Selasa 03 May 2016 17:00 WIB

Penegakan Hukum Tidak Beri Efek Jera

Red:

Perairan Indonesia di sekitar Kepulauan Riau menjadi lokasi 'favorit' bagi kapal-kapal asing. Kepulauan Riau berbatasan dengan Singapura, hanya dipisahkan selat Singapura. Perairan Indonesia di Kepulauan Riau juga berbatasan dengan Laut China Selatan.

Kapal-kapal dari Tiongkok, Vietnam, dan Malaysia bisa berlayar dan mengambil kekayaan laut di wilayah itu. "Betapa kekayaan ikan itu melimpah di tempat ini, ironisnya pencurian ikan banyak di tempat tersebut, negara-negara tetangga ya pelaku illegal fishing itu," kata Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan Mahkamah Agung (MA) Agus Su broto di Batam, Kepulauan Riau, beberapa waktu lalu.

Agus pernah bertugas di Tanjungpinang, kota yang terletak di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Dia pun berkisah pengalamannya saat bertugas di kota tersebut. Penangkapan ikan ilegal atau illegal fishing marak terjadi di perairan tersebut.

Saking banyaknya, kasus-kasus pelanggaran itu membuat pihak berwenang kewalahan menampung jumlah awak kapal yang di amankan. Kepala Seksi Operasional Kapal Pengawas Wilayah Barat Kementerian Kelautan dan Perikanan Mukhtar mengatakan proses penegakan hukum pun kerap berlarut-larut. Tak jarang, ada kasus penangkapan ikan ilegal, tidak diregulasi dan tidak dilaporkan atau Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUUF) yang seolah-olah 'menguap'. Hal itu mendorong Kementerian Kelautan dan Per ikanan yang dipimpin Susi Pudjiastuti mela kukan penenggelaman kapal.

Mukhtar mengatakan penenggelaman kapal lebih berefek jera dibandingkan menunggu proses pengadilan selesai untuk kemudian dilakukan penindakan. Kebijakan penenggelaman telah mengurangi jumlah kapal asing yang nekat masuk ke perairan Indonesia.

Penegakan hukum yang belum menimbulkan efek jera ini juga karena hukuman bagi pe langgar hanya berupa denda sehingga mem buat penegak hukum kesulitan melakukan eksekusi. Ketua Forum Hakim Ad Hoc Peng adilan Per ikanan seluruh Indonesia Mohamad Indah Ginting menerangkan eksekusi hukuman bagi pelaku illegal fishing dari asing di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia belum optimal.

Ginting menjelaskan, hukuman yang belum optimal itu karena pidana yang dikenakan untuk pelanggar di ZEE hanya berupa denda tanpa kurungan. Sesuai perjanjian internasional, pelaku Illegal fishing yang tertangkap di ZEE Indonesia hanya dikenakan denda dan tidak ada kurungan penjara maupun subsider.

Padahal, sebelum eksekusi dilakukan, banyak pelaku illegal fishing yang telah pulang ke negaranya. "Misal diputus membayar denda Rp 2 miliar. Habis putusan, dia pulang ke negara nya. Terus, siapa yang bayar dan yang nagih?" kata Ginting.

Perbedaan persepsi

Persoalan lain penegakan hukum bagi pelaku penangkapan ikan ilegal, yaitu proses penyidikan dan tuntutan. Tidak jarang ada kasus penangkapan ikan ilegal, tidak diregulasi dan tidak dilaporkan atau Illegal, Unreported, and Unregu lated Fishing (IUUF) yang tidak sampai ke meja hijau.

Ginting mengatakan pengadilan dalam posisi ini hanya berwenang menunggu berkas dilimpahkan oleh kejaksaan tanpa bisa mendikte kasus tersebut masuk atau tidak di pengadilan. Namun, dia mengakui ada kendala memroses penindakan IUUF hingga ke meja hijau.

Kendala tersebut karena perbedaan pandangan di masing-masing instansi, baik saat penyidikan maupun penuntutan. "Pemahaman persepsi terhadap IUUF ini belum merata di semua instansi sehingga berpengaruh terhadap proses penanganan tersebut," ujar Ginting.

Karena itu, penting adanya koordinasi antarlem baga penegak hukum dalam menangani tindak pidana IUUF tersebut. Koordinasi untuk menyamakan persepsi besarnya kerugian negara karena IUUF. Sudah semestinya berbagai unsur mendukung pemerintah memerangi IUUF yang membuat negara merugi kurang lebih Rp 101 Triliun per tahunnya itu.

Agus mengatakan pentingnya koordinasi antara gabungan penegak hukum dalam pe nanganan tindak pidana illegal fishing (IUUF) karena proses peradilan hukum perikanan membutuhkan komitmen semua pihak untuk menciptakan keadilan. Selama ini, MA lebih terfokus pada hakim perikanan baik karir atau adhoc dan belum pada institusi lainnya.

Padahal, jumlah kasus berkaitan dengan tindak pidana perikanan di Indonesia sangat banyak. "Kami sadari terkait penegakan hukum nggak hanya hakim tapi juga meliputi kepolisian, kejaksaan dan PPNS, tetapi kami belum punya anggaran untuk latihan terpadu seperti itu," kata Agus.

Kekhasan penyidikan

Jika mencermati mulai proses menangkap hingga sampai berkas di pengadilan maka perlu merunut dari proses penyidikan. Ada kekhasan dalam penyidikan di perikanan yang melibatkan penyidik dari tiga instansi berbeda, yaitu PPNS Kementerian KKP, Polri, dan TNI AL.

Agung Hendri mengatakan kendala yang terjadi dalam proses penyidikan karena minimnya juru bahasa. Rata-rata, pelaku IUUF yang berasal dari negara yang tidak bisa berbahasa Inggris sehingga mengharuskan penyidik menyediakan juru bahasa sesuai dengan bahasa yang digunakan. "Tentu harus menggunakan juru bahasa yang independen, kami kadang susah mencari itu," ujar dia.

Saat mengetahui pelaku merupakan berkebangsan asing, penyidik juga langsung berkoordinasi dengan kedutaan besar masing-masing. Namun, tak jarang banyak yang tidak langsung ditanggapi oleh kedubes negaranya.

Jika penyidik dari Polri mengalami kendala maka tidak demikian dengan PPNS Kementerian KKP. Mukhtar mengatakan, proses penyidikan di PSDKP tidak membutuhkan waktu yang lama. Penyidik hanya mengikuti panduan yang sudah ada dalam ketentuan penyidikan di Kementerian KPP, terkait pengumpulan bukti-bukti. "Kalau di kami sebentar saja, nggak perlu sam pai 10 hari kami sudah serahkan ke Ke jak saan," kata Mukhtar.

Hanya memang, kasus-kasus yang cukup besar membutuhkan penggalian yang cukup dalam dan terkadang membutuhkan proses yang agak lama. Kendati demikian, Mukhtar memastikan proses sudah dilakukan sesuai dengan mekanisme dan panduan yang ada. Imam Subekti dari TNI AL mengatakan proses penyidikan di TNI AL juga dibatasi hanya sampai 20 hari, dan dapat diperpanjang sampai 10 hari. TNI AL memiliki kewenangan menindak pelanggaran laut di wilayah perairan Indonesia dan ZEEI.

Menurut pria yang pernah menjabat kadiskum Lantamal IX itu, pada periode waktu tersebut sudah dilakukan penyidikan, peng geledahan, penyitaan, pemeriksaan ahli, peme riksaan saksi, pemeriksaan tersangka termasuk penenggelaman. "Baru berkas perkara dise rahkan ke jaksa penuntut umum. Lalu diteliti kejaksaan dalam waktu 14 hari. Kalau me nahan boleh perpanjang 10 hari," kata Iman.

Proses penyidikan yang lancar tidak berarti bakal memudahkan proses penuntutan. Kendala terjadi ketika berkas mulai dilimpahkan ke jaksa selaku penuntut umum. Jika berkas lengkap maka jaksa dapat langsung menyatakan P21. "Kalau ada yang kurang, dikembalikan lagi ke penyidik untuk dilengkapi," kata Imam. Bolak-balik perkara ini menjadi masalah. Ketidaksepahaman antara penyidik dan jaksa selaku penuntut umum dapat memunculkan ego sektoral di lembaga penegak hukum.

"Ya ada juga penyidik TNI AL merasa benar, nggak mau tahu apa kekurangannya. Begitu pun jaksa maunya ya tuntutan itu. Terus terang, apa yang diinginkan penyidik belum tentu sama dengan jaksa. Begitu pun hakim," kata Iman. Apalagi, Iman menerangkan, ada kendala setelah proses sudah dilimpahkan ke kejaksaaan tetapi barang bukti dititipkan kepada penyidik, baik itu TNI AL, Polri, maupun KKP. Hal ini karena ada aturan menyebutkan kasus menjadi kewenangan jaksa setelah berkas dinyatakan lengkap dan dilimpahkan, namun barang bukti tetap berada di penyidik.

"Nah itu kan waktunya lama, pengamanan dari kita, biaya pengamanan dan fasilitas standar di pelabuhan juga terbatas, " ujar Imam. Agung Hendri, pun menekankan pentingnya membangun kebersamaan dengan lembaga penegak hukum terkait penanganan IUUF. Minimal, masing-masing lembaga mengetahui kendala dalam penanganan perkara tersebut sehingga dapat dilengkapi oleh lembaga yang lainnya.

"Ini lebih membangun kebersamaan dan persamaan persepsi antara penyidik, jaksa, hakim, persamaan persepsi terkait kasus per ikan an ini. Karena kenyataannya ada hakim yang belum pernah liat barang bukti, biasanya kan ngawang-ngawang," kata dia. Oleh Fauziah Mursid ed: Ratna Puspita

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement