Senin 05 Oct 2015 13:00 WIB

Potensi Smart Secondary City di Indonesia

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Potensi Smart Secondary City di Indonesia 

Konsep membangun smart city tak hanya monopoli kota besar semata. 

Istilah smart city atau kota pintar memang sudah tak asing lagi di Indonesia. Seluruh kegiatan di kota, mulai dalam hal regulasi hingga pergerakan bisnis kini bisa diakses penduduk di kotanya masing-masing dengan mudah. 

Jakarta sebagai pusat pemerintahan Indonesia juga sudah mulai bermigrasi menjadi smart city. Langkah tersebut terwujud demi menyusul pergerakan komputasi di kota-kota sentral negara ASEAN lainnya.

Tetapi, sebenarnya kecanggihan dunia digital bukan hanya milik kota sentral. Kota-kota sekunder di Indonesia kini juga sudah mulai menerapkan sistem smart city berbasis komputasi awan. 

Kota Pekalongan, Jawa Tengah, ternyata telah menjadi smart city sejak 2008 silam. "Kami mulai menata infrastruktur pemerintahan dengan teknologi pada tahun tersebut," ungkap Wali Kota Pekalongan Basyir Ahmad dalam acara Microsoft City Next Summit 2015 di Jakarta.

Basyir membuktikan, pemerintahan berbasis teknologi komputer memang jauh lebih efektif dan efisien. Awalnya Pekalongan memiliki pegawai pemerintahan sekitar 5.000 orang. Setelah menerapkan konsep smart city, jumlah pegawai terpangkas sekitar 1.000 orang. 

Hal tersebut tak hanya membuat kinerja pegawai menjadi lebih efektif, tapi juga membuat Pekalongan berhasil mengalokasikan dana gaji pegawai ke kantong anggaran belanja daerah untuk mengembangkan fasilitas lain. 

Kota Kreatif versi United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organizations (UNESCO) ini pun mampu mengembangkan penghasilan daerahnya melalui penjualan batik secara online.

Engine of growth

Pekalongan menjadi salah satu contoh nyata kota sekunder yang berhasil menerapkan smart city. Hal tersebut semakin diperkuat dengan riset hasil kerja sama Microsoft dengan Universitas Gadjah Mada dan Lee Kuan Yew School of Public Policy di bawah lisensi National University of Singapore.

Penelitian yang berlangsung sejak awal 2014 hingga Maret 2015 ini dilakukan di beberapa kota, seperti Ambon, Bandung, Denpasar, Jayapura, Makassar, Medan, Palembang, dan Yogyakarta. Penelitian ini juga meneliti 48 negara lain di empat negara Asia Tenggara, yakni Thailand, Vietnam, Filipina, dan Indonesia.

"Hasil penelitian mengungkap negara sekunder bisa menjadi engine of growth bila dilakukan intervensi kebijakan dengan tepat," kata peneliti dari National University of Singapore dan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dedy Permadi. 

Syarat sebuah kota sekunder, kata Dedy, yakni berpenduduk di atas 200 ribu jiwa dan bukan merupakan kota satelit atau ibu kota negara. Menerapkan sistem smart city memang penuh tantangan. Namun, ketika sebuah kota sudah berinvestasi dan menerapkan sistem dengan benar, efisiensi dan keuntungannya akan jauh lebih besar dari nilai investasi.

Apabila edukasi teknologi semakin dikembangkan di kalangan masyarakat, menjalankannya akan semakin mudah. Hal tersebut terbukti dari banyaknya start up lokal di sektor ekonomi dan bisnis. Konsep smart city bukan hanya mengubah regulasi pemerintahan menjadi semakin efisien, melainkan juga mampu menjalin koneksi antarsesama masyarakat. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement