Jumat 26 Feb 2016 17:00 WIB

Sumber Daya Genetik Indonesia, Siapa Peduli?

Red:

Bila dikelola dengan baik, kekayaan hayati ini bisa menjadi sumber baru pendapatan negara yang jumlahnya tak sedikit. Gadung, siapa yang tak kenal tanaman ini? Di pedesaan di Jawa, tumbuhan merambat ini lazim dijumpai di kebun dan pekarangan. Warga biasa memanfaatkannya untuk membuat aneka kudapan dari umbi gadung setelah membuang zat racun yang dikandungnya.

Tapi siapa sangka, paten gadung dimiliki justru oleh orang asing. Adalah badan paten Amerika Serikat yang mengeluarkan paten bernomor US 7,972,645 B2 untuk ekstrak tanaman ini. Dalam paten yang dikeluarkan pada 5 Juli 2011 ini, disebutkan paten ini dimiliki tiga inventor atas Taiwan, Ning-Sun Yang, Jeng-Hwang Wang, dan Wen-Chi Wei.

Paten gadung hanya satu contoh kecil saja dari sekian banyak sumber daya hayati kita yang 'sukses' diambil peneliti asing. Masih banyak sumber daya hayati lainnya, baik flora maupun fauna, yang dikembangkan risetnya dan kemudian dikembangkan menjadi komodidas industri oleh bangsa lain.

Bukan rahasia lagi, Indonesia sejak lama menjadi surga bagi peneliti asing. Negara kita menjadi primadona karena kekayaan hayatinya yang sangat berlimpah. Indonesia yang luasnya hanya sekitar 1 persen dari luas daratan dunia, memiliki kekayaan hayati ketiga terbesar di dunia.

Indonesia tercatat memiliki 515 jenis mamalia atau 12 persen dari total jumlah mamalia dunia; 511 reptilia atau 7,3 persen dari seluruh reptil dunia; 1.594 jenis burung atau 17 persen dari jumlah burung dunia; dan terdapat sekitar 38 ribu jenis tumbuhan berbunga.

Asal tahu saja, itu yang tercatat. Di luar sana, masih banyak kekayaan hayati endemik yang belum teridentifikasi. Sebut Papua misalnya, 60 persen flora dan faunanya khas wilayah itu, tidak dijumpai di wilayah lain.

Kepala sub Direktorat Sumber Daya Genetik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indra Eksploitasia, menyatakan saat ini potensi pencurian sumber daya genetik di Indonesia cukup memprihatinkan. Data kementerian hingga 2014, peneliti asing (24 persen) menjadi pihak kedua yang terbanyak meneliti satwa liar di Indonesia.

Angka tersebut bisa terus bertambah, apalagi menurut Indra, akses permintaan untuk penelitian sumber daya genetik terus berjalan sementara aturan untuk itu belum memadai.

"Bagaimana penegakan hukum, bagaimana status pemanfaatan sumber daya genetik yang sudah dibawa ke luar negeri, semua itu belum ada regulasinya," katanya, dalam diskusi pakar dalam rangka memperkaya substansi RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem yang diselenggarakan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) pertengahan bulan lalu.

Tingkatan Keanekaragaman hayati yang diekspoitasi mulai dari genetik, spesies, hingga ekosistem. Indra mengatakan potensi sumber daya genetik Indonesia bisa ditemui dalam tumbuhan, satwa, mikroba dan pengetahuan tradisional yang tersebar dalam kawasan konservasi dan di luar kawasan konservasi.

Banyak faktor yang membuat kita terkesan abai terhadap kekayaan sumber daya genetik sendiri. "Yang jelas, mereka sangat perhatian terhadap pentingnya sumber daya genetik, dan mencurahkan seluruh perhatiannya ke sana, sementara kita tidak," kata Profesor Riset Bidang Mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Sukara, Kamis (25/2).

Di sisi lain, katanya, masih belum jelas kebijakan terkait pengelolaan sumber day genetik ini. Contoh kecil saja, katanya, adalah rendahnya perhatian dalam bidang riset. "Padahal kita akan tahu manfaat dari sumber daya genetik itu setelah melakukan riset," katanya.

Ia menyebut jumlah peneliti Indonesia masih sangat terbatas jumlahnya. Peneliti di bawah LIPI saja, kata dia, jumlahnya hanya sekitar 8.000 orang, atau rasionya 18 peneliti per satu juta penduduk. Bandingkan dengan Singapura yang memiliki 7.000 peneliti per 1 juta penduduk atau Korea Selatan yang memiliki rasio 6.000 peneliti per 1 juta penduduk.

"Ini belum bicara tentang insentif untuk penelitian," katanya. Di banyak negara maju, dana bagi penelitian yang dikucurkan pemerintah sangat tinggi. Di AS, dana 1 dolar AS yang dikucurkan untuk riset akan diganti 3 dolar AS oleh pemerintah dalam bentuk insentif semisal pajak.

Padahal kalau digarap serius, kata Endang, sumber daya genetik mampu menyumbang devisa yang tak sedikit bagi pundi-pundi negara. Ia mencontohkan zat yang disebut ziconotide yang diekstrak dari siput laut spesies Conus mangus yang banyak dijumpai di perairan Indonesia. Zat ini memiliki kemampuan seribu kali lebih efektif dari morfin dalam membunuh rasa sakit dan tanpa efek samping. Perusahaan farmasi AS mengembangkannya dan menjualnya seharga 2,1 juta dolar AS per 1 gram zat ini. Bayangkan jika riset semacam ini dikembangkan di Indonesia dan menjadi komoditas industri yang dikomersialkan. Ia memandang penting manajemen pengelolaan sumber daya hayati yang terintegrasi.

Bahkan, menurutnya, perlu payung hukum tersendiri untuk pengelolaannya, jika melihat spektrumnya yang begitu luas. "Undang-undang yang ada selama ini hanya melindungi sumber daya hayati di kawasan konservasi. Padahal yang ada di luar kawasan konservasi jumlahnya juga sangat banyak," katanya.

Hal senada diungkapkan Profesor Kehu tanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariadi Kartodiharjo. Ia mengusulkan perlunya pemetaan atas keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia. Ia mengatakan pemetaan berguna untuk menyatukan jurang pemisah antara norma dan fakta. SeBila fakta di lapangan hasil pemetaan menemukan bahwa suatu kawasan tidak layak lagi disebut zona inti konservasi, ia mencontohkan, maka strategi pendekatannya juga berbeda.

Hal lainnya yang tak bisa dielakkan adalah melihat relasi masyarakat dan bisnis dalam pemanfaatan sumber daya genetik. "Konservasi tidak harus di kawasan khusus. Bahwa penyelamatan keanekaragaman hayati juga bisa dilakukan masyarakat biasa," katanya. Oleh Siwi Tri Puji B

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement