang topeng malang.

Pertunjukan wayang kontemporer yang terbilang unik adalah wayang urban revolusi, wayang kancil, wayang Bhineka Tunggal Ika, wayang joblar, serta wayang orang persembahan sanggar Swargaloka yang bereksperimen dengan permainan tata cahaya. Pada Jumat sore, 13 Juni, Republika turut dalam kemeriahan acara pembukaan festival tersebut.

Di Taman Fatahillah seluas dua lapangan sepak bola, dua panggung didirikan. Panggung utama berdiri megah di sisi selatan dengan dekorasi pewayangan yang artistik. Dinaungi tenda besar, seribuan kursi disiapkan untuk para penonton. Panggung utama menghadirkan pertunjukan-pertunjukan besar, sementara panggung yang lebih sederhana di sebelah utara menampilkan sejumlah pertunjukan kecil dan berbagai perlombaan.

Berderet di sudut barat dan timur, puluhan tenda bazar menjajakan berbagai produk pewayangan, mulai dari wayang sendiri, kaus-kaus wayang, buku-buku wayang, suvenir, dan lain sebagainya. Tak kalah unik adalah tenda milik panitia. Di sana, selain memajang sejumlah benda koleksi museum wayang, sejumlah relawan menggelar workshop kecil membuat wayang dari daun kelapa. Beberapa pengunjung terlihat asyik melilit-lilitkan daun kelapa pada rangka bambu hingga membentuk sosok wayang.

Pada waktu bersamaan, di Museum Wayang yang terletak di sebelah barat digelar pameran beragam jenis wayang dari berbagai daerah, dari wayang kulit, wayang golek, wayang suket (rumput), dan masih banyak lagi. Dalam festival tersebut, Museum Wayang merupakan salah satu pemrakarsa acara bersama Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Sena Wangi), Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi), serta didukung oleh Yayasan Total Indonesia.

Menjelang malam, wayang kulit purwa tampil sebagai pembuka, dibawakan Ki Dalang Purbo Asmoro. Lakon "Banjaran Anoman" yang dipentaskan itu mengisahkan pahit manis perjalanan hidup kesatria Kera Anoman. Diceritakan, Anoman yang diberkati umur panjang oleh para dewa mengabdikan seluruh hidupnya demi keadilan di muka bumi.

Dengan tulus dan penuh pengorbanan, Anoman membaktikan dirinya kepada Sri Ramawijaya yang ketika itu tengah dalam perjuangan besar menyelamatkan Dewi Sinta dari cengkeraman Rahwana. Sekian lama mengabdikan diri kepada sang Ramawijaya, menjelang masa tuanya, Anoman merasa lelah dan ingin segera menghadap Hyang Kuasa. Dia melewatkan sisa hidupnya di nusantara di kerajaan bernama Kediri semasa berkuasa Sri Jayabaya.

Begitulah rupanya gubahan sang dalang atas cerita Anoman. Sang dalang mendekatkan tokoh wanara baik tersebut dengan masyarakat dan menawarkan dia sebagai inspirasi kebaikan.

Tampak di antara penonton tak hanya pribumi, tapi juga wajah-wajah orang asing. Narasi yang dibawakan dalam bahasa Jawa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan ditampilkan pada layar di depan. Sayang, alih bahasa hanya disajikan dalam bahasa Inggris, padahal banyak di antara penonton pribumi pun yang tidak mengerti bahasa Jawa. Akibatnya, sejumlah hadirin memilih untuk keluar arena. rep:c54 ed: dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement