Jumat 12 Feb 2016 20:42 WIB

Revisi UU KPK untuk Siapa?

Red: operator

Kalau revisi UU KPK disetujui, maka Presiden sudah mencederai janji kampanyenya, janji untuk memperkuat KPK. 

Revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) akhirnya masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 di DPR. Wacana revisi ini sebenarnya sudah muncul sejak 2011 lalu. Namun, lantaran kuatnya arus penolakan dari masya rakat membuat rencana tersebut mengendur. Sampai kemudian, kalangan DPR yang baru dilantik pada Okober 2014 kembali mendesak agar UU antirasywah itu direvisi.

Pada pekan keempat November 2015, Badan Legislasi DPR dan Menteri Hukum dan HAM pun akhirnya menyetujui revisi UU KPK menjadi prioritas untuk diselesaikan di 2015. Padahal, dalam prioritas Prolegnas 2015 revisi UU KPK tidak tercantum.

Upaya ini kembali dikritisi oleh masyarakat dan para pegiat pemberantasan korupsi sebagai usaha untuk melemahkan KPK. Hingga tahun berganti, revisi terhadap UU KPK gagal diselesaikan. Namun, k a langan DPR tak patah arang. Mereka kem bali mengegolkan revisi UU KPK se bagai usul inisiatif DPR untuk Prolegnas 2016. DPR pun langsung tancap gas terkait revisi tersebut dengan menggelar sejumlah pertemuan pada pekan pertama bulan ini.

Bahkan mereka telah membentuk panitia kerja (panja) harmonisasi untuk revisi UU KPK itu. Rabu (10/2) lalu sembilan dari sepuluh Fraksi di DPR sepakat melanjutkan revisi saat Rapat Badan Legislasi. Selan jutnya akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR sebagai usul inisiatif DPR. Padahal, masyarakat dari berbagai elemen menolak dilakukannya perubahan atas UU Nomor 30/2002 itu. Lalu, mengapa mayoritas di DPR –cuma Fraksi Gerindra yang tegas me nolak— begitu ngotot untuk merevisinya? Untuk kepentingan siapa sebenarnya revisi tersebut?

Wajar bila kemudian rakyat mencurigai revisi UU KPK dilakukan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu yakni para koruptor baik di eksekutif, legislatif, yudi katif, maupun penegak hukum lainnya. Ini mengingat mereka yang berasal dari ka lang an tersebutlah yang sudah banyak men dekam di balik jeruji penjara setelah kasus korup sinya yang ditangani oleh KPK bisa dibuktikan. Baru-baru ini seorang pe rem puan anggota DPR ditangkap KPK terkait kasus korupsi. Tak heran kalau ke mudian banyak kalangan menilai revisi UU KPK hanya akan menguntungkan para koruptor.

Sebagai lembaga perwakilan rakyat, sudah semestinya produk undang-undang yang dikeluarkan oleh DPR ditujukan se besar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Bukan untuk kepentingan segolongan atau kelompok tertentu saja. Apalagi hanya untuk mengamankan kepentingan para wakil rakyat. Demikian halnya dengan revisi UU KPK yang seharusnya ditujukan untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Revisi seharusnya juga tidak untuk melemahkan KPK, melainkan justru untuk memperkuat lembaga antikorupsi ini.

Pemerintah melalui Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan dengan tegas me nya takan revisi hanya untuk memperkuat KPK bukan sebaliknya. Presiden Jokowi, menurut Luhut, menegaskan sikap peme rintah adalah fokus terhadap empat poin dalam draf revisi yang diajukan DPR. Ke empat poin itu yakni masalah penyadapan, pembentukan dewan pengawas, rekrutmen penyelidik dan penyidik independen, serta kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atau pemberhetian kasus jika tak cukup bukti.

Menurut Luhut, dewan pengawas tidak ditujukan untuk mengontrol KPK, tapi seperti mengingatkan. Sedangkan soal pe nyadapan, Luhut mengatakan tetap sesuai dengan mekanisme yang berlaku di KPK. Tidak diperlukan izin pengadilan seperti yang sebelumnya diwacanakan untuk dimasukkan dalam UU KPK. 

Justru melemahkan 

Pimpinan KPK menilai draf revisi Un dang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK justru akan melemahkan lembaga tersebut. "Saya bisa pastikan kepada teman-teman semua sebagian besar dari draf ini adalah pelemahan, lebih dari 90 persen bukan penguatan terhadap KPK," kata Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, dalam konferensi pers di Gedung KPK di Jakarta, Rabu (3/2) pekan lalu.

Setelah meneliti draf revisi UU KPK yang diajukan oleh DPR tersebut, pimpinan KPK melihat ada sejumlah aturan yang mengarah pada pelemahan. Misal, soal kewenangan dewan pengawas yaitu penyadapan harus minta izin dewan pe ngawas. "Ini betul-betul kita anggap yang melemahkan sehingga kami anggap tidak cocok dengan apa yang dikerjakan selama ini," ungkap Laode, seperti dikutip Antara.

Dalam draf soal penyadapan diatur pada Pasal 12A yang menyatakan bahwa pe nyadapan dapat dilaksanakan setelah ter dapat bukti permulaan yang cukup dan atas izin tertulis dewan pengawas (ayat 1).

Pimpinan KPK meminta izin tertulis dari de wan pengawas untuk melakukan penya da pan (ayat 2), dan penyadapan dilakukan pa ling lama 3 bulan sejak izin tertulis dite ri ma penyidik dan dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu yang sama (ayat 3).

Butir lain yang disoroti pimpinan KPK ada lah mengenai kewenangan KPK untuk me lakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian negara paling se dikit Rp25 miliar dan bila di bawah jumlah itu wajib diserahkan kepada Kepolisian atau Kejaksaan Agung (pasal 11 ayat 1 dan 2).

"Hal (minimal kerugian) ini pun akan ka mi diskusikan karena sebenarnya bukan soal besaran uangnya tapi soal aktor yang me lakukan tindak kejahatan pidana korupsi itu. Misalnya anggap saja seorang pejabat tinggi, dia hanya misalnya kurang dari Rp1 miliar, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kan bukan hanya untuk mengembalikan kerugian negara tetapi ingin meng ubah pe rilaku seseorang supaya jangan me la kukan tipikor di kemudian hari," kata Laode.

Persoalan lain misalnya adalah pembentukan dewan pengawas yang diatur dalam Pasal 37 yang bertugas untuk meng awasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa ada dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK, melakukan eva luasi kinerja pimpinan KPK secara berkala dalam 1 tahun, dan menerima serta menindaklanjuti laporan masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK atau pelanggaran tertentu dalam UU.

Dewan pengawas tersebut terdiri dari 5 orang yang wajib memberikan laporan se cara berkala satu kali dalam satu tahun ke pada Presiden dan DPR. Sedangkan anggota dewan pengawas dipilih dan diangkat oleh Presiden dengan masa jabatan 4 tahun.

Masalah ketiga adalah soal KPK yang disebutkan berwenang untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyi dik an dan Penuntutan dalam perkara Tipi kor (pasal 40). Sedangkan yang keempat adalah mengenai pengangkatan penyelidik dan penyidik KPK (pada pasal 43 dan 45) yang harus berasal dari Kepolisian atau Kejaksaan Agung yang diperbantukan.

Senada KPK, Indonesia Corruption Watch menilai setidaknya empat poin dalam draf revisi UU KPK bukannya memperkuat tetapi justru melemahkan KPK.

"Saya mengambil kesimpulan, upaya revisi ini tidak ada satu pun pasal yang memperkuat KPK karena kewenangan yang ada saat ini, harusnya dipertahankan," kata peneliti ICW, Donald Fariz.

Empat hal tersebut yakni pengembalian kewenangan penuntutan kepada Kejaksaan Agung, SP3 kasus-kasus korupsi, penyadapan harus dengan izin dewan pengawas dan pembentukan dewan pengawas.

"Kami melihat tidak ada argumentasi itu dimunculkan. Pertama, soal kewenang an penyadapan. Penyadapan oleh KPK itu sudah konstitusional karena sudah dua kali diuji di Mahkamah Konstitusi. Seharusnya tidak ada lagi argumentasi yang dicari-cari untuk merevisi kewenangan penyadapan oleh KPK," kata Donald.

Kemudian, mengenai wewenang dewan pengawas yang melakukan penyadapan, Donald menilai, hal ini melangkahi kewenangan pimpinan KPK. Hal ketiga, soal pengembalian kewenangan penuntutan pada pihak Kejaksaan. Donald menilai hal ini akan membuat proses penyelidikan ka sus ke penuntutan kasus korupsi bertele-tele.

"Kemandekan kasus-kasus korupsi yang ditangani kepolisian sekarang ini terjadi karena salah satunya proses P19, bolak-balik perkara dari polisi ke jaksa itu lama. Itu yang membuat penanganan perkara korupsi menjadi tidak efektif," kata Donald. "Di KPK cenderung lebih cepat, dan efekif dengan alat buktinya karena saat mereka menyediki itu, jaksa-jaksa sudah meneropong penyidik KPK sehingga menjadi lebih cepat dan efektif dengan penyitaan-penyitaan," tambah Donald.

Donald meminta Presiden mempertim bang kan matang-matang rencana revisi UU KPK. Apalagi, kata dia, masyarakat menuntut janji Jokowi untuk menolak revisi UU KPK. "Kalau revisi UU KPK disetujui, maka Pre siden sudah mencederai janji kampanyenya, janji untuk memperkuat KPK," ujarnya.

Mengacu pada poin-poin yang telah dise butkan pemerintah, KPK, serta ICW ter kait draf revisi yang diusung DPR, pantas untuk mengkahawatirkan keempat poin tersebut hanya melemahkan KPK. Poin utama yang dinilai paling melemah kan KPK adalah peng aturan penyadapan. Padahal, justru dengan kewenangan penya dapan, KPK selama ini telah berhasil menyeret koruptor-koruptor kelas kakap yang terlibat kasus suapmenyuap. Bila kewenangan dibatasi, bukan tidak mungkin banyak koruptor yang telah menerima "bocoran" akan disadap.

Tidak berlebihan bila banyak pihak mengingatkan agar revisi UU KPK harus dilakukan secara utuh dan komprehensif. Ini karena keberadaannya yang dinilai sangat bermanfaat bagi pencegahan dan pemberantasan korupsi. DPR sudah sepa kat untuk melanjutkannya, tanpa mau mendengar keberatan masyarakat. Kini tinggal Presiden yang masih bisa menghentikannya. Semoga saja pemerintah mau mendengar aspirasi rakyat. Oleh Nurul S Hamami 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement