Senin 18 Apr 2016 21:53 WIB

Bapak Pedang Lupa Indonesia

Red: operator

Kelompok Abu Sayyaf menyandera 10 pelaut Indonesia. Padahal selama ini, Indonesia selalu menjadi mediator kelompok Moro, termasuk faksi di dalamnya faksi Abu Sayyaf, dengan Pemerintah Filipina. Mengapa mereka lupa dengan peran Pemerintah Indonesia?

Nama Abu Sayyaf kembali menjadi pemberitaan internasional setelah menyandera 18 orang, termasuk 10 orang pelaut Indonesia. Mereka meminta uang tebusan kepada Pemerintah Indonesia sebesar 50 juta peso atau setara Rp15 miliar.

"Benar, 10 warga negara Indonesia disandera kelompok Abu Sayyaf, yang meminta tebusan 50 juta peso atau sekitar Rp 15 miliar. Uang tebusan itu sebagai syarat jika 10 WNI ingin dibebaskan," kata Kepala Badan Intelijen Negara, Sutiyoso, akhir Maret lalu. Kapal Indonesia, Brahma 12, dibajak kelompok Abu Sayyaf di perairan Filipina. Kapal yang berbobot 209 ton tersebut diketahui mengangkut batu bara.

Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Lestari Priansari Marsudi, menegaskan, pembayaran tebusan tidak sesuai dengan prinsip. "Bahwa negara tidak boleh terlibat dalam masalah tebusan, karena masalah ini tidak sesuai dengan prinsip," katanya saat menggelar briefing di kompleks Kementerian Luar Negeri Indonesia, Senin (11/4).

Retno melanjutkan, Pemerintah Indonesia terus-menerus berkoordinasi dengan Pemerintah Filipina, terkait upaya pembebasan 10 WNI. Selain itu, koordinasi di dalam negeri juga terus dilakukan.

Siapa sesungguhnya kelompok Abu Sayyaf? Berbagai sumber mengungkapkan, kelompok ini berdiri pada era 1970-an. Awalnya, dibentuk dengan nama Front Pembebasan Nasional Moro atau MNLF. Mereka adalah kelompok pemberontak yang ingin melepaskan diri dari Filipina. Area kekuasaannya berada di Basilan dan Mindanao di selatan Filipina.

Buku "Dinamika Islam Filipina", karya terjemahan A Majul, Cesar, Jakarta: LP3ES, 1989, mengungkapkan konflik di Asia Tenggara selalu berkaitan erat dengan konteks regional, sosial-budaya, dan konstelasi politik kenegaraan.

Di Filipina, konflik bermula biasanya berkaitan erat dengan persaingan misi agama Islam dan Kristen/Katolik setelah abad ke-13. Diskriminasi negara terhadap kelompok minoritas Muslim menjadi lebih kentara ketika menyebut mereka sebagai Moro, artinya identik dengan kelompok Islam yang dulu menduduki Spanyol.

Dari sinilah konflik terus berkecamuk. Agama dan identitas etnik bahkan menempati bagian penting dari konflik itu. Pemberontakan oleh kelompok Muslim Minoritas di Mindanao, Filipina Selatan, misalnya, lebih karena diperlakukan tidak adil dalam kehidupan ekonomi dan politik, walaupun ada unsur agama yang cukup berperan.

Hal menarik dari pengaruh global terhadap pemberontakan, seperti ditulis dalam blog Avarusyd, adalah faktor terorisme. Ia tidak saja menjadi bagian dari pemberontakan di Asia Tenggara, tetapi juga telah menjadi propaganda utama Barat dalam menghadapi Islam garis keras.

Bahkan, bagi para analis politik, Asia Tenggara telah menjadi arena perang bagi Alqaidah dan Amerika. Faktor agama telah menjadi simbol penting untuk menumbuhkan kesadaran kelompok Muslim tertentu dengan jargon jihad fi sabilillah (jihad di jalan Allah). Sejak peristiwa 11 September 2001, Amerika mulai melakukan pemusnahan terorisme. Salah satu yang menjadi sasaran dari Amerika adalah sebuah kelompok yang terdapat di negara Filipina, yakni kelompok Abu Sayyaf.

Pemerintah Filipina sudah memulai kerja sama dengan Amerika dalam pemusnahan kelompok ini. Abu Sayyaf adalah suatu gerakan yang didirikan oleh Abubakar Janjalani pada 1989. Janjalani seorang terpelajar yang radikal. Dia pernah belajar di Arab Saudi dan Libia. Setelah menyelesaikan studinya, Janjalani kembali ke Basilan, kota kelahirannya. Dia mulai merekrut orang-orang yang tidak sejalan dengan MNLF dan orang-orang Filipina, yang pernah berjuang dengan Mujahidin Afghanistan melawan Uni Soviet untuk bergabung dengannya.

Awal Konflik

Filipina Selatan adalah sebuah daerah yang tidak henti-hentinya mengalami konflik. Daerah ini adalah daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Konflik yang terjadi di daerah ini awalnya karena ada persaingan antarpemeluk agama di luar faktor lain, seperti politik, sosial, dan budaya. Hal yang paling krusial adalah yang menyangkut agama.

Konflik di Filipina dimulai dengan kolonisasi yang dilakukan oleh orang Muslim Arab, kemudian oleh Kristen. Perbedaan kedua agama tersebut, hingga sekarang masih berkompetisi untuk memperebutkan perhatian penduduk pribumi.

Orang-orang Arab Islam bergeser ke selatan Filipina ketika orang-orang Kristen menduduki utara Filipina. Menurut orang-orang Islam, akar dari gerakan separatis di Filipina ada unsur kultur dan agama yang jauh berbeda. Daerah Utara dijajah Kristen, sehingga kalangan Muslim beranggapan, sedangkan Selatan bukanlah taklukan Kristen.

Ini berarti daerah Selatan yang pada awalnya didominasi oleh Muslim telah terusik dengan kehadiran agama Kristen sampai ke daerah ini. Konflik mulai terjadi sejak kedatangan orang-orang Kristen Spanyol dan berhasil menduduki daerah Filipina Utara atau kepulauan Luzon tahun 1565.

Sejak itu, orang-orang Spanyol ingin mendirikan Filipina sebagai daerah koloni dan memasukkan penduduk ke dalam agama Kristen. Lalu, mulailah terjadi perlawanan-perlawanan antara orang Spanyol dan penduduk pribumi Islam, yang dimenangi oleh Spanyol pada 1673. Konflik di Filipina terus berlanjut. Setelah Spanyol berkuasa maka kekuasaan beralih kepada Amerika, Jepang, dan sampai Filipina memproklamasikan dirinya sebagai Negara yang merdeka pada 4 Juli 1946.

Pada masa pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos, konflik awal terjadi akibat peristiwa pembunuhan di Corregidor. Para sukarelawan Muslim dibunuh atas perintah komandan pasukan. Mereka menolak dikirim ke Sabah guna melakukan infiltrasi militer. Akibat peristiwa ini terbentuklah Front Pembebasan Muslim Moro (MNLF), MNLF adalah sebuah gerakan yang sangat berpengaruh dalam memperjuangkan kebebasan Muslim Moro. Dua kelompok lainnya adalah Front Pembebasan Islam Moro (MILF) dan yang paling belakangan adalah Abu Sayyaf yang terbentuk pada 1989.

Ketiga kelompok gerakan ini memiliki tujuan yang sama, ingin mendirikan sebuah negara teokrasi Islam di Mindanao, Filipina Selatan dan pembangunan ekonomi di wilayah mereka. Dalam berbagai perundingan, Pemerintah Indonesia berperan penting untuk mendamaikan kelompok tersebut dengan Pemerintah Filipina. Tetapi, kini setelah pecah menjadi tiga kelompok, Abu Sayyaf melupakan peran Indonesia. Bahkan, ingin meluaskan jaringan radikalismenya ke wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Gerakan Abu Sayyaf Group (ASG) membuat keresahan di Filipina Selatan khusunya di Mindanao. Kelompok ini anti terhadap Kristen, dan aksi-aksi yang telah dilakukan telah menjurus kepada tindak terorisme. Abu Sayyaf menjadi gerakan radikal dan selalu mengunakan kekerasan dalam setiap aksinya. Melakukan aksi-aksi pengeboman, penculikan, dan pengeksekusian terhadap sandera. Gerakan Abu Sayyaf ini telah mengarah ke fase terorisme. Oleh Selamat Ginting

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement